jueves, 15 de octubre de 2009

Permainan Mengenal Satwa: Dunia Satwa

Belajar kadang-kala menjadi kegiatan yang membosankan atau malah dihindari oleh anak-anak, terutama mereka yang masih berusia di bawah 10 tahun. Kita sebagai orang tua jadi kerepotan dibuatnya. Namun kini banyak sekali media belajar yang menyenangkan karena dikemas dalam bentuk permainan yang interaktif, salah satunya permainan komputer.

Permainan yang bersifat interaktif dapat membuat anak-anak betah berjam-jam berhadapan dengan layar monitor tanpa merasa bosan. Berbeda sekali jika mereka harus berhadapan dengan buku dan berkutat menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh gurunya.

Dengan tampilan 2D sederhana menggunakan gambar menarik berwarna-warni paket permainan Dunia Satwa dari Akal Interaktif ini mengajak untuk bermain di beberapa tema lokasi, seperti hutan, sungai, laut, gua melalui 17 rangkaian permainan dan level yang berbeda-beda dari 1 level sampai 3 level.

Permainan dimulai dari 3 permainan awal dari menu utama dan mempunyai rangkaian masing-masing yang saling terkait satu sama lain, pemain harus menyelesaikan permainan awal baru bisa memainkan permainan berikutnya.

Tokoh yang dimainkan seorang anak laki-laki yang berpakaian ala Indiana Jones serta membawa ketapel di saku belakangnya, satu saat dia akan berlari-lari menghindari satwa pemakan daging, di waktu lain akan menangkap ikan sambil menghindari gurita atau anjing laut, di tempat lain akan memantulkan bola ke balok-balok untuk mencari hewan tersembunyi, dan masih banyak lagi ragam aktivitas permainan yang dilakukan dalam paket permainan ini.

Pemain akan berlatih ketajaman mata, kecepatan gerak tangan serta kecepatan berpikir dalam menghadapi persoalan tertentu yang terdapat dalam setiap permainan. Benar-benar merupakan saat belajar sambil bermain yang menarik sekali.

Yuk kita coba mainkan bersama anak-anak kita sambil meningkatkan komunikasi antara kita dengan anak.

3 Pemenang Komentar Terbaik untuk Artikel Permainan Mendidik - Gang'Ster - Jagalah Kebersihan Gang adalah:
1. A. Thedy Setiawan
2. Linda
3. Gunawan

lunes, 5 de octubre de 2009

Permainan Mendidik: Gang'Ster - Jagalah Kebersihan Gang

Sebagai orang tua, kita pasti menginginkan yang terbaik bagi masa depan anak-anak kita. Begitu pula dengan para pembuat program permainan komputer. Saat ini anak usia balita dianggap sebagai pasar yang potensial untuk program-program komputer edukatif salah satunya program permainan. Namun sebelum anda membeli program permainan komputer terbaru bagi anak kita, sebaiknya perlu diketahui keuntungan apa yang didapat oleh anak dari permainan komputer.

Permainan komputer dengan judul Gang'ster dari Akal Interaktif ini bertema teka-teki labirin dengan latar belakang perumahan di perkotaan, dapat mengajak anak untuk mencintai lingkungan dengan menjaga kebersihan di sekitarnya, melatih kecerdasan spasial anak untuk menemukan jalan keluar, dan melatih kecepatan berpikir anak dalam pengambilan keputusan untuk melangkah.

Dengan warna dan gambar yang menyenangkan untuk dilihat disertai latar musik yang nyaman didengar, anak akan berperan sebagai si pengumpul sampah yang diletakkan ditempat tertentu. Si pengumpul sampah harus mengambil setiap kantong sampah yang ada dan disesuaikan dengan jumlah yang diminta untuk dikumpulkan, setelah seluruh kantong sampah terkumpul, akan muncul tempat sampah akhir yang harus di capai oleh si pengumpul sampah untuk maju ke level selanjutnya.

Permainan ini terdiri dari 5 level dan 5 sub level pada setiap levelnya, dengan tingkat kesulitan makin bertambah seiring meningkatnya level, setiap level dilakukan secara bertahap oleh pemain.

Kesulitan yang akan dihadapi oleh si pengumpul sampah ada sekitar 3 (tiga) macam, yang pertama labirin yang harus dipecahkan adalah jalur jalan mana yang menuju kantong sampah atau tempat sampah akhir, kedua waktu permainan dimana seluruh kantong sampah harus sudah terkumpul sebelum waktu habis, ketiga menghindari seorang penganggu dan atau seekor anjing yang akan mengambil kantong sampah yang telah dikumpulkan sehingga kantong sampah tersebut harus diambil kembali.

Peranan kita sebagai orang tua, tentunya mendampingi anak dalam memainkan permainan ini disertai dorongan untuk memotivasi anak pada saat menghadapi kesulitan dalam setiap sub level, karena kadang anak akan frustasi jika ternyata tidak dapat memecahkan masalah dalam sub level permainan ini, juga tentunya kita juga mengetahui dan dapat memberikan penjelasan mengenai pentingnya membuang sampah pada tempatnya.

Cara bermain di berikan dalam program permainan komputer ini dengan detil sehingga anak dengan dibantu orang tuanya akan dapat bermain dengan baik. Program ini dapat dimainkan hanya menggunakan program windows.

Untuk lebih jauh mengetahui tentang pembuat permainan komputer ini silahkan lihat di halaman web akalinteraktif.com

jueves, 1 de octubre de 2009

Rainbow Fish: Ikan paling cantik di Samudra

Ikan Pelangi (Rainbow Fish): Merupakan permainan anak-anak tentang seekor Ikan Pelangi yang melakukan pencarian sisiknya yang indah, yang tampaknya dicuri oleh sekelompok kepiting pada suatu malam. Pemain berinteraksi dengan Ikan Pelangi dan teman-temannya, mengajukan pertanyaan, mengatasi jebakan, dan memecahkan teka-teki. Dua tingkat kesulitan yang tersedia, karakter tersebut diberikan dalam bentuk 3D, dan antarmuka cukup sederhana untuk anak-anak agar cepat mengerti. Ikan Pelangi juga dilengkapi beberapa permainan mendidik yang terintegrasi ke dalam petualangan, sehingga anak-anak akan belajar ketika mereka membantu Ikan Pelangi dalam menyelesaikan pencarian.

lunes, 28 de septiembre de 2009

Isu Perubahan Iklim Jarang Disampaikan di Sekolah

Perubahan iklim menjadi isu global yang terus bergulir, namun sekolah-sekolah di Indonesia justru belum serius memperkenalkan perubahan iklim dan langkah-langkah yang diperlukan guna mengatasi ancaman ini. Pendidikan perubahan iklim di sekolah-sekolah masih minim, sekalipun dalam muatan lokal pendidikan lingkungan hidup.

Kenyataan pendidikan perubahan iklim di sekolah-sekolah Indonesia yang memperihatinkan terungkap dari hasil studi British Council kepada 2.234 guru dan siswa SD-perguruan tinggi di Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Papua. Hasil penelitian dituangkan dalam laporan bertajuk Mapping Climate Education in Indonesia : Oppurtunities for Development.

Tety Suryati, Koordinator Muatan Lokal Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Jumat (25/9) di Jakarta, mengakui terbatasnya pendidikan perubahan iklim di sekolah. Siswa dan guru memiliki pemahaman yang terbatas soal perubahan iklim.

Pencegahan yang diperlukan sedini mungkin dan bagaimana tiap individu serta komunitas berkontribusi membuat perubahan iklim tidak semakin buruk, belum dipahami siswa dan guru. "Kurikulum pendidikan lingkungan hidup juga masih belum fokus dan memberi porsi untuk pendidikan perubahan iklim yang berdampak buruk untuk Indonesia jika tidak ada kesadaran bersama untuk mengubah gaya hidup yang ramah lingkungan," ujar Tety yang juga guru di SMAN 12 Jakarta itu.

Nita Irawati Murjani, Project Manager Climate Security British Council, mengatakan pendidikan punya peran penting untuk meningkatkan kesadaran soal penyebab dan dampak perubahan iklim. Sayangnya, sekolah-sekolah belum sepenuhnya menyadari perannya sehingga kesadaran dan persepsi siswa dan guru soal perubahan iklim yang jadi isu global itu masih minim.

Yang menyedihkan, masih banyak responden dari kalangan akademik yang punya persepsi soal perubahan iklim itu sebagai kehendak Tuhan. Kenyataan itu bisa berakibat kita memposisikan diri sebagai bagian yang pasif dari masalah, mengesampingkan kontribusi kita sebagai penyebab masalah, sekaligus menganggap kita tidak berdaya untuk menciptakan solusi dari masalah perubahan iklim, kata Nita.

Mochamad Putrawidjaja, peneliti dari British Council, mengatakan pendidikan perubahan iklim belum jadi perhatian semua sekolah. Hal itu bisa jadi akibat pendidikan perubahan iklim secara resmi belum diakui dalam sistem pendidikan nasional.

Meskipun topik perubahan iklim disampaikan dalam mata pelajaran yang relevan seperti Biologi, Fisika dan Geografi atau muatan loka pendidikan Lingkungan Hidup, topik perubahan iklim minim karena khawatir membebani siswa, kekurangan bahan ajar dan teknik mengajar, kata Putrawidjaja.

Padahal, saat ini perlu kesadaran yang lebih besar dari semua pihak dalam kehidupan sekolah, mulai dari kepala sekolah dan guru untuk memahami isu-isu lingkungan dan perubahan iklim, untuk mengenalkan cara-cara praktis untuk melestarikan lingkungan, seperti mengolah sampah dan menghemat listrik. Generasi muda yang akan menghadapi dampak dari generasi sekarang diharapkan juga bisa berpartisipasi lebih baik.

Tempat yang cocok di sekolah untuk membentuk perubahan perilaku dan menemukan solusi yang baik bagi masalah ini. Jadi hasil penelitian ini selain memotret kenyataan soal pendidikan perubahan iklim yang masih belum baik, juga ada kesempatan bagi semua pihak untuk bekerjasama dalam mengatasi masalah ini, kata Putrawidjaja. (Laporan wartawan KOMPAS Ester Lince Napitupulu)

© 2008 - 2009 KOMPAS.com

lunes, 14 de septiembre de 2009

Indonesia Diminta Pimpin Negosiasi Perubahan Iklim

Jumat, 11 September 2009 18:55 WIB - ANTARA/FB Anggoro

Jakarta (ANTARA News) - Indonesia diminta terus berperan memimpin koordinasi dan negosiasi untuk memerangi dampak perubahan iklim di dunia.

Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam "Bonn Climate Change Talk III", Agus Purnomo, di Jakarta, Jumat, mengatakan sebagai pemegang mandat dari "Bali Action Plan" dan "Bali Roadmap", Indonesia diharap meneruskan peran kepemimpinan dalam koordinasi dan negosiasi perubahan iklim.

Sedangkan dalam pertemuan G-20 "Expert Group on Climate Change Financing", Indonesia diharapkan dapat menjembatani beragam kepentingan dalam mencapai hasil yang dapat diterima oleh semua pihak di COP-15.

Apa yang akan ditetapkan dalam COP-15 mendatang menjadi dasar kekhawatiran negara-negara berkembang, karena dapat menjadi standar universal yang mewajibkan negara berkembang melakukan pengurangan emisi.

Dalam forum tersebut, negara-negara berkembang merasa khawatir atas upaya untuk menggantikan komitmen negara maju dalam menurunkan emisi secara aggregate melalui pendekatan target sektoral.

Indonesia, menurut dia, mewakili negara berkembang menekankan pentingnya negara maju untuk memenuhi komitmen bantuan implementasi program adaptasi yang berbasis masyarakat dan ekosistem.

Agus juga menjelaskan bahwa dampak negatif perubahan iklim terhadap ekosistem laut mengharuskan mayarakat internasional fokus pada upaya adaptasi di bidang kelautan dan kehidupan masyarakat pesisir.

Sesuai mandat Deklarasi Kelautan Manado yang menginginkan dimensi kelautan menjadi bagian dari pembahasan perubahan iklim, Indonesia mengundang negara-negara yang tergabung dalam Sub Komisi Bersama Laut dan Perubahan Iklim ditambah negara-negara lain, seperti India, Australia, Kanada, Grenada dan Norwegia untuk memberikan dukungannya akan pentingnya konservasi laut serta isu kelautan dalam proses negosiasi perubahan iklim.

Pertemuan tersebut juga dimanfaatkan untuk mendapat dukungan bagi Indonesia dalam upaya pengarusutamaan dimensi kelautan dalam dokumen akhir COP-15 (Conferences of the Parties) UNFCCC di Copenhagen Denmark akhir tahun 2009.

Beberapa paragraf yang memuat rumusan-rumusan Deklarasi Kelautan Manado dipertahankan dalam pertemuan di Bonn, Jerman. (*) COPYRIGHT © 2009

Sumber: antaranews.com/berita/1252670124/indonesia-diminta-pimpin-negosiasi-perubahan-iklim

Sistem Informasi REDD Indonesia Berbasis Jejaring Diluncurkan

Jakarta(25/08)- Dalam rangka mempersiapkan diri dalam mengimplementasikan REDD di Indonesia, CIFOR, PILI (Pusat Informasi Lingkungan Indonesia) dan WWF meluncurkan sebuah sistem informasi berbasis jejaring, REDD-I, di Intercontinental Hotel, Jakarta Selatan, Selasa(25/08).

Tahun 2009 ini merupakan tahun yang penting bagi keberlangsungan hutan dunia. Pasalnya pada Desember 2009, konferensi dunia mengenai perubahan iklim, UNFCC, akan melahirkan kesepakatan baru dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Mekanisme REDD diharapkan menjadi bagian dari kesepakatan yang akan dihasilkan tersebut.

“Saat ini kami ingin membantu semua pemangku kepentingan yang berurusan dengan hutan dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan agar mereka mendapatkan informasi yang mereka butuhkan guna mengambil bagian dalam percaturan global, nasional, dan lokal mengenai masa depan hutan di negeri ini,” jelas peneliti senior CIFOR Dr. Daniel Murdiyarso.

Peluncuran laman khusus tentang REDD dengan alamat redd-indonesia.org ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi bagi pelaksana proyek REDD di Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) Pam E. Minnigh mengemukakan, selain informasi umum mengenai REDD, melalui situs REDD-I, publik juga dapat mengakses artikel-artikel tentang REDD dari institusi resmi maupun media massa, serta hukum dan regulasi yang mengatur REDD di Indonesia.

”Kami mendesain situs ini seinteraktif mungkin. Dalam rubrik konsultasi, pengunjung situs dapat mengajukan pertanyaan seputar REDD di Indonesia yang akan dijawab oleh para ahli kami baik dari CIFOR maupun WWF” ungkap Pam.
Informasi yang akurat dan menyeluruh mengenai REDD memang diperlukan mengingat masih banyak pihak yang masih salah menafsirkan dana dari Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). ”Dana REDD bukanlah dana untuk menjaga hutan tetap lestari, melainkan dana untuk membantu menjaga iklim,” jelas Ketua Sekretariat DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) Agus Purnomo. Agus juga menambahkan, ”Kita akan mendapatkan uang karena upaya yang kita lakukan untuk mengurangi perubahan iklim, bukan karena kita mempunyai banyak hutan.”

Terkait dengan implementasi REDD di Indonesia, Ketua Tim Teknik Komisi REDD di Indonesia untuk Menteri Kehutanan, Nur Masripatin mengatakan saat ini pihaknya telah menyiapkan strategi Indonesia pada REDD yang akan dibahas dua minggu mendatang. ”Kita sedang siapkan metodologi maupun regulasinya. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan tiga peraturan terkait REDD,” paparnya.

Direktur Program Iklim dan Energi WWF Indonesia Fitrian Ardiansyah yang juga hadir dalam peluncuran situs REDD-I menghimbau agar pemerintah mewaspadai persoalan tumpang tindih pengelolaan lahan di Indonesia karena status lahan yang tidak jelas nantinya akan menghambat proyek REDD di Indonesia. Fitrian juga menggarisbawahi pentingnya menginformasikan keuntungan lain yang bisa didapat dari implementasi REDD, ”Faktor benefits itu penting, dengan implementasi REDD kita bukan hanya mengurangi emisi karbon, tapi juga menyelamatkan keanekaragaman hayati hutan serta memajukan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.”
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Sumber: wwf.or.id/?9900/Sistem-Informasi-REDD-Indonesia-Berbasis-Jejaring-Diluncurkan

martes, 30 de junio de 2009

Pertemuan Evaluasi Buletin KEJORA

Matoa kedatangan tamu dari El Paso Texas

Selasa pagi ini, Matoa kedatangan tamu dari El paso texas, yang ingin dan sedang memahami bagaimana komunikasi lingkungan dilakukan dan dilaksanakan oleh Matoa. Mulai bagaimana kami membuat produk komunikasi, memilih gambar, pelibatan dengan pemerintah dan distribusi dari produk yang matoa lakukan.

Ada pertanyaan yang menarik dan belum terpikirkan oleh Matoa yaitu bagaimana mendeliver materi komunikasi lingkungan untuk anak-anal yang buta. Ide yang bagus untuk matoa coba buat.

Untuk ibu Stacey yang memperkenalkan Matoa kami ucapkan terima kasih, kami tunggu kunjungan selanjutnya.

sábado, 27 de junio de 2009

Paket Benih Tanaman Obat untuk "THE BODY SHOP" dari Matoa

Program Protect Our Planet dari The Body Shop,  akan membagikan benih tanaman obat kepada pelanggannya. Dan Matoa dipercaya menyediakan paket benih tanaman tersebut.

Untuk mendukung program ini, Matoa juga membantu konsumen The Body Shop yang mengalami kesulitan di dalam menanam atau memelihara tanaman obat ini melalui komunikasi email dan website.

Informasi terkait :

Saga
Ketepeng
Galinggem
Sambiloto

martes, 23 de junio de 2009

Dari Rumah Menahan Pemanasan Global

KOMPAS. Denmark adalah negeri dengan penduduk paling bahagia di dunia. Awal Juni empat wartawan Indonesia diundang untuk melihat dari dekat bagaimana Pemerintah Denmark memberikan pelayanan prima kepada warganya, termasuk isu lingkungan.

Di Denmark juga ada pernyataan: Bersatu Kita Tegak Mengalahkan Tantangan Iklim (United We Stand in Tackling the Climate Challenge). Mirip slogan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono? Memang. Namun, dalam praktiknya sungguh berbeda. Di Denmark, kebijakan menahan laju pemanasan global dilakukan hingga tingkat grass root, tingkat rumahan.

Lebih dari separuh emisi karbon Denmark berasal dari konsumsi pribadi untuk pemanas, listrik, transportasi, dan barang- barang konsumsi. Warga Denmark pada umumnya sadar dan tahu akan pemanasan global, perubahan iklim, dan perlunya penghematan energi. Namun tidak semua menerapkannya dalam hidup kesehariannya. Kampanye lalu dilakukan oleh Kementerian Lingkungan dan Kementerian Transportasi dan Energi secara nasional. Akhirnya sekitar dua tahun lalu muncul ide yang sungguh pintar dan luar biasa dengan membentuk Kementerian Iklim dan Energi—dua kubu yang biasanya bertegangan tinggi soal lingkungan dan emisi karbon!

Kampanye yang dilakukan berisi hal keseharian yang menyentuh langsung kegiatan kehidupan sehari-hari, yang dengan itu warga juga dapat langsung menghitungnya dalam bentuk berapa pengeluaran dan berapa besar investasi jangka panjang yang menyertainya jika mereka mengurangi emisi karbon. Mengurangi emisi karbon lantas menjadi topik keseharian di ”warung kopi”.

Contoh yang amat nyata adalah ketika Pemerintah Denmark mengeluarkan peraturan tentang aturan membuat rumah, semacam syarat-syarat izin mendirikan bangunan (IMB) di Jakarta. Agar semua bergerak ke arah yang dikehendaki—hanya jika pemerintah benar-benar menghendaki(!)—maka harus keluar peraturan yang ditegakkan, bukan hanya dituliskan yang proses pembuatannya pun mahal. Maka, keluarlah peraturan tentang Kode Etik Bangunan.

”Rakyat tidak akan bisa melihat apa keuntungan dari efisiensi energi. Pemerintah yang bisa. Harus mulai dari pemerintah, jadi masyarakat lalu tahu, dan kemudian semua baru bisa berjalan. Tidak bisa diserahkan ke publik begitu saja,” ujar Konselor Menteri pada Kementerian Luar Negeri Denmark Claus Hermansen dalam perjumpaan dengan sejumlah wartawan Indonesia awal Juni lalu.

Prinsip pertama yang diterapkan yaitu prinsip hukuman dan ganjaran (stick and carrot) menyangkut penggunaan energi. Mereka yang boros energi dikenai biaya tinggi dan sebaliknya mereka yang menggunakan energi dengan amat efisien mendapatkan insentif.

”Kami menerapkan pajak energi yang amat tinggi. Kalau energi tidak ada harganya, orang tak akan menghargainya. Mereka akan membuangnya begitu saja dari jendela,” ujar Hermansen mengibaratkan. Dengan cara itu, orang mulai selalu ingat untuk mematikan lampu, memasang AC di suhu sedang sekitar 25° celsius, dan dengan itu mereka bisa menghemat pengeluaran secara signifikan,” ujarnya. Sebagai contoh, harga listrik di Denmark untuk 1 kilowatt jam (kWh) yaitu 250 krone atau sekitar Rp 450.000.

Dengan Kode Etik Bangunan yang baru, pemerintah menargetkan pengurangan penggunaan energi—dikonversi ke minyak bumi—hingga 25 persen-30 persen ketimbang tahun 2006. Bangunan yang ada rata-rata butuh 14 liter minyak per meter persegi (lt/m2). Tahun 2006 penggunaan energi untuk rumah setara 5,5 lt/m2 Target tahun 2010 adalah 3 lt/m2. ”Setelah tahun 2010 peraturan akan kami perketat,” tutur Hermansen. Peraturan itu bersifat wajib. Berangsur semua bangunan harus memiliki sertifikat ”rumah hijau” atau bangunan ”hijau”. Sertifikat diterbitkan oleh Danish Energy Authority.

Bangunan yang bersertifikat dengan berbagai tingkatan harganya memang lebih tinggi daripada bangunan tua yang tidak mengikuti kaidah-kaidah efisiensi energi. Namun, biaya operasionalnya lebih rendah. Tujuan akhirnya, tegas Hermansen adalah, ”Rumah pasif (passive house) yaitu rumah yang tidak menggunakan bahan bakar fosil, rumah tanpa emisi gas rumah kaca (GRK). Suatu saat di masa depan nanti. Kami belum tetapkan kapan.”

Rumah hijau Charlotte

Menyusul kode etik tersebut, pemerintah menunjuk perumahan di daerah Stenløse, kira-kira 30 menit dari Kopenhagen, ibu kota Denmark, untuk menerapkan kaidah-kaidah rumah hijau. Di antaranya yaitu rumah kediaman keluarga Peter Hans Jensen-Charlotte Hjelm. Keluarga muda ini membangun rumah pertamanya sesuai dengan arahan pemerintah. Pasangan ini didampingi penasihat teknis dari pemerintah setempat. Mereka, Mona Dates dan Jens Lemche, mendampingi kami saat mengunjungi rumah Charlotte.

Keluarga dengan dua anak ini memasang insulasi yang menjadi bagian penting dari sebuah rumah dengan efisiensi energi. Insulasi berfungsi menyerap udara panas dan udara dingin dari luar sehingga suhu di dalam rumah tidak terlalu panas atau dingin. ”Kami tidak membutuhkan banyak gas untuk memanaskan rumah,” tutur Charlotte. Gas pemanas rumah pada bangunan baru telah ditanam sebagai instalasi di bawah rumah sehingga tak ada lagi batang-batang besi di dalam rumah.

Selain itu, penempatan jendela dengan kaca besar-besar juga menyebabkan penggunaan listrik bisa ditekan karena rumah selalu terang. Insulasi dari jendela dibuat maksimal dengan import kaca jendela dengan daya insulasi tinggi dari Swiss.

Penghematan air tanah dilakukan dengan menampung air hujan dengan penampung di bagian bawah halaman rumah. ”Air itu kami gunakan untuk mencuci baju, menggelontor WC, dan mencuci piring. Karena tak ada chlor-nya, hanya perlu detergen sedikit, mencuci juga lebih cepat sehingga listrik yang digunakan lebih sedikit,” jelas ibu dari Andrea dan Jonas ini.

Dengan membangun rumah sesuai standar pemerintah seperti itu, Charlotte dan Mona mengakui biaya pembangunannya lebih tinggi sekitar 5 persen daripada membangun rumah biasa. Dia menghabiskan dana sekitar 3,15 juta krone (sekitar Rp 6,3 miliar) untuk rumah di atas lahan sekitar 400 m2 itu. Untuk biaya pemanas dia hanya membayar 6.000 krone per tahun (sekitar Rp 12 juta), lebih murah 25 persen dari bangunan biasa. Demikian juga untuk penggunaan listrik.

”Kalau kita mau bumi kita tetap lestari ini harus kita jalani. Ini semua untuk kepentingan kehidupan di masa depan, kita harus mempertahankan bumi,” tegas Charlotte, potret wajah Denmark itu, tanpa ragu.

Link:  cetak. kompas.com

Perubahan Iklim Ancam Kesehatan Masyarakat

TEMPO Interaktif :  Delegasi Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Vietnam sepakat agar dampak perubahan iklim terhadap sektor kesehatan menjadi agenda prioritas World Health Organization (WHO).
Mereka juga mendorong negara-negara anggota mengimplementasikan resolusi World Health Assembly tentang perubahan iklim dan kesehatan. Pernyataan itu merupakan pengantar rekomendasi Lokakarya Regional tentang Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan yang kemarin berakhir di Jakarta.
Acara yang dimulai Selasa lalu itu diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan, WHO, dan Kedutaan Besar Prancis untuk Indonesia.
"Masing-masing negara juga harus meningkatkan kapasitasnya menghadapi perubahan iklim," kata Direktur Kesehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan, Wan Alkadri, yang menutup lokakarya. Ada lima langkah prioritas yang tertuang dalam rekomendasi lokakarya. Pertama, meningkatkan kesadaran komunitas kesehatan terhadap dampak perubahan iklim.
Kedua, mengembangkan kapasitas di sektor kesehatan untuk menjawab tantangan yang terjadi. Ketiga, mengembangkan dan menerapkan strategi guna meningkatkan arti penting dampak kesehatan manusia dalam rencana aksi nasional terhadap perubahan iklim. Keempat, melaksanakan penelitian terapan; dan kelima, memperkuat mitra dengan dunia usaha dan lembaga-lembaga non-pemerintah di dalam dan luar negeri. Para peserta menyoroti demam berdarah yang akhir-akhir ini terus berkembang di kawasan Asia Tenggara. Juga penyakit-penyakit vektor lainnya, seperti malaria, sistosomiasis, dan filaria atau kaki gajah.
"Padahal, pemerintah masing-masing negara terus berusaha mencegah dan mengatasi penyakit ini," kata Wan Alkadri. Makin hebatnya ancaman penyakit ini tidak lepas dari kondisi lingkungan yang berubah. Para ahli mensinyalir peningkatan jumlah penyakit menular yang bersifat transnasional belakangan ini dipengaruhi oleh perubahan iklim. Karena itu, ujar Wan, perlu tindakan bersama pada tingkat regional.
Departemen Kesehatan sendiri terus memperbaiki peta kesehatan dengan mengaitkannya pada penyakit yang berkaitan dengan dampak perubahan iklim. Menurut Wan, semua departemen dan instansi lain harus duduk bersama karena isunya sudah lintas sektor. Dia mencontohkan penyakit malaria yang melibatkan Departemen Kesehatan dan Departemen Kehutanan serta Departemen Kelautan dan Perikanan. "Karena habitat nyamuk di hutan mangrove," ujarnya. 
Sumber: tempointeraktif.com

martes, 16 de junio de 2009

Komunitas Wiken Tanpa Ke Mall

Ragunan, di hari libur penuh dengan pengunjung yang hendak piknik. Apalagi menjelang akhir tahun ajaran sekolah. Di setiap ruang terbuka Ragunan, nampak anak-anak kecil berseragam taman kanak-kanak memadati lapangan rumput. Ya, Ragunan juga dijadikan ruang perpisahan atau pembagian buku rapot anak-anak TK di Jabodetabek.

Tak hanya anak-anak TK yang meramaikan Ragunan pada Sabtu, 13 Juni 2009 kemarin. Ada komunitas pencinta liburan alternatif, yang menamakan dirinya komunitas Wiken Tanpa Ke Mall yang bermain di Ragunan. Nama yang unik dan menggelitik rasa ingin tahu.

Komunitas ini diprakarsai oleh Iwan Esjepe dan Indah Esjepe, pasangan suami istri yang sama-sama menyukai kegiatan alam bebas dan peduli dengan Indonesia. Dibawah rimbunnya pohon, sambil duduk di atas tikar bekas banner, Indah Esjepe berbagi cerita tentang WTM ini.

“Awalnya sering ngumpul bareng. Seperti waktu 17 Agustus, kami buat Kemah Merah Putih. Terus, waktu Nopember ada Kemah Pelangi. Kegiatan ini dibuat tanpa membedakan SARA. Siapa pun boleh ikut. Orang kota kadang mengalami kejenuhan, liburan harus ke mall terus, mahal juga beli makannya. “

Kaos kuning, bertuliskan “Jangan Ragu Ragunan”  dikenakan seluruh peserta WTM sangat pas dengan cuaca  hari itu. Matahari menebarkan sinarnya di Ragunan.   "Jangan Ragu Ragunan"  adalah  kegiatan perdana  WTM.

Aditiyayoga, seorang graphic desain,  hari itu didaulat menjadi ketua pelaksana kegiatan. Ia  menjelaskan alasan kenapa Ragunan yang dipilih.

“Ya, dulu orang beranggapan Ragunan itu buruk banget. Ternyata sekarang fasilitasnya sangat mendukung. Ragunan sudah beradab lah…Sudah ada halte-halte, jadi kalo ke ujanan bisa berteduh. Ruang terbukanya juga sudah banyak. Ya, Ragunan memberikan kemudahan, sangat diluar perkiraan selama ini,” jelas Aditiya.

Lantas kemana saja rute WTM I di Ragunan ini?
Peserta datang sendiri-sendiri menuju Ragunan dan berkumpul di pintu utama, dekat halte Trans Jakarta. Kira-kira jam 07.30 mereka berangkat menuju pos pertama. Yaitu kandang ular.
“Di sini, ada SIOUX, komunitas pencinta ular yang membantu menjelaskan perihal ular. Selama ini ular dianggap menakutkan, padahal ular juga menjadi penyeimbang alam, terutama untuk hama tikus,” jelas pria berambut gondrong ini.

Dari kandang ular, peserta WTM, melanjutkan perjalanannya ke kandang burung. Ada permainan ular tangga ukuran 4 x 4 meter yang dimainkan peserta di sana. Plus beberapa quiz yang jawabannya bisa ditemukan di kandang burung. Selepas dari kandang burung, peserta yang dibagi menjadi 10 kelompok ini, diajak melihat orangutan di rumah Ulrike von Mengden. Dari rumah orangutan,  peserta WTM membuat mainan tradisional dari daun kelapa, yaitu keris. Dan bermain galah asin, untuk semua tim. Seru!

Lalu apalagi yang dilakukan pesertanya? Di pos terakhir, tepatnya di lapangan sebelah Pusat Primata Schmutzer, masing-masing kelompok melukis tong sampah. Tong-tong sampah dari drum sudah disipakan panitia, berjejer di lapangan rumput. Juga kaleng-kaleng cat berwarna biru, merah dan kuning serta kuas.

Setiap kelompok dengan asyiknya, melukis tong sampah bekas drum yang sudah diberi cat dasar berwarna putih. Ada jugaa yang mengganti cat dasarnya dengan warna kuning, baru membuat sketsa gambar binatang. Kelompok lain ada yang langsung menyapukan kuasnya ke atas tong sampah. Sekelompok anak-anak kecil yang ditemani oleh pendampingnya, Rangga , terlihat tak sabar dan ribut ingin segera menyapukan kuasnya ke atas tong sampah.

Kaleng-kaleng cat pun segera dibuka dan dicampur dengan warna-warna yang tersedia. Tetesan cat tumpah ke atas rumput. Sayang, tidak disediakan alas untuk kaleng-kaleng cat itu, sehingga mengotori rumput di Ragunan.

Jalan-jalan ala Wiken Tanpa Ke Mall, relatif murah biayanya. Keliling di Ragunan, kemarin, biayanya Rp. 75.000,-/orang. Dewasa dan anak-anak sama harganya. Mereka dapat kaos, snack pagi dan makan siang. Banyak hal yang bermanfaat bisa dibawa pulang peserta. Ya, sesuai dengan tujuan Wiken Tanpa Ke Mall, bahwa liburan tidak harus ke mall, tapi harus ada nilai pendidikannya. Seperti permainan tradisional dan melukis tong sampah tadi. Hasilnya mereka sumbangkan ke Ragunan.

Lantas kemana acara Wiken Tanpa Ke Mall berikutnya? Kata Aditia masih rahasia, mungkin saja ke musium. Kalau tidak mau ketinggalan acara Wiken Tanpa Ke Mall, coba klik : wikentanpakemall.multiply.com. Kemana liburan weekend Anda kali ini? Ingat! Tidak harus ke mall!!!

lunes, 15 de junio de 2009

Bu Titi dan Perpustakaan Pelita Desa

Pertama kali mengunjungi perpustakaan Pelita Desa di Sindangbarang Loji, Bogor, ada Siti di meja resepsionis sedang mencatat. Tak lama kemudian, muncul anak-anak kecil memasuki ruangan perpustakaan. Setelah dipersilahkan duduk oleh Siti, akhirnya bertemu dengan Lukman dan Agus. Kedua lelaki ini, setiap hari Sabtu, dengan sukarela membantu perpustakaan Pelita Desa.

Ternyata, Lukman adalah teman saya saat SMP, sekarang kerja di LIPI. Setelah basa-basi ngobrol dengan Lukman dan Agus, saya diajak ke lantai dua perpustkaan. Ada beberapa meja dan kursi belajar. Juga papan tulis. Sementara anak-anak perempuan yang tadi datang sedang asyik menggambar dan membaca buku. Di lantai dua, ada sebuah ruangan yang terkunci.
“ ini ruang kerja Bu Titi, biasanya kalau datang, Bu Titi kerja di sini,” jelas Lukman.

Puas melihat-lihat di lantai dua, kami turun ke ruang perpustakaan. Di lantai satu ini, berdiri rak-rak buku. Mata pun mengintip setiap rak, secara sepintas. Ada buku cerita anak-anak, novel remaja, dan buku-buku hasil penelitian Prof. Dr. Setijati Sastrapradja alias Bu Titi panggilan akrabnya.

Ya! Bu Titi dan perpustakaan Pelita Desa sangat erat hubungannya. Keduanya tak  bisa dipisahkan. Setelah beberapa kali bertemu dengannya, saya putuskan untuk berkunjung ke Pelita Desa. Perpustakaan umum yang dibuka sejak tahun 2003, saat Didin S. Sastrapradja, suaminya ulang tahun ke -70, setiap Sabtu ramai dikunjungi anak-anak sekitar Desa Loji, Bogor.  Buku-buku yang ada di Pelita Desa ada yang dibeli oleh Bu Titi, juga sumbangan dari orang lain.

“ Perpustakaan adalah jendela dunia. Waktu kecil, mainan gak ada. Adanya perpustakaan, itu pun sangat minim. Sewanya…ya… 10 centlah. Sering tukeran sama teman. Jadi bayarnya cuma satu. Tapi bisa baca buku gantian,” Bu Titi bercerita tentang kegemarannya membaca buku saat kecil dulu.

Sejak masih bekerja di LIPI, Bu Titi selalu menyisihkan uang untuk perpustakaan Pelita Desa. Sekarang, perpustakaan yang Ia dirikan ini sudah menjadi milik desa. Sayangnya, untuk perawatan buku dan kesejahteraan karyawannya belum bisa sepenuhnya dibantu desa. Bantuan yang diberikan untuk Pelita Desa baru sebatas buku-buku pelajaran saja.

Menariknya lagi, anak-anak yang sering datang ke Pelita Desa dan berprestasi di akhir tahun pelajaran akan mendapatkan hadiah dari Bu Titi, berupa celengan dan uang. Tapi, sebelumnya si anak juga harus mengisi celengan yang disediakan oleh Bu Titi. Apabila celengannya penuh, dan anak itu berprestasi, Bu Titi akan memberikan hadiah uang yang sama jumlahnya dengan yang ada di celengan.

Sayangnya, aturan main dari Bu Titi seringkali dirusak oleh kebutuhan rumah tangga orangtua anak-anak itu.

“ pernah suatu kali Irma….ada ibu dari anak itu, datang ke Ibu. Dia mau minta uang dari celengan anaknya untuk beli magic jar. Ya sudah, kalau satu orang sudah begitu….yang lain ngikut,” cerita Bu Titi.

Saat ini Bu Titi sudah pensiun dari LIPI. Tapi kecintaan dan kepeduliannya terhadap anak-anak dan dunia membaca patut diacungi jempol. Disela-sela kesibukannya mengajar mahasiswa S2 dan merawat Pak Didin, Bu Titi masih terus menulis cerita untuk bulletin KEJORA yang saat ini diterbitkan oleh MATOA. Cerita dalam KEJORA sangat menarik dan mengajak anak-anak untuk cinta pada tanah air serta kekayaan alam Indonesia.

Kalau Anda ingin memberikan  bacaan yang menarik bagi anak-anak Anda di rumah, taman bacaan, panti asuhan, jangan ragu untuk berlanggaanan KEJORA. Silahkan kirim email ke kejora@matoa.org. Dengan berlangganan KEJORA, Anda ikut mencerdaskan anak-anak Indonesia.

jueves, 11 de junio de 2009

Unbreak My Earth di Trisakti

Unbreak My Earth, tulisan itu terpampang di dinding gelanggang mahasiswa Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta. Bukan sekedar slogan, itulah tema Hari Lingkungan Hidup yang diadakan oleh Jurusan Tehnik Lingkungan Universitas Trisakti. Tahun ini sudah kedelapan kalinya mereka menggelar acara serupa di Kampus A, Universitas Trisakti.

Gelanggang mahasiswa yang didominasi warna krem, cukup meriah dengan hiasan yang bertemakan lingkungan. Mulai dari pintu masuk gelanggang, lantainya penuh dengan lembaran-lembaran kertas bertuliskan ajakan untuk peduli lingkungan. Saat melewati meja penerima tamu, nampak foto-foto hasil lomba digantung dengan penjepit kertas dan memaksa pengunjung untuk meliriknya.

Kenapa temanya Unbreak My Earth?

“Tahun ini kan lagi booming tentang pemanasan global, jadi dikaitkan aja, biar catchy,” jelas Nikela Delfi, Ketua Pelaksana Kegiatan Unbreak My Earth 2009.

Selain pameran pada tanggal 5 Juni 2009 lalu, beberapa hari sebelumnya ada lomba modern dance, lomba majalah dinding bagi SMA dan lomografi yaitu memotret dengan kamera lomo. Dan penanaman pohon di Situ Gintung. Penanaman pohon dilakukan sebagai wujud kepedulian terhadap bencana yang menimpa Situ Gintung.

Sementara dipojokkan gelanggang ada tong sampah besar untuk membuah sampah yang berbeda jenis, sehingga memudahkan untuk di daur ulang. Mulai dari sampah plastik, sampah kertas dan sampah makanan. Setiap yang membuang sampah ke dalam tong tersebut, panitia memberikan sebuah pulpen.

Bersamaan dengan pameran di gelanggang mahasiswa, di pelataran parkir ada uji emisi gratis untuk kendaraan umum dan mahasiswa Trisakti. Uji emisi ini kerjasama dengan Nawilis. Sedangakan, pada malam harinya, ada pementasan band dari mahasiswa Tehnik Lingkungan.

MATOA mengisi salah satu stand pameran di Kampus A, Universitas Trisakti.  Selain itu,  ada National Geographic, Dana Mitra Lingkungan dan Kopiko. Stand MATOA sempat heboh saat istirahat makan siang. Banyak mahasiswi Trisakti memborong souvenir ramah lingkungan di stand MATOA. Anda tertarik dengan souvenir MATOA, seperti Pin, tas belanja dan kaos? Jangan ragu kirim email ke info@matoa.org untuk memesannya.

lunes, 8 de junio de 2009

Aksi dan Penghargaan di Hari Lingkungan Hidup

Hari Lingkungan Hidup yang diperingati setiap tanggal 5 Juni di seluruh dunia sudah berlalu. Tapi kepedulian serta kegiatan menjaga lingkungan harus tetap dilakukan. Beberapa komunitas di Jakarta dan Bogor telah melakukan kegiatan serentak dalam merayakan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2009. Salah satunya  aksi "Satu Ciliwung Alirkan Sejuta Aksi”.

Saat ini, semua aksi lingkungan hidup selalu dikaitkan dengan perubahan iklim. Mulai dari lingkungan rumah tangga sampai lingkungan yang global dan massal. Sejelan dengan itu, tema Hari Lingkungan Hidup 2009  pun  mengajak kita “Bersama Selamatkan Bumi dari Perubahan Iklim”

Aksi “Satu Ciliwung Alirkan Sejuta Aksi”  pun berbau perubahan iklim. Mulai dari lomba lukis, Kompetisi stand perubahan iklim, adopsi bibit pohon, susur sungai Ciliwung, mulung sampah di sungai Ciliwung dan membersihkan sampah di Kali Angke juga digelar. Dari kegiatan kecil tadi, nantinya lahir pejuang lingkungan hidup yang pantas mendapat Kalpataru.

Untuk menjadi pejuang lingkungan hidup, butuh waktu lebih dari 10 tahun dalam menyelamatkan dan mengelola lingkungan supaya lebih baik.  Seperti Timotius Hindom dari Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Selama 20 tahun, Ia secara konsisten membangun 50 hektar wanatani dengan tumbuhan pala. Sehingga memotivasi warga untuk menghijaukan lahan kritis seluas 800 hektar. Jadi Ia pantas mendapat Kalpataru.

Timotius pun mendapat penghargaan Kalpataru 2009, masuk dalam kategori Perintis Lingkungan. Selain Timotius Hindom dari Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, perintis lingkungan lainnya ada, Viktor Emanuel Raiyon dari Kabupaten Sikka, Provinsi NTT. Anyie Apuy dari Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur. Alexander Ketaren dari Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Dan Kasmir Gindo Sutan dari Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.

Sedangkan Kategori Pengabdi Lingkungan, diberikan kepada petugas lapangan dan atau pegawai negeri sipil yang mengabdikan diri melestarikan fungsi lingkungan yang jauh melampaui kewajiban dan tugas pokoknya serta berlangsung cukup lama. Antara lain: Kadis, SP dari Kabupaten Lombok Utara, Provinsi NTB, Ir. Djoni dari Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, dan Makaampo Ratundulage Madonsa dari Kabupaten Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara.
Kategori Penyelamat Lingkungan, diberikan kepada kelompok masyarakat yang berhasil melakukan upaya-upaya pelestraian dan pencegahan kerusakan (penyelamatan) lingkungan hidup.

Adapun penerimanya adalah: Lembaga Adat Dayak Wehea dari Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, dan Ninik Mamak Negeri Enam Tanjung dari Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

Kategori Pembina Lingkungan, diberikan kepada pengusaha atau tokoh masyarakat yang berhasil dan mempunyai prakarsa melestarikan fungsi lingkungan dan mempunyai pengaruh membangkitkan kesadaran lingkungan dan peran masyarakat atau berhasil menemukan teknologi baru yang ramah lingkungan. Adapun penerimanya adalah:
H. Imdaad Hamid, SE dari Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur dan Irwansyah Idrus dari Kota Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta.

Beberapa kota juga mendapat penghargaan Adipura, yaitu: kota metropolitan (Jakarta Pusat, Palembang, Surabaya, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Semarang). Kota besar (Pekanbaru, Malang, Balikpapan, Denpasar, Padang, Batam, Bandar Lampung, Yogyakarta), 35 kota sedang, dan 75 kota kecil.

Penghargaan juga diberikan kepada kepada sekolah-sekolah Adiwiyata Mandiri 2009 oleh Presiden. Dimana selama tiga tahun berturut-turut menunjukkan peningkatan kinerja dalam kebijakan sekolah peduli dan berbudaya lingkungan, kurikulum berbasis lingkungan, kegiatan lingkungan berbasis partsipatif, dan sarana pendukung yang ramah lingkungan.

Sekolah-sekolah yang menerima penghargaan Adiwiyata Mandiri 2009 adalah:
SDN Pakujajar CBM, Kota Sukabumi Jabar, SDN Kampung Dalem I, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur, SD Citra Alam Jakarta Selatan, SDN Ungaran I Kota Yogyakarta, SMPN I Kedamean, Gresik Jawa Timur, SMPN 2 Kota Ciamis Jabar, SMPN 4 Gresik Jawa Timur, SMAN 1 Mandirancan Kuningan Jabar, SMAN I Gondang Mojokerto Jatim, dan SMAN 4 Pandeglang Banten.

Setelah Timotius, giliran Anda  menjadi pejuang lingkungan. Selamat Hari Lingkungan Hidup Sobat.

Pestisida Organik dari Dapur

Senin, 08 Juni 2009|TEMPO Interaktif

Jakarta, Onicita asyik mengupas jahe. Lima temannya menyiangi empon-empon lainnya: lengkuas, temu giring, temu lawak, kencur, sereh, bawang merah, dan bawang putih. Rempah-rempah itu ditempatkan di atas meja bersama beberapa batang butrawali, daun imbo, air cucian beras, tetes tebu, alkohol, dan cuka.

Para siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Kebo Mas, Gresik, Jawa Timur, itu tidak sedang belajar masak-memasak. Mereka tengah menyiapkan bahan baku pestisida organik.

Inilah ramuan pestisida ramah lingkungan yang ditemukan para siswa sekolah itu pada April lalu. Sekolah itu menamai pembasmi hama ini Dua Kebo--seperti nama sekolahnya. Belum ada investor yang melirik temuan ini. "Tapi memang pestisida itu bisa dibuat sendiri oleh siapa pun karena sederhana dan gampang," ujar Onicita, siswi kelas VIII, yang sedang memimpin kawan-kawannya membuat pestisida itu.

Peralatan untuk membuat pestisida cap Dua Kebo terdiri atas blender, pisau, gunting, dan gelas ukur. Untuk membuat dua liter pestisida, diperlukan empon-empon yang sudah dikupas masing-masing 40 gram, dua ons daun imbo, 500 mililiter air leri (cucian beras) dan cairan gula, serta 100 cc alkohol dan cuka. Semua bahan itu diblender.

Setelah berubah jadi seperti jus, ramuan itu dimasukkan ke dalam jeriken. "Seluruh proses pembuatan ini paling lama 15 menit. Satu takaran resep dapat menjadi dua liter pestisida," kata Onicita saat ditemui pekan lalu.

"Jus" itu kemudian difermentasi sekitar 15 hari sehingga menjadi pestisida. Untuk mempercepat prosesnya, dua kali sehari jeriken itu dikocok selama lima menit.

Pestisida organik itu sudah diuji coba tiga kali. Hasilnya cespleng. Pada 2 Mei lalu, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, pestisida itu dijajal pada tanaman yang penuh ulat daun. "Besoknya, ulat-ulat itu mati," kata Ramelan, 52 tahun, guru mata pelajaran sejarah yang mendampingi para siswa dalam membuat pestisida itu.

Gagasan pembuatan pestisida ini juga berawal dari mewabahnya ulat daun di sekolah mereka. Ulat ini muncul karena sekolah itu hijau asri, berkat program penghijauan yang dicanangkan sekolah tersebut sekitar 20 tahun silam.

Awalnya, sekolah di dekat tambang pasir tersebut diselimuti debu setiap musim kemarau. Untuk mengurangi debu, ditanamlah berbagai jenis tanaman: mangga, mahoni, nangka, juwet, dan sono, juga tanaman hias.

Karena kondisi tanahnya gersang berpasir, sekolah itu terpaksa "mengimpor" tanah dari Mojosari, Mojokerto. Dua dekade kemudian, 10.059 batang dari 215 jenis tanaman di sekolah itu mulai rimbun. Sekolah itu pun menjadi kebun raya mini.

Tapi muncul masalah baru. Bila musim hujan tiba, ulat menyerbu. "Bahkan ulatnya ada yang sampai masuk ke dalam kelas. Sampai-sampai gurunya girap-girap (jijik)," kata Yudo Siswanto, kepala sekolah di situ.

Ramelan dan para siswa sekolah itu berupaya mencari pembasmi hama yang ramah lingkungan. Studi pustaka digeber hingga Internet. Beberapa kali gagal, tim itu toh terus mencari pestisida yang ramah lingkungan. "Sekolah kami memang menekankan kepedulian terhadap lingkungan kepada siswa," ujar Ramelan, 52 tahun, pria kelahiran Trenggalek.

Kini ada enam klub kegiatan berbasis lingkungan di sekolah dengan 21 kelas itu, dari flora-fauna, sanitasi, jurnalistik lingkungan, sampai daur ulang sampah organik dan composting. Kegiatan pembuatan pestisida berada di bawah klub composting dengan anggota 83 siswa. Kukuh S. Wibowo (Gresik)
tempointeraktif.com

jueves, 4 de junio de 2009

Galinggem Dapat Mengobati Mencret

Galinggem , biasa disebut Sumba kling. Dengan tinggi pohon sekitar 8 meter, mempunyai batang kayu bulat. Daunnya tunggal, beseling, bentuknya bulat telur. Panjangnya 10 – 23 cm, lebar 5 – 15 cm. Sedangkan bunganya mejemuk, berbentuk malai, Dengan kelopak seperti cawan, mudah rontok, Panjangnya 2 – 3 cm.

Buah Galinggem berbentuk jantung, pipih dengan panjang 2-4 cm, berbulu merah seperti rambutan. Biji Galinggem kecil berbentuk segitiga. Kulitnya berdaging. Kalau masih muda warnanya merah, setelah tua jadi coklat.

Daun Galinggem berkhasiat mengobati mencret, obat sakit kuning, peluruh keringat serta memperbaiki perncernaan dan menghentikan darah pada luka baru.

Untuk obat mencret, ambil daun Galinggem yang segar kira-kira 5 gram, lalu rebus dengan tiga gelas air selama 15 menit. Setelah rebusan dingin, lalu disaring. Hasil saringan daun Galinggem diminum sehari tiga kali dengan porsi yang sama setiap pagi, siang dan sore.

Daun Galinggem juga mempunyai kandungan kimia falovonoida, polifenol. Disamping itu, mengandung juga minyak atsiri.

Ingin menanam Galinggem?
Cara menanam Galinggem sangan mudah. Bijinya tidak perlu direndam. Masukkan biji Galinggem ke dalam polybag yang berisi tanah dan kompos. Benamkan biji Galinggem, dan tunggu sampai satu minggu. Setelah itu dapat dipindahkan ke dalam pot atau pekarangan rumah Anda.

Perawatan: Jangan biarkan tanah terlalu kering atau sering disiram. Jaga kelembapan tanah.

Galinggem juga dikenal dengan nama Kasumbo (Nias), Kesumba (Minangkabau), Kunyit jawa (Melayu), Sumba Kling (Jawa Tengah), Kasomba Kleng (Madura), Kasumba (Dayak ngaju), Sumba (Minahasa), Kasumba wo kaju (Pare), Rapoparada (Makassar), Bunga parada  (Bugis), Kasumba (Seram) dan Taluka (Ambon).

viernes, 22 de mayo de 2009

Saga Manis Untuk Obat Sariawan

Teringat waktu kecil, saat bibir nenek terkena sariawan. Terus Nenek mengambil tanaman merambat  di halaman rumah, dan dia kunyah daunnya. Daunnya  kecil-kecil,  mampu mengobati sariawan di bibir nenek. Dia menyebutnya daun saga.

Di beberapa daerah, Saga memiliki nama yang berbeda. Orang Jawa menyebutnya Saga telik atau Saga manis. Di Aceh disebut Thaga, Sunda menyebutnya Saga areuy atau saga leutik. Sedangkan di Gorontalo namanya Walipopo. Piling-piling nama lokal Saga di Bali. Dan sederet nama daerah lainya seperti; Seugeu (Gayo), Ailalu pacar (Ambon); Saga buncik, Saga ketek (Minangkabau), Kaca (Bugis)

Saga adalah sejenis tumbuhan perdu. Pokok batangnya berukuran kecil dan merambat pada inang membelit-beli ke arah kiri. Daunya mirip daun petai cina tapi berbentuk bulat telur serta berukuran kecil-kecil. Daun Saga menyerupai daun tamarindus indica dengan bersirip ganjil dan memiliki rasa agak manis. Saga biasa disebut Saga Manis. Saga mempunyai buah polong berisi biji-biji yang berwarna merah dengan titik hitam mengkilat dan licin.

Bunganya berwarna ungu muda dengan bentuk menyerupai kupu-kupu, dalam dukungan tandan bunga. Tumbuhan ini banyak tumbuh secara liar di hutan-hutan, ladang-ladang atau sengaja dipelihara di pekarangan. Saga dapat tumbuh dengan baik pada daerah dataran rendah sampai ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut.

Lantas apa kegunaan Saga manis selain untuk mengobati sariawan?

• Untuk mengobati sakit amandel, ambil akar saga secukupnya. Tambahkan satu potong kayu manis dan gula batu secukupnya. Setelah itu, semua bahan direbus dengan lima gelas air sampai mendidih. Buat air rebusan akar saga hingga dua gelas atau setengahnya. Setelah itu, saring air rebusan dan diminum dua kali sehari satu gelas pada pagi dan sore.

• Radang mata, ambil satu genggam daun Saga Setelah itu, daun saga digiling halus, kemudian direbus dengan dua gelas air untuk diambil uapnya. Teteskan uap air daun saga untuk mata yang terkena radang.

• Bagi penderita sariawan ambil daun saga secukupnya. Daun saga yang baru dipetik, sebaiknya dijemur beberapa menit agar layu. Lalu, daun saga bisa dikunyah-kunya sampai halus untuk berkumur.

Komposisi :
Daun maupun akar tumbuhan abrus pracatorius antara lain mengandung protein, vitamin A,B1, B6, C, Kalsium Oksalat, glisirizin, flisirizinat, polygalacturomic acid dan pentosan.

Anda tertarik untuk menanam Saga manis di pekarangan rumah. Tidak sulit pembibitan dan merawatnya:

Rendam biji saga dalam air hangat selama satu malam. Setelah itu warnanya akan memudar, biji Saga akan mengembang. Tiriskan, lalu tanam biji Saga dalam polybag berisi tanah dan kompos. Benamkan biji ke dalam tanah. Tunggu sampai satu minggu, sampai muncul kecambah. Kira-kira sudah 20 cm, bibit Saga bisa dipindakan ke dalam pot atau pekarangan rumah.

Perawatan: lihat kelembapan tanah, jangan terlalu sering disiram juga.

Sumber : iptek.net.id

viernes, 15 de mayo de 2009

Sekelumit Cerita Tentang Katak Pohon

Katak pohon biasanya berwarna kecoklatan. Menjelang malam biasanya akan terlihat diantara pepohonan atau tiba-tiba loncat dan menempel di dinding kamar mandi. Beruntung, tanggal 14 Mei 2009 kemaren, PEKA Indonesia mengadakan seminar kecil dengan judul “ Sekelumit Cerita Katak Pohon” oleh Mirza D. Kusrini.

Topik dalam seminar ini berdasarkan penelitian mahasiswa Mirza D. Kusrini di Institut Pertanian Bogor . Bahwa Indonesia, memiliki 408 jenis amphibi dan 102 jenis katak pohon. Lantas siapa saja katak pohon? Yaitu katak yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di pohon. Dengan ciri-ciri memiliki disk pada jari tangan dan kaki yang berkembang dengan baik. Memiliki selaput jari.

“Jadi cirinya ada pentolan atau selaput jarinya. Katak pohon lucu bentuknya. Loncat-loncat, matanya belo jadi popular di ekspor juga,” Jelas Bu Miki begitu panggilan akrabnya.

Katak pohon yang banyak diekspor biasanya diambil dari Papua. Quotanya bisa mencapai 10.000 ribu ekor pertahun. Saat ini ada 60 jenis katak pohon yang bisa diekspor. Salah satu eksportinya ada di Parung.

Mirza D. Kusrini juga menjelaskan, jenis-jenis katak pohon di Jawa, antara lain: Javan Tree Frog, Green Flying-Grog, Gold Striped Tree Frog, Wine-Coloured Tree Forg, Jacobson Tree Frog, Striped Tree Frog, File-eared Tree Frog dan Katak pohon mutiara belum ada nama Inggrisnya.

Banyak hal menarik yang dijelaskan Mirza D. Kusrini tentang katak pohon. Seperti anakan dari Gold Striped Tree Forg, dimana katak pohon ini tidak bermetamorphosis alias tidak mempunyai berudu.

“ Begitu netes langsung jadi katak kecil. Jadi tidak semua yang diajarkan di SD bener semua.” Tegas Mirza.

Seminar hanya dihadiri 10 orang saja, tapi cerita tentang katak semakin menarik. Apalagi cerita saat katak pohon akan kawin. Biasanya katak jantan akan bernyanyi mencari perhatian betina. Begitu betina sudah menentukan pilihan, dia memegang peranan. Terjadilah komunikasi visual.

“Betinanya akan menggendong jantan, loncat-loncat, bisa sangat jauh sekali. Mencari tempat yang nyaman untuk mengeluarkan telurnya. Bisa 5 – 12 jam lamanya, katak pembuahannya diluar. “ Bu Mirza terus bercerita.

Selama ini orang berpikir katak harus bertelor di dalam air. Ternyata tidak, di arboretum IPB, katak pohon itu bertelur di antara daun-daun, biasanya telur-telurnya akan jatuh ke dalam parit. Jadi cukup aman untuk telur katak pohon yang memang membutuhkan air.

Ada dua tipe sarang katak pohon, ada yang bertelur di daun dan ada yang bertelur di tanah. Sekali bertelur biasanya hamper 30 butir. Tidak semuanya menetes, mungkin setengahnya saja.

Katak pohon sangat tergantung dengan musim. Kampus IPB termasuk beriklim bagus untuk katak pohon. Jadi bisa diketahui kapan musim kawin. Sementara di Bedogol, Lido hampir setiap saat bertelur, tidak tergantung musim dan banyak sungai. Intinya tergantung dengan curah hujan.

Dan nyatanya katak pohon tidak selalu berwarna kecoklatan, ada juga yang berwarna hijau dan kekuningan. Apalagi di Amerika Selatan,warnanya cantik-cantik.

“warnanya tuh cantik, menyala, menandakan katak itu beracun. Dan memang kataknya beracun,” tambah Bu Mirza.

Ingin tahu lebih banyak tentang katak pohon? Silahkan gabung di mailinglistnya: forum_herpetologi_indonesia@yahoogroups.com

miércoles, 13 de mayo de 2009

Khasiat Herba Sambiloto

Pernah minum Sambiloto saat membeli jamu gendong ? Saya pernah, saat masuk angin, mbok jamu menambahkan godokkan Sambiloto dalam racikan jamunya. Setelah diminum rasanya pahit minta ampun!

Sambiloto bisa tumbuh liar di tempat terbuka seperti kebun, tepi sungai atau tanah kosong yang agak lembah. Juga di pekarangan rumah. Tanaman ini tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 700 m dpl. Batangnya banyak disertai cabang berbentuk segi empat. Daunnya tunggal, bertangkai pendek, letaknya berhadapan bersilang. Permukaan atas daun berwarna hiau tua, bagian bawahnya hijau muda, panjang 2 - 8 cm, lebar 1 - 3 cm.

Bunganya berbibir berbentuk tabung kecil- kecil, warnanya putih bernoda ungu. Buahnya kapsul berbentuk jorong, panjang sekitar 1,5 cm, lebar 0,5 cm, pangkal dan ujung tajam, bila masak akan pecah mernbujur menjadi empat keping. Bijinya gepeng, kecil-kecil. Berwarna cokelat muda. Jika ingin memperbanyak, bisa dengan biji atau setek batang. Syaratnya, ketinggian tempat 1 meter – 700 meter di atas permukaan laut. Curah hujan tahunan sekitar 2.000 mm - 3.000 mm/tahun .

Perlu diperhatikan, kelembapannya dan penyinarannya sedang saja. Dengan tekstur tanah berpasir. Untuk drainasenya harus baik dengan kedalama air tanah : 200 cm - 300 cm dari permukaan tanah. Untuk kedalaman perakaran, diatas 25 cm dari permukaan tanah.
Bagaimana menanam Sambiloto? Biji Sambiloto dapat disemai dalam polybag. Kira-kira satu minggu akan muncul kecambah. Setelah tingginya 20 cm, kecambah siap dipindahkan kedalam lubang tanaman berukuran 25 cm x 25 cm x 25 cm, dengan jarak tanam 1,5 m x 1,5 meter. Atau bisa ditanam dalam pot bunga.

Bagian yang digunakan dari Sambiloto adalah herba. Dipanen sewaktu tumbuhan ini mulai berbunga. Setelah dicuci, dipotong-potong seperlunya lalu dikeringkan. Herba yang kering sebanyak 10 - 20 gram direbus atau herba kering digiling halus menjadi bubuk lalu diseduh.
Rebusan herba diminum 3 - 4 kali sehari, atau 4 - 6 tablet.

Untuk pengobatan kanker, digunakan cairan infus, injeksi, atau tablet. Untuk pemakaian luar, herba segar direbus lalu airnya digunakan untuk cuci atau digiling halus dan dibubuhkan ke tempat yang sakit, seperti digigit ular berbisa, gatal-gatal, atau bisul.
Selain itu, herba Sambiloto juga berkhasiat mengatasi :
- hepatitis, infeksi saluran empedu,
- disentri basiler, tifoid, diare, influenza, radang amandel (tonsilitis),
abses paru, radang paru (pneumonia), radang saluran napas
(bronkhitis), radang ginjal akut (pielonefritis akut), radang telinga
tengah (OMA), radang usus buntu, sakit gigi,
- demam, malaria,
- kencing nanah (gonore),
- kencing manis (DM),
- TB paru, skrofuloderma, batuk rej an (pertusis), sesak napas (asma),
- darah tinggi (hipertensi),
- kusta (morbus hansen = lepra),
- leptospirosis,
- keracunan jamur, singkong, tempe bongkrek, makanan laut,
- kanker: penyakit trofoblas seperti kehamilan anggur (mola hidatidosa)
dan penyakit trofoblas ganas (tumor trofoblas), serta tumor paru.

Di bawah ini beberapa contoh pemakaian herba Sambiloto untuk mengatasi penyakit:

1. Tifoid , ambil daun sambiloto segar sebanyak 10 - 15 lembar direbus dengan dua
gelas air sampai tersisa satu gelas. Setelah dingin disaring, tambahkan madu secukupnya lalu diminum sekaligus. Lakukan 3 kali sehari.

2. Disentri basiler, diare, radang saluran napas, radang paru. Ambil herba kering sebanyak 9 - 15 gram lalu direbus dengan tiga gelas air sampai tersisa satu gelas. Setelah dingin, rebusan disaring. Air rebusannya diminum sehari dua kali, masing-masing 1/2 gelas saja.

3. Disentri, herba krokot segar (Portulaca oleracea) sebanyak 500 gram diuapkan selama 3 - 4 menit, lalu ditumbuk dan diperas. Air perasan yang terkumpul ditambahkan bubuk kering sambiloto sebanyak 10 gram sambil diaduk. Campuran tersebut lalu diminum, sehari tiga kali
masing-masing sepertiga bagian.

4. Influenza, sakit kepala, demam. Ambil bubuk kering sambiloto sebanyak 1 gram lalu diseduh dengan air panas dalam cangkir. Setelah dingin diminum sekaligus, Lakukan 3 - 4 kali sehari.

5. Demam, ambil daun Sambiloto segar sebanyak satu genggam lalu ditumbuk. Tambahkan setengah cangkir air bersih, saring lalu minum sekaligus. Daun segar yang digiling halus juga bisa digunakan sebagai tapal badan yang panas.

6. TB paru. Daun sambiloto kering digiling menjadi bubuk. Tambahkan madu secukupnya sambil diaduk rata lalu dibuat pil dengan diameter 0,5 cm. Pil ini Ialu diminum dengan air matang. Sehari 2 - 3 kali, sebanyak 15 - 30 pil.

7. Batuk rejan (pertusis), darah tinggi. Ambil daun sambiloto segar sebanyak 5 - 7 lembar diseduh dengan setengah cangkir air panas. Tambahkan madu secukupnya sambil diaduk. Setelah dingin minum sekaligus. Lakukan sehari tiga kali.

8. Radang paru, radang mulut, tonsillitis. Gunakan bubuk kering herba sambiloto sebanyak 3 - 4,5 gram, lalu diseduh dengan air panas. Setelah dingin tambahkan madu secukupnya lalu diminum sekaligus.

9. Faringitis, ambillah herba sambiloto segar sebanyak 9 gram dicuci lalu dibilas dengan air
matang. Bahan tersebut lalu dikunyah dan airnya ditelan.

10. Hidung berlendir (rinorea), infeksi telinga tengah (OMA), sakit gigi. Ambil herba sambiloto segar sebanyak 9 - 15 g direbus dengan tiga gelas air sampai tersisa satu gelas. Setelah dingin disaring, lalu diminum dua kali sehari masing-masing setengah gelas. Untuk OMA, herba segar dicuci lalu digiling halus dan diperas. Airnya digunakan untuk tetes telinga.

11. Kencing manis, ambil daun sambiloto segar sebanyak setengah genggam dicuci lalu direbus
dengan tiga gelas air bersih sampai tersisa dua seperempat gelas. Setelah dingin disaring, lalu diminum sehabis makan, tiga kali sehari masing-masing tiga perempat gelas.

Di beberapa daerah, Sambiloto mempunyai nama yang berbeda. Misalnya, ki oray, ki peurat, takilo (Sunda). Bidara, sadilata, sambilata,; takila (Jawa). Pepaitan (Sumatra). Chuan xin lian, yi jian xi, lan he lian (China). Xuyen tam lien, cong cong (Vietnam). Kirata, mahatitka (India/Pakistan). Creat, green chiretta, halviva, kariyat (Inggris).

Sumber : iptek.net.id

lunes, 4 de mayo de 2009

Rebung dari Halaman Rumah

Hari minggu yang lalu, saya bersama istri berkeliling kebun di sekitar rumah kami yang berlokasi di kaki gunung salak, saat itu golok dan sepatu bot sudah kami pergunakan, kenapa? karena kami sedang mencari rebung dari berbagai rumpun bambu yang kami miliki. Kami memiliki bambu andong, kuning, tali, hitam serta bambu betung. Dari semu bambu itu tidak tunas mudanya (rebung) bisa dimakan, hanya bambu betung, kuning dan hitam yang dapat kami ambil untuk dimasak.

Setelah mencari ke berbagi rumpun bambu akhirnya kami mendapatkan juga rebung yang kami cari, walaupun ukurannya tidak terlalu besar tapi dapat kami ambil untuk diolah menjadi sayuran. Pencarian bukan berhenti sampai rebung, namun kami terus mencari daun pepaya, setelah memetik 4 daun, akhirnya kami kembali ke rumah untuk mengolah rebung dan daun pepaya.

Istri saya hari ini ingin sekali memasak rebung dan daun pepaya, karena kami memiliki tanaman sendiri maka tidak perlu kami beli dari pasar, cukup memanennya di halaman rumah. Jadi bagi anda yang memiliki halaman yang cukup kenapa tidak menanam juga tanaman pangan, bisa apa saja, tidak hanya bunga, palem atau angrek sebagai tanaman eksotik. Dengan demikian kita memiliki sumber pangan di halaman rumah. Selamat mencoba.

martes, 28 de abril de 2009

Ketepeng Obat Penyakit Kulit

Penyakit kulit seperti panu dan kurap tentunya tak asing lagi bagi kita. Sekarang banyak obat beredar dipasaran untuk menyembuhkannya. Sebetulnya, panu dan kurap tadi bisa juga disembuhkan dengan semacam tanama perdu yang bisa ditanam di halaman rumah, karena pohonnya rindang.

Ketepeng cina (Cassia alata) atau disebut juga Ketepeng Kebo di Jawa dan Ketepeng badak begitu orang Sunda menyebutnya. Jenis perdu yang besar dan banyak ditemukan tumbuh secara di tempat-tempat lembab.

Ukuran daunnya besar-besar dengan bentuk bulat telur yang letaknya berhadap-hadapan satu sama lain dan terurai lewat ranting daun (bersirip genap). Bunga ketepeng cina mempunyai mahkota yang pada bagian bawahnya berwarna kuning dan ujung kuncup pada tandan berwarna coklat muda. Buahnya berupa buah polong yang bersayap dan pipih berwarna hitam. Ketepeng Cina tumbuh subur pada dataran rendah sampai ketinggian 1400 meter diatas permukaan laut.
Lalu apa kegunaan ketepeng selain mengobati panu dan kurap? Daun ketepeng juga sangat mujarab mengobati sembelit, sariawan , dan cacing keremi. Mau tahu cara meramunya? Silahkan ikuti petunjuk di bawah ini:

Bagian yang dipakai dari ketepeng adalah daun.

• Pengobatan untuk penyakit kulir panu, kurap. Ambil satu genggam daun ketepeng cina yang masih segar. Tambahkan sedikit tawas atau satu sendok makan kapur sirih. Setelah itu, semua bahan direbus, dilumatkan sampai menjadi bubur. Ramuan yang sudah jadi digosokkan dengan kuat pada kulit yang sakit. Coba lakukan dua kali setiap harinya.

• Untuk mengatasi sembelit (susah buang air besar). Cukup ambil tujuh lembar daun muda ketepeng cina segar. Rebuslah daun dengan dua gelas air hingga mendidih sampai godokkan menjadi satu gelas. Setelah dingin, godokkan ketepeng cina diminum sekaligus.

• Bagi penderita sariawan. Ambil empat lembar daun ketepeng cina segar, tambahkan garam secukupnya. Cuci bersih daunnya, lalu kunyah dengan garam secukupnya (seperti mengunyah sirih) selama beberapa menit. Kemudian airnya ditelan dan ampasnya dibuang.

• Cacing Keremi sering menyerang anak-anak. Coba ambil tujuh lembar daun ketepeng cina segar. Tambahkan asam secukupnya untuk menghilangkan bau. Masukkan dua sendok teh bubuk akar kelembak. Semua bahan direbus dengan dua gelas air hingga mendidih sampai menjadi satu gelas. Godokkan ketepeng disaring dan diminum selagi hangat.

Komposisi :
Sifat kimiawai dan efek farmakologis dari ketepeng cina adalah: pedas, hangat, insecticidal, menghilangkan gatal-gatal, pencahar, obat cacing, obat kelainan kulit yang disebabkan oleh parasit kulit.

Kandungan kimia ketepeng cina : Rein aloe-emodina, rein aloe-emodina-diantron, rein, aloe emodina, asam krisofanat, (dihidroksimetilanthraquinone), tannin.

Nama loka Ketepeng cina:
Seven golden candlestik (Inggris), Ketepeng kebo (Jawa); Ketepeng cina (Indonesia), Ketepeng badak (Sunda); Acon-aconan (Madura), Sajamera (Halmahera),; Kupang-kupang (Ternate), Tabankun (Tidore); Daun kupang, daun kurap, gelenggang, uru'kap (Sumatera).

Sumber: iptek.net.id

lunes, 27 de abril de 2009

Lahan Gambut Naik Daun

Lahan gambut dulu tidak diperhatikan, sekarang lahan gambut menjadi idola banyak kalangan, dari pemerintah, LSM hingga pengusaha. Catatan Greenpeace, total gambut di Indonesia ada 42 juta hektar alias 10 persen dari total gambut dunia.

Bustar Maitar, Senior Forest Campaigner Greenpeace juga menjelaskan bahwa lahan gambut di Indonesia mempunya fungsi ekologis bagi 800 jenis, 71 family dan 237 genus. Lahan gambut merupakan habitatnya orangutan juga pemijahan ikan, dan udang. Gambut juga penting untuk penyeimbang iklim.

“Penghancur utama gambut adalah ekspansi sawit dan HTI,” ucap Bustar di depan peserta Seminar Festival Orang Rawa-Gambut Se-Indonesia, 22 April 2009 lalu di Hotel Salak, Bogor.

Lantas apa sih kerugian apabila lahan gambut hancur?
Indonesia akan mengekspor asap tahunan ke wilayah Asia Tenggara, terutama Singapura dan Malaysia. Selain itu melepas emisi.

“Greenpeace ingin menahan kenaikan iklim sampai 2 derajat Celsius, kalau sampai naik 2 derajat berarti kehancuran,” tegas Bustar mengenai penghancuran lahan gambut ini.

Selain mengungkapkan kerugian serta Nampak yang kritis apabila hutan gambut beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan HTI. Greenpeace mengemukakan tuntuannya agar dilakukan:

1. Penghentian sementara konversi hutan di Indonesia
2. Perlindungan total untuk kawasan gambut di Indonesia
3. Deforestasi NOL di tahun 2020

Bustar juga menambahkan, bahwa banyak sekali konflik kebijaksanaan dan banyak kepentingan yang harus diakomodir oleh pemerintah. Karena itu, Greenpeace mengajukan moratorium dan penghentian sementara konversi hutan tadi.

“Greenpeace tidak anti sawit, tapi Greenpeace anti pembabatan lahan gambut. Apa yang Greenpeace lakukan hanya mengangkat fakta-fakta yang masyarakat tidak tahu.”

Intinya, lahan gambut sekarang berubah, selama ini dianggap kawasan tidak bernilai, rendah alias tidak ada nilai moneter maupun sosial. Naik daunnya lahan gambut karena isu perubahan iklim. Disampaikan Farah Sofa, dari Kemitraan Pada penutupan seminar.

viernes, 24 de abril de 2009

Anti Kesejahteraan Masyarakat

Bertepatan dengan Hari Bumi, tanggal 22 April 2009 di Hotel Salak, Bogor diadakan seminar Festival Orang Rawa Gambut Se-Indonesia.
Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan sebagai tuan rumah festival. Sesi pertama seminar menghadirkan Dr. A.Sonny Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup . Fitran Ardiansyah, Direktur Program Iklim dan Energi, WWF Indonesia dan Muhammad Djauhari, Koordinator KpSHK.
Gending sunda mengiringi tiga orang penari dengan kostum berwarna kuning, hijau bercampur merah muda dipenuhi dengan manik-manik. Ketiga penari dari Sanggar Mayang Arum, berlenggak-lenggok membawakan tarian Ronggeng Nyentrik membuka seminar sesi pertama.
Dr. A. Sonny Keraf menjadi pembicara pertama. Dia baru saja pulang dari daerah untuk pelaksanaan pemilu legislatif. Awalnya hendak menolak untuk menjadi pembicara pada seminar rawa gambut ini.
“ Topiknya awam buat saya, dari TOR ada keprihatian dengan rawa gambutdan masyarakat adat. Ijinkan saya berbicara makro- melihatnya lebih makro”, komentar Sonny Keraf.
Ia juga menyampaikan beberapa hipotesa mengenai pembangunan di negeri ini.
“Jangan-jangan pembangungan kita di Indonesia, anti kesejahteraan rakyat, karena kebijakan pembangunan yang ditempuh. Saya kuatir pada akhirnya memiskinkan masyarakat setempat secara lebih luas.”
Lalu, Ia menceritakan kasus yang tidak ada kaitannya dengan rawa gambut sama sekali. Tentang pembangunan Semen Gresik, di Pati, Jawa Tengah. Rencana pembangunan Semen Gresik ini ditentang oleh masyarakat asli, suku Samin di Gunung Kendeng.
“Mereka menolak. Saya pun dalam posisi menolak, yang menarik, dilontarkanlah oleh gubernur dan pihak lain, saya anti kesejahteraan untuk masyarakat setempat.”
Rencana pembangunan Semen Gresik ini akan menghancurkan irigasi. Sepuluh tahun ke depan pertanian akan hancur.  Pembangunan Semen Gresik justru akan menghancurkan masyarakat, karena tidak menghiraukan nilai-nilai setempat.Dengan jelas  Sonny Keraf  berbicara di depan peserta seminar.
“ Saya tidak anti kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan ekonomi masyarakat tidak harus industri, bisa juga pertanian dan menjaga ekosistem di situ.”
Sonny Keraf kuatir ini akan terjadi pada lahan gambut. Membuka perkebunan kelapa sawit dengan iming-iming untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Sawitisasi akan menghancurkan ekosistem, yang bukan asli tanaman masyarakat setempat. Menghancurkan modal sosial ekonomi.”
Ia menambahkan bahwa pembangunan seperti itu tidak people center development. Biasanya dipaksanakan dari atas. Contohnya Semen Gresik tadi.
Akhirnya, Dr. A. Sonny Keraf menegaskan bahwa sebaiknya pembangunan itu seharusnya community development base yaitu berangkat dari masyarakat . Bisa dengan mengembangkan tanaman asli setempat, tidak harus sawit. Tidak dipaksakan dari atas, Maka tiga pilar pembangunan bisa tercapai dan ekosistem pasti terjaga. Semen Gresik hanya salah satu kasus yang dipaksakan dari atas.

Mengamati Orang Utan

<cerita awal> <cerita sebelumnya>



Hutan di Tanjung Puting temasuk hutan tropis basah, yang di antaranya berupa hutan kerangas. Pagi-pagi setelah kami sarapan, kami bergegas menyelusuri jalan setapak memasuki hutan untuk melihat orang utan di kehidupan liarnya. Permukaan tanahnya basah, penuh dedaunan kering. Di beberapa tempat terpaksa dipasang papan-papan untuk menghindarkan kaki tenggelam dalam lumpur bercampur serasah itu. Kami juga harus menghindari batang-batang rotan berduri yang menggelantung di jalanan. Setelah berjalan beberapa lama, kami sampai di tempat agak terbuka. Bohap, penunjuk jalan kami, memberitahu bahwa di sinilah orang-orang utan liar bisa kami lihat. Dengan sabar kami menunggu setiap gerak yang terjadi di atas pepohonan tinggi yang tumbuh di situ.
Mata kami semua tertuju kepada satu titik tempat seekor orang utan besar yang sedang berayun. Tidak lama kemudian kami melihat seekor orang utan yang menggendong anaknya. Menurut Bohap, penunjuk jalan kami, setiap orang utan jantan memiliki wilayah jelajah tertentu. Secara ini tidak ada dua ekor orang utan jantan terlihat di areal yang sama. Di pohon di depan kami tampak seekor orang utan jantan dan seekor betina yang menggendong anaknya. Bagi saya tidak jelas, apalagi dari kejauhan, beda antara yang jantan dan yang betina. Lalu Bohap menunjukkan ranting-ranting dan dedaunan yang teronggok di salah satu dahan. Onggokan batang dan daun itu adalah sarang mereka. Entah benar entah tidak informasi itu, yang jelas kami semua terpesona oleh keterangan Bohap.
Ketika matahari sudah condong ke barat, kami pun bergegas menuju kamp kembali. Segera saja saya ingat akan nasi dan sarden kalengan yang siap menyambut kami. Sangat tidak menarik. Saya ingin segera mencapai kamp. Baju saya basah, karena udara sangat lembab. Saya juga merasakan gatal-gatal di kaki, paha dan betis saya. Sesampai saya di kamp, segera saya buka sepatu dan kaus kaki saya. Hampir saja saya menjerit melihat beberapa lintah jatuh bersama kaus kaki saya. Saya melompat ke kamar. Saya tanggalkan celana panjang saya, karena saya takut ada lintah yang merambat ke atas. Betul juga. Paha dan betis saya mengeluarkan darah cair gara-gara lintah yang lapar. Saya berteriak minta tembakau ke Effendi Sumardja untuk menghentikan aliran darah itu. Effendi tertawa terbahak-bahak seraya berkata bahwa yang menggigit saya pasti lintah jantan. Ada-ada saja.
<bersambung>

jueves, 23 de abril de 2009

Suaka Alam Tanjung Puting

<cerita awal> <cerita sebelumnya>



Lain lagi ketika saya mengunjungi Suaka Alam Tanjung Puting di Kalimantan Tengah. Saya diajak ke sana oleh Direktur PPA (Pusat Pengawetan Alam), pak Loekito Darjadi. Di Suaka Alam itu tinggal Berute Galdikas, seorang Amerika ahli orang utan. Sudah lama saya ingin mengunjungi Tanjung Puting, yang tercantum di peta dunia pelestarian alam. Jadi tanpa keraguan sedikitpun saya iyakan ajakan pak Loekito. Kami naik kapal terbang perusahaan De Raya dari Semarang ke Pangkalan Boen. Pak Effendi Soemardja, salah seorang staf pak Loekito, terbang bersama kami. Meskipun jarak antara Semarang dan Pangkalan Boen tidak jauh, rasanya kami terbang lama sekali. Bunyi mesin kapal terbang itu sangat berisik, sehingga kami tidak bisa bercakap-cakap walaupun duduk berdekatan. Ciapan anak-anak ayam yang diangkut bersama kami ke Balikpapan menambah riuhnya bunyi mesin yang mengganggu pendengaran kami. Agaknya anak-anak ayam ini merasa ketidaknyamanan seperti yang kami alami.



Sesampai kami di Pangkalan Boen, sebuah jip telah menunggu kami untuk membawa kami ke kantor Kehutanan setempat dan Suaka Alam Tanjung Puting. Sebuah jembatan kayu kecil menghubungkan pelataran tempat Berute dan para asistennya bermukim dan jalan tempat jip diparkir. Begitu kami meniti jembatan kayu itu, begitu kami disambut oleh orang-orang utan yang dipelihara Berute sebelum dilepaskannya kembali ke hutan alami. Nama yang diberikan kepada orang-orang utan itu adalah nama-nama orang terkenal Jakarta yang pernah mengunjungi Tanjung Puting. Kami semua tertawa mendengar Berute memanggil orang utan itu satu per satu dengan nama-nama yang kami kenal. Bukan tidak mungkin setelah kunjungan kami, nama Loekito Darjadi akan diabadikan Berute di salah satu orang utan peliharaannya. Suatu cara unik untuk menghormati mereka yang terkenal.
Kami menginap di salah satu rumah dekat rumah Berute. Tiap hari yang kami makan tidak lebih dari ikan sarden kalengan dan nasi. Tiga kali sehari makan sarden tentu saja sangat membosankan. Tetapi tidak ada seorang pun yang berani mengeluh. Saya melihat banyak ikan gabus berseliweran di parit di sisi rumah Berute. Alangkah nikmatnya bila ikan gabus goreng segar terhidang di hadapan kami sebagai pengganti ikan sarden itu. Tetapi, ikan gabus goreng itu tentunya hanya ada dalam lamunan, karena di suaka alam semua hewan dan tumbuhan dilindungi. Kami tunduk pada aturan, meskipun di antara kami ada pak Loekito, pimpinan tertinggi dari seluruh persuakaalaman Indonesia.
<bersambung>

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

miércoles, 22 de abril de 2009

Sengon Unggulan Nusantara

Oleh-oleh mengunjungi Indo Green Forestry Expo 2009 yaitu tentang kayu Sengon yang mempunyai beragam manfaat. Dimana kebutuhan akan kayu sengon sebagai bahan baku industri dari tahun ke tahun meningkat. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut, diperlukan percepatan masa panen yang dinilai layak baik fisik maupun ekonomi.

Untuk mendapatkan percepatan, maka diperlukan rekayasa/inovasi teknologi perakaran pada pembiakan generatif yang berasal dari biji, bersertifikat yang jelas asal usulnya, yaitu Sengon Unggul Nusantara (SUN).

Apa sih keunggulan SUN itu?
Sengon dengan nama dagang SUN mempunyai perakaran tunjang majemuk. Menghasilkan Sengon tumbuh cepat, kokoh dan kayu berkualitas. Dapat dipanen mulai umur tiga tahun dan memberi manfaat secara ekonomi, sosial dan lingkungan.

“ SUN yang dipanen itu yang memiliki diameter 20-25 cm. Ini sudah bisa dipake untuk industry plywood juga peti kemas buah-buahan,” ungkap Intan Legiawati dari Koperasi Departemen Kehutanan.

Jika Anda tertarik untuk mengetahu lebih banyak tentang Sengon Unggul Nusatara untuk penghijauan di lingkungan Anda. Silahkan menghubungi:

Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara
Gedung Manggala Wanabakti Blo I, Lantai 15
Jl. Gatot Subroto Senayan – Jakarta
E-mail : kpwn_pusat@yahoo.com
Tlp. 021 – 5700 229

Pertama di Kalimantan

<cerita awal> <cerita sebelumnya>








Kalimantan memberikan kenangan tersendiri. Bagi kami yang bekerja di bidang biologi, Kalimantan Timur merupakan salah satu tempat tujuan untuk mengumpulkan contoh-contoh. Itulah sebabnya ketika Kuswata mengajak saya berkunjung ke Universitas Mulawarman, tanpa berpikir dua kali saya mengiyakannya. Balikpapan adalah kota pertama tempat saya menginjakkan kaki di Kalimantan Timur. Untuk ke Samarinda, tempat kampus Universitas Mulawarman, Kuswata mengatakan bahwa kita hanya dapat mencapainya dari Balikpapan dengan perahu ketinting, menyusuri sungai Mahakam. Saya tidak bisa membayangkan apa ketinting itu dan berapa lama kami harus berperahu. Sementara kami mengambil barang-barang bawaan kami, ada seseorang yang mendekati Kuswata dan menawarinya terbang ke Samarinda dengan pesawat empat penumpang.





Tawar-menawar harga pun berlangsung dan berakhir dengan kami berdua bersama pilot dan co-pilotnya terbang ke Samarinda. Masalah timbul ketika waktu mendarat datang. Rupa-rupanya baik pilot mau pun co-pilot belum mengenal medan di Samarinda. Rasanya lama menunggu pembicaraan antara pilot dengan entah siapa yang memandu pilot untuk mendarat. Begitu pilot melihat menara mesjid, kapal terbang menyusuri celah di antara rumah-rumah penduduk dan berakhir dengan pendaratan di lapangan terbuka.


Masalah lain segera saja menyusul. Kuswata mengeluarkan barang-barang kami dari badan kapal terbang. Tidak tampak kendaraan umum yang bisa kami tumpangi ke kota, kecuali sebuah mobil pemadam kebakaran. Tidak mungkinlah bagi kami menggotong barang-barang kami keluar lapangan, karena selain berat, juga kami tidak bisa memperkirakan berapa jarak yang harus kami tempuh sebelum kami sampai ke jalan umum. Kuswata tidak kekurangan akal. Dia mencoba mencari supir pemadam kebakaran dengan harapan bahwa pak Supir mau memberikan kita tumpangan ke jalan besar. Supir itu tidak pernah diketemukannya. Kuswata tetap optimis dan yakin kami akan sampai ke kampus tanpa harus berjalan kaki. Benar juga dugaannya. Kami melihat sebuah jip berplat merah datang, entah mengantar atau menjemput seseorang. Secepat kilat Kuswata mendekati jip tersebut. Hasilnya dia tertawa lebar sambil mengangkat barang-barang kami ke jip. Singkat kata kami diantar sampai ke rumah pak Rektor, pak Sambas. Jip itu adalah jip Universitas Mulawarman.

<bersambung>

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

martes, 21 de abril de 2009

Jaring Penahan Tanaman di Tebing

Pameran Indo Green Forestry yang berlangsung di Jakarta Convention Center berakhir pada 17 April 2009. Seperti datang ke pesta pernikahan, telat sedikit, makanannya pun tinggal sisa. Begitu pula dengan Indo Green Foresty Expo. Hari terakhir, jumat sore, menyisakan beberapa stand yang sudah kehabisan leaflet dan informasi lainnya.

Tak pendek akal, walau menyisakan sedikit informasi, pandangan mata tertuju pada gapura dengan tulisan "Forum Reklamasi Hutan Padan Lahan Bekas Tambang".

Pameran hutan di Indonesia  kali ini bertema Save The Forest, Save The World.  Tidak hanya  departemen atau balai konservasi saja yang memajang upaya-upaya penyelamatan hutan di Indonesia. Juga ada perusahaan seperti   PT. Indo Green Planet yang menjual kebutuhan bagi perusahaan yang ingin  menghijaukan kembali lahan-lahan bekas tambangnya.

Saya bertemu dengan Faisal dari PT. Green Planet Indonesia di area Forum Reklamasi ini.  Tergelitik menanyakan jaring yang  terpasang  di meja pameran.

"Apa kegunaan dari jaring tersebut?"

“Ini Jute Net, penahan erosi, penahan benih tanaman. Jadi pada saat disemprot tanaman di tebing, bisa tertahan,” jelas Faisal.

Ternyata, PT. Green Planet Indonesia ini mengembangakan pembuatan jaring untuk penahan bibit tanaman di tebing dengan kemiringan lebih dari 60 derajat di lahan bekas pertambangan. Penamanan ini namanya hydro seeding alias tehnik penghijauan.

Ukuran jaringnya berbeda. Semakin tebal semakin kuat. Faisal menambahkan informasi kegunaan jute net tadi. Jadi, kalau perusahaan tambang akan melakukan penghijaun dan mereklamasinya dan membutuhkan bibit tanaman kacang-kacangan. Silahkan Anda menghubungi:

PT. Green Planet Indonesia
Komplek Puri Britania
Jl. Puri Ayu Raya Blok 17 No. B 37
Jakarta 11610
E-mail: green77@cbn.net.id
Tlp. 021 – 583 04 822

Menjaga Martabat Lembaga Pemerintah

<cerita awal> <cerita sebelumnya>



Sudah sejak jaman Belanda pelestarian kawasan alami untuk melindungi jenis-jenis tumbuhan atau hewan menjadi perhatian pemerintah. Sumatera Utara memiliki kawasan pelestarian yang sangat luas, yang merupakan sebagian dari Leuser. Banyak orang-orang asing yang berminat untuk tinggal di sana dan meneliti berbagai tumbuhan dan hewan liar, karena keadaan di situ masih relatif utuh. Mereka harus memperoleh ijin tinggal sebagai peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tangan kanan LIPI dalam pemberian ijin penelitian ini adalah Lembaga Biologi Nasional, yang pada waktu itu saya pimpin.


Sepasang suami isteri muda dari Eropa menetap beberapa lama di kawasan pelestarian itu setelah memperoleh ijin dari LIPI dan Kehutanan. Pihak Kehutanan bahkan memberi hak kepada mereka untuk mengelola pondok tamunya. Sayang, pemberian hak itu diinterpretasikan mereka sebagai pemberian kekuasaan penuh sebagaimana halnya seorang penguasa kawasan. Dengan pengertian seperti itu, semua peneliti yang datang ke kawasan harus memperoleh ijin mereka, meskipun LIPI atau pihak Kehutanan telah melengkapi mereka dengan ijin yang diperlukan. Saya tidak mengetahui hal ini sampai salah satu staf lembaga yang harus bekerja di sana ditolak mereka dengan alasan mereka tidak diberitahu sebelumnya. Saya menjadi naik pitam membaca surat penolakan mereka dan langsung mengusulkan kepada pemerintah agar ijin tinggal mereka dicabut. Tentu saja mereka juga tidak tinggal diam. Mereka memperoleh dukungan dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengatakan bahwa penelitian mereka sangat dibutuhkan Indonesia. Tidak kurang dari Menteri Negara Lingkungan Hidup memanggil saya untuk memberi penjelasan atas surat usulan saya. Saya tetap pada pendirian saya, karena saya pikir martabat lembaga pemerintah yang saya pertaruhkan. Akhirnya usulan saya diterima dan mereka harus meninggalkan tempat enam bulan sesudah pemberitahuan resmi dari pemerintah. Saya merasa lega karena kewibawaan lembaga pemerintah dapat saya pertahankan, meskipun nama saya di lingkup internasional menjadi tidak baik.


<bersambung>

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

lunes, 20 de abril de 2009

Di Hutan Dataran Rendah Way Kambas

<cerita awal> <cerita sebelumnya>
Kerja lapangan di Sumatera memberi pengalaman pribadi yang tersendiri. Ketika itu saya ikut rombongan pak Soedjana Kassan, kepala Kebun Raya Bogor, ke hutan dataran rendah Way Kambas di Lampung. Pak Soedjana, selain mafhum dalam pengenalan jenis-jenis tumbuhan, beliau senang dan pandai memasak. Saya senang sekali ke lapangan dengan pak Soedjana. Makanan segar yang disajikannya pada malam hari selalu berbeda macamnya. Untuk kami semua yang seharian sibuk mengumpulkan contoh-contoh tumbuhan, masakan pak Djana terasa amat nikmatnya. Setiap malam, ada saja cerita menarik yang kami dengar dari anggota rombongan. Terkadang cerita yang dituturkan kurang masuk akal, seperti yang diceritakan oleh Tohir. Siang hari itu dia mengaku berpapasan dengan macan tutul. Begitu terkejutnya dia, sampai-sampai dia tidak bisa bergerak. Meskipun kurang masuk akal, tetapi toch kami semuanya mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.


Sungai di Way Kambas sangat jernih airnya. Kami bersampan menyusuri daerah rawa-rawanya. Selain ikan beraneka warna, ular air yang konon berbisa banyak berkeliaran. Jenis tumbuhannya tidak kalah beranekanya. Pak Soedjana sibuk mengumpulkan anggrek, yang menjadi tumbuhan favoritnya. Saya sendiri memilih mengumpulkan jenis kacang-kacangan dan umbi-umbian. Tidak bayak yag saya peroleh di sini. Yang lain, ada yang mengumpulkan jenis-jenis keong, ada yang serangga, ada yang burung. Pokoknya semua memiliki kesempatan mencari contoh hewan atau tumbuhan untuk penelitiannya.
Mandi merupakan hal yang berat bila saya sedang melakukan kerja lapangan. Di Way Kambas, kami menginap di bangunan bekas pekerja lapangan pengusaha hutan. Bangunan itu sendiri cukup baik, tetapi kamar mandinya tidak berdaun pintu lagi. Karena saya satu-satunya anggota perempuan, saya yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Jas hujan adalah perlengkapan serba guna di lapangan dan sangat membantu saya bila tidak ada kamar mandi. Dengan mengenakan jas hujan saya bisa mandi meskipun kamar mandinya terbuka lebar. Tentunya tidak senyaman mandi di rumah, tetapi dengan jas hujan masalah kamar mandi terpecahkan. Setiap kali saya mengenakan jas hujan di kamp itu, semua mengetahui bahwa saya akan mandi
Bangunan tempat kami tinggal hanya mempuyai dua kamar tidur. Satu kamar ditempati pak Soedjana dan satu lagi saya tempati. Bila malam tiba, mereka semua tidur di ruang tamu yang terletak di luar kamar tidur. Mungkin terlalu lelah karena bekerja seharian, begitu lampu minyak dimatikan, bunyi dengkur pun mulai terdengar. Lama-lama dengkur itu bersahut-sahutan, tidak ubahnya nyanyian katak yang ada di rawa-rawa. Masing-masing memiliki dengkur yang khas. Mula-mula susah buat saya tidur di tengah orkestra dengkur mereka. Yang aneh adalah bahwa pada pagi harinya semua, tidak terkecuali, mengeluh mereka tidak bisa tidur karena kawan di dekatnya mendengkur. Saya hanya bisa menggelengkan kepala saya.

Baru seminggu saya di Way Kambas, tiba-tiba saja rasa mual menghantui saya. Pagi-pagi nafsu makan saya hilang. Di perahu, saya muntah-muntah. Siang hari mulut saya terasa asam, sehingga makanan pun terasa amat tidak enak. Dua hari saya alami hal ini, saya memutuskan kembali ke Bogor. Sesampai di Bogor, rasa mual itu tidak hilang juga. Rombongan Way Kambas kembali ke Bogor seminggu kemudian. Dua anggota laki-laki rombongan kami ternyata menderita penyakit yang sama. Lalu kita sepakat bahwa kami bertiga tidak tahan air di Way Kambas, yang mungkin sekali mengandung bakteri atau semacamnya. Beberapa minggu sesudah itu, saya memperoleh jawaban dari dokter kandungan saya, bahwa saya hamil. Anggota rombongan kami tertawa ketika saya beritakan hal itu. Hanya saja mereka lalu bertanya-tanya mengenai macam penyakit yang diderita oleh kedua teman laki-laki rombongan kami itu.

<bersambung>
Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

Bermain Sarang Lebah Bersama Anak Bogor

sábado, 18 de abril de 2009

Astronaut Mendarat di Bulan

<cerita awal> <cerita sebelumnya>


Lain lagi yang saya temui di pedalaman kabupaten Sukabumi. Kali itu saya mencari umbi-umbian yang sekerabat dengan talas Bogor. Sementara kami sibuk menggali umbi yang kami inginkan, terdengar dua anak laki-laki sedang mengobrol di balik semak tempat kami berada.
"Ech, sudah dengar belum, bahwa orang Amerika sudah berhasil menginjakkan kaki di bulan sana? Saya mendengarnya dari tetangga sebelah yang punya radio", celoteh yang seorang.
"He-eh, saya juga mendengarnya. Ketika saya tanyakan ke kyai kita, dia marah betul. Kata kyai, kita tidak boleh percaya pada berita-berita menyesatkan seperti itu. Mana ada orang bisa sampai ke bulan, sepandai apa pun dia itu. Jadi, berita itu bohong belaka", jawab yang satunya lagi.

Saya terperangah mendengar percakapan itu. Ingin saya menjelaskan kepada mereka, bahwa berita itu benar; bahwa para astronaut berhasil mendarat di bulan dan mengumpulkan contoh-contoh batuan bulan untuk dibawa kembali ke bumi. Tetapi, secepat kilat keinginan itu saya padamkan. Saya tidak mau anak-anak itu bingung menerima informasi yang bertentangan dengan ajaran kyainya. Sebentar lagi saya akan meninggalkan tempat itu dan tidak lagi akan dapat berhubungan dengan anak-anak tersebut. Tetapi pak kyai, yang menjadi guru dan kepercayaan mereka akan selalu di tempatnya.
Dari percakapan mereka itu, saya menyadari betapa besarnya masalah pendidikan yang dihadapi bangsa ini. Saya bertanya kepada diri saya sendiri, apa yang dapat saya lakukan untuk anak-anak didik seperti yang saya jumpai di Sukabumi ini?
<bersambung>

------------------------

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

viernes, 17 de abril de 2009

Gogik

<cerita sebelumnya>





Di lapangan, kami juga bisa belajar dari anak-anak mengenai sesuatu yang di luar pengetahuan kami. Hal ini terjadi di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta. Saya ke sana mencari contoh kara benguk, sejenis kacang-kacangan yang di Gunung Kidul dijadikan bahan tempe. Di pasar setempat kami bisa membeli kara benguk dengan bermacam-macam warna kulit biji. Lalu saya ajak teman-teman untuk mencari rawe, kerabat liar kara benguk, yang tumbuh di tepi hutan-hutan jati atau pagar-pagar desa. Sementara kami mengumpulkan polong rawe yang gatal itu, beberapa anak laki-laki menghampiri kami. Mereka tercengang melihat ada orang yang tertarik pada polong rawe, yang oleh penduduk desa dihindari karena kegatalannya. Singkat cerita, saya terlibat percakapan dengan anak-anak tersebut. Ketika saya menanyakan kepada mereka apa yang mereka makan dengan tempe benguk yang khas Gunung Kidul itu, jawab mereka serentak adalah gogik.
"Gogik?", tanya saya balik. " Gogik itu apa, sich?", saya melanjutkan pertanyaan saya."Woo, blaen", komentar mereka. " Gogik saja tidak tahu. Padahal di sini gogik itu adalah makanan kami".
Dari mereka saya belajar bahwa gogik itu tidak lain adalah tiwul yang dikeringkan di bawah sinar matahari, seperti halnya karak yang berasal dari nasi. Saya bisa membayangkan alangkah tidak enaknya rasa gogik itu, kalau tiwul saja di lidah saya sangat tidak enaknya. Saya mengalami makan tiwul untuk pengganti nasi di jaman Jepang.
<bersambung>



------------------------

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

jueves, 16 de abril de 2009

Mencari Penginapan Tahun 1970an

<cerita sebelumnya>
Mencari penginapan di kota-kota kecil di Jawa pada tahun 1970-an, yang bersih, tidak bernyamuk atau berkutu busuk, tidak mudah. Karenanya kami sering menginap di rumah-rumah penduduk atau mantri kehutanan. Saya merasakan repotnya menginap ketika saya harus membawa tamu asing ke lapangan. Bila tamu-tamu tersebut untuk pertama kalinya berkunjung ke Indonesia, mereka tidak pernah mandi dengan gayung atau mempergunakan WC jongkok. Saya dapat merasakan kecanggungan mereka. Tidur pun menjadi permasalahan. Kami, orang-orang Indonesia bisa tidur di lantai tanpa kasur, atau berbagi tempat tidur dengan yang lain, asal sama jenisnya. Tidak demikian untuk tamu-tamu asing. Untuk mereka, tidur bersama di satu tempat tidur, meskipun dengan yang sama jenis adalah tabu. Malam itu kami benar-benar dibikin repot, karena si tamu memilih tidak tidur daripada harus tidur bersama orang lain. Sejak itu, kami benar-benar harus mencermati perbedaan budaya sampai yang sekecil-kecilnya untuk menghindari ketidakenakan.


Tidak jarang kami kemalaman di jalan. Banyak yang menjadi penyebabnya. Terkadang salah seorang dari kami belum juga muncul di tempat dan jam yang telah kami setujui sebelum kami berpencar mencari contoh-contoh tumbuhan atau hewan yang menjadi minat kami. Terkadang pula, salah satu ban mobil yang kami tumpangi pecah, atau bensinnya habis, sehingga kami harus menunggu supir untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bila kami mengalami keterlambatan mencari penginapan di malam hari, ada saja hal yag menggelikan, seperti yang kami alami di Probolinggo. Pemilik penginapan begitu ramah menyambut kami dan menunjukkan sebuah kamar yang cukup besar untuk kami tempati bertujuh. Tetapi kami segera berbalik ke mobil dan mengucapkan terima kasih, karena dalam kamar itu hanya ada satu tempat tidur. Memang benar tempat tidur itu bisa menampung kami semua, tetapi bagaimana kami bisa tidur di satu tempat tidur yang tidak bersekat, sehingga kami, laki-laki dan perempuan, bisa tidur bersama.
<bersambung>
------------------------

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

martes, 14 de abril de 2009

Mengumpulkan Contoh Kunir-Kuniran

<cerita sebelumnya>
Suatu ketika saya harus mengumpulkan contoh kunir-kuniran yang hidup liar di hutan jati Walikukun. Hutan itu terletak tidak jauh dari Madiun, karenanya saya tidur di rumah bersama dua teman yang sekelompok kerja dengan saya. Pagi-pagi sebelum matahari terbit kami sudah berangkat dengan jip ke Walikukun. Di sana kami diterima oleh mantri hutan dan dibawa ke tempat kunir-kunir itu tumbuh. Kami naik dresin, semacam lori yang tidak berpagar dan tidak beratap. Seharian penuh kami menggali contoh-contoh umbi kunir yang kami duga berbeda, baik dalam warna, maupun baunya. Ketika kami pulang, hari sudah malam. Baju kami kotor ternodai lumpur yang menyelubungi umbi-umbi tadi. Melihat penampilan kami ketika memasuki rumah, ibu menggelengkan kepalanya. Esok paginya ibu bertanya:


"Tiek, katanya kamu ini mendapat ijasah sekolah yang paling tinggi. Mengapa pekerjaanmu tidak ubahnya pekerjaan seorang buruh tani yang bergulat dengan lumpur?"

Jawaban saya tidak lain hanya tertawa. Saya jelaskan pun ibu tidak akan pernah mengerti. Untuk ibu, seseorang yang berpendidikan tinggi, tempatnya adalah di kantor, berpakaian bersih, dan memiliki jam kantor yang pasti. Ibu tidak habis pikir, mengapa kenyataan untuk saya sangat berbeda dengan gambaran yang diharapkan.
Kegiatan mengumpulkan contoh-contoh "gene pool" tumbuhan Indonesia itu membawa saya ke hutan Purwo di ujung timur pulau Jawa. Menurut masyarakat setempat hutan Purwo adalah hutan tutupan, yang tabu untuk dimasuki masyarakat, apalagi untuk diusahakan. Sebelum kami datang di tempat itu, kami telah memperoleh ijin dari kantor Kehutanan di Bogor. Hutan Purwo merupakan hutan dataran rendah yang kaya akan jenis kayu dan jenis bambu. Konon, banyak orang menyeberang dari pulau Bali untuk memperoleh kayu secara ilegal dari hutan ini. Kami tinggal di pinggiran hutan, di rumah salah satu penduduk yang rela menampung kami.


Rombongan kami merencanakan tinggal selama satu minggu di kawasan hutan Purwo. Karena tempat tinggal kami jauh dari mana-mana, kami membawa persediaan bahan makanan mentah untuk satu minggu. Bahan-bahan itu kami serahkan kepada yang empunya rumah. Setiap pagi sebelum matahari terbit, kami sudah sarapan dan pergi ke hutan, membawa bekal makan siang, dan pulang ketika matahari terbenam. Kami terkejut ketika ibu rumah tempat kami menginap memberitahukan bahwa persediaan makanan habis. Padahal hari itu baru hari ketiga. Usut punya usut, rupa-rupannya para tetangga pada berdatangan, ketika kami semua pergi ke hutan. Tuan rumah pun bermurah hati menjamu mereka dengan makanan kami. Apa boleh buat, kami membeli bahan makanan mentah seadanya yang dapat kami jumpai di desa dekat pinggiran hutan itu untuk hari-hari berikutnya.

<bersambung>

------------------------

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

Bubur Koran Jadi Keranjang Cantik

Jika melihat tumpukan koran di rumah semakin banyak, sebaiknya jangan dibuang dulu. Pernah terpikir untuk membuat barang atau sesuatu yang berguna dari Koran?

Ya! Kertas koran, selain untuk dibaca dan membungkus barang, juga bisa menjadi keranjang dan taplak meja yang cantik.

“Limbah koran dimasukkan ke dalam lem kanji, diperes terus dicetak,” jelas Maria Purwanto SH, M.Si dari Pepulih, saat ditanya proses pembuatan keranjang dari limbah koran yang terpampang di stand PEPULIH  di Departemen Perindustrian 3 April 2009 lalu.

Caranya mudah dan sederhana.

Bahan-bahan:

Kertas koran, tepung kanji, lem kayu  dicampur air.

Peralatan:

Ember, kompor, panci, adukan, cutter, amplas no. 100

Pertama membuat lem kanji terlebih dahulu. Lalu siapkan kertas koran yang dipilih dengan potongan yang sesuai dengan diameter yang diinginkan. Perlu Anda ketahui, 1 cm=1 lembar koran. Masukkan kertas koran yang dipilin ke dalam tepung kanji. Pilinan diperas dan dililitkan menutupi cetakan.

Setelah itu dijemur langsung di bawah sinar matahari. Agar pengeringannya sempurna dapat menggunakan oven panggang.

Walaupun sederhana cara membuatnya, perlu diperhatikan campuran air untuk merendamnya, supaya kertas bisa mengeras dengan sempurna.

Untuk lebih jelasnya mengenai pengolahan limbah koran menjadi keranjang yang cantik, silahkan Anda menghubungi:

PEPULIH (Pemerhati Peduli Lingkungan Hidup)

Membudayakan wawasan Lingkungan

Kementrian Negara Lingkungan Hidup Gedung – C

Jl. D.I Panjaiatan Kav. 24

Jakarta Timur

Tlp. 021 – 7002 8980 Fax. 021 – 830 2095

e-mail: maria.purwanto@yahoo.com

Perjalanan Panjang dari Hawai dan "Kara-Karaan"

Pengantar Redaksi
Serial ini merupakan rangkaian tulisan dari buku Bintang Beralih yang ditulis oleh panutan kami ibu Setijati D. Sastrapradja, seorang ahli plasma nutfah yang telah diakui kepakarannya di Indonesia & dunia. Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan pribadi beliau, yang menurut kami layak untuk diketahui publik sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.
Terima kasih kepada ibu Setijati atas ijinnya mempublikasikan di matoa.org.



Lebih dari empat puluh tahun sudah saya menjadi pegawai negeri. Penerimaan sebagai pegawai negeri saya tidak melalui ujian, karena saya adalah salah seorang penerima beasiswa pemerintah. Dengan beasiswa itu kepegawaian negeri saya terjamin, hanya saja saya tidak bisa menentukan kantor dan kota yang saya senangi. Sebagai layaknya seorang pegawai negeri, saya memulainya dengan jenjang kepegawaian paling bawah, yang sesuai dengan pendidikan saya. Dengan perjalanan waktu dan peningkatan pendidikan saya, saya dapat mencapai pangkat tertinggi yang dimungkinkan untuk dicapai seorang pegawai negeri di negara ini.

Selama saya menjadi pegawai pemerintah, banyak yang saya lihat, banyak yang saya dengar, dan banyak yang saya alami. Perjalanan panjang yang saya tempuh tidak selamanya licin, tanpa rintangan. Banyak onak dan duri harus saya lalui; banyak ketidaksenangan saya alami, tetapi saya ingin mengenang ruas jalan yang nyaman, dan penggal kegiatan yang menyenangkan saja. Saya menyadari bahwa tanpa ketidaksenangan dan ketidaknyamanan itu, saya pasti tidak bisa merasakan hal yang sebaliknya. Tetapi di sini, saya hanya ingin berbagi rasa mengenai hal yang baik dan menyenangkan saja.

Ketika saya memperoleh kesempatan meningkatkan pendidikan saya di Universitas Hawaii, saya tengadahkan kepala saya kepadaNya di bandara Kemayoran, Jakarta dan mohon berkahNya agar keinginan saya mengabdi kepada negeri yang telah memberi saya kesempatan sekolah ini dikabulkanNya. Dengan langkah pasti saya naiki tangga pesawat Pan America menuju kota pariwisata dunia: Honolulu, Hawaii. Di sinilah saya bermukim beberapa lama sampai saya memperoleh gelar tertinggi dalam pendidikan formal.

Hidup di negara orang memang tidak mudah, apalagi kalau biaya sekolah bukan dari kantung sendiri. Saya memperoleh beasiswa dari East West Center, sebuah badan federal Amerika Serikat, yang memprakarsai pertukaran budaya antar bangsa melalui pendidikan tinggi. Rakyat Amerika memang sangat sadar akan hak dan kewajibannya. Mereka mengetahui bahwa setiap sen yang kami terima dari East West Center adalah berasal dari mereka, pembayar pajak. Seringkali hal ini mereka ucapkan bila kami diundang makan malam atau berpesta kebun dengan mereka. Saya yakin mereka tidak bermaksud apa-apa, kecuali memberi informasi mengenai kontribusi mereka pada pembangunan nasionalnya, tetapi bagi saya pribadi, ucapan itu seakan mengingatkan bahwa saya adalah hidup dari kemurahan hati rakyat Amerika. Apa boleh buat.

Menjadi orang Indonesia di rantau pada tahun-tahun menjelang jatuhnya Presiden Soekarno, amat sangat tidak enak. Hampir setiap hari di koran setempat muncul gambar Presiden Indonesia dengan pemberitaan yang tidak mengenakkan hati. Kami mahasiswa-mahasiswa Indonesia harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya pikir sangat konyol untuk dijawab. Dari banyak orang Indonesia yang sedang belajar di Honolulu, yang berstatus pegawai negeri hanya sedikit. Betapa pun jeleknya pemberitaan mengenai Indonesia, bagi kami pegawai negeri yang sedang menuntut ilmu, merupakan kewajiban untuk mempertahankan nama Indonesia.

Beasiswa saya habis ketika saya meyelesaikan tingkat S2 saya. Untuk meraih S3, saya memperoleh pekerjaan sebagai asisten pengajar di Departemen Botani Universitas Hawaii. Serta-merta saya pun menjadi pembayar pajak betapa pun kecil pajak yang saya bayar ke kas negara Amerika Serikat. Saya sangat bangga dengan status saya sebagai pembayar pajak, karena saya tidak merasa lagi hidup dari kemurahan hati orang lain. Tahun terakhir saya di tingkat S3, terpaksa saya tinggalkan pekerjaan di Departemen Botani, sebab waktu saya hampir tersita untuk mempersiapkan praktikum mahasiswa. Saya bekerja di East West Center Advanced Studies membantu Dr. Shinoda dan Dr. Wittermans sebagai asisten dalam bidang bahasa Indonesia. Status sebagai seorang pembayar pajak ini saya pertahankan sampai saya siap untuk kembali ke Indonesia.

Dengan gelar Ph.D di tangan, saya kembali menjadi pegawai negeri yang aktif. Ternyata ijasah tertinggi belum menjamin saya untuk bisa bekerja mandiri. Saya berhadapan dengan kenyataan hidup yang sebenarnya. Sarana, prasarana dan dana penelitian di lembaga masih saja tetap keadaannya seperti pada waktu sebelum saya pergi. Hanya saja jumlah staf peneliti tambah banyak. Staf memiliki kemerdekaan menentukan macam penelitian yang saya inginkan dengan dana yang sangat minimal. Untuk sementara, saya belum dapat menentukan apa yang harus saya teliti yang ada kaitannya dengan bidang biologi, tetapi yang hasilnya mungkin memiliki aplikasi.

Setelah banyak membaca program UNESCO di bidang biologi, yaitu International Biological Programme (IBP), saya tertarik untuk mengerjakan bidang yang berkenaan dengan penanganan "gene pool", kekayaan yang berupa keanekaragaman sifat biologik. Saya mengetahui bahwa Indonesia memiliki segudang kekayaan hayati, yang negara lain mungkin saja tidak memilikinya. Untuk memulainya, saya perlu menentukan kelompok mana yang belum banyak memperoleh perhatian dunia biologi dan Indonesia merupakan pusat penyebarannya. Pilihan saya jatuh ke jenis "kara-karaan", kelompok kacang-kacangan bukan utama, yang banyak dimanfaatkan oleh penduduk di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sambil meneliti kacang-kacangan itu, saya mencatat buah-buahan dan jenis-jenis tanaman obat yang saya jumpai di pasar. Ternyata Indonesia adalah pusat penyebaran buah-buahan dan tumbuhan obat. Rambutan, durian, mangga, dan pisang misalnya, memiliki kisaran keanekaragaman sifat yang besar di Indonesia ini. Demikian juga tumbuhan obat seperti kunir-kuniran dan sirih-sirihan. Minat saya pada "gene pool" terus berlanjut. Berbekal minat ini dan dana penelitian yang disediakan lembaga, saya memiliki segudang kesempatan untuk mengenal tanah air Indonesia. Bukan hanya pelosok pulau Jawa saja yang sempat saya kunjungi, tetapi juga pulau-pulau besar dan kecil Indonesia, bahkan pulau-pulau kecil di bagian Indonesia sebelah timur pun pernah saya singgahi.

<Bersambung>