martes, 28 de abril de 2009

Ketepeng Obat Penyakit Kulit

Penyakit kulit seperti panu dan kurap tentunya tak asing lagi bagi kita. Sekarang banyak obat beredar dipasaran untuk menyembuhkannya. Sebetulnya, panu dan kurap tadi bisa juga disembuhkan dengan semacam tanama perdu yang bisa ditanam di halaman rumah, karena pohonnya rindang.

Ketepeng cina (Cassia alata) atau disebut juga Ketepeng Kebo di Jawa dan Ketepeng badak begitu orang Sunda menyebutnya. Jenis perdu yang besar dan banyak ditemukan tumbuh secara di tempat-tempat lembab.

Ukuran daunnya besar-besar dengan bentuk bulat telur yang letaknya berhadap-hadapan satu sama lain dan terurai lewat ranting daun (bersirip genap). Bunga ketepeng cina mempunyai mahkota yang pada bagian bawahnya berwarna kuning dan ujung kuncup pada tandan berwarna coklat muda. Buahnya berupa buah polong yang bersayap dan pipih berwarna hitam. Ketepeng Cina tumbuh subur pada dataran rendah sampai ketinggian 1400 meter diatas permukaan laut.
Lalu apa kegunaan ketepeng selain mengobati panu dan kurap? Daun ketepeng juga sangat mujarab mengobati sembelit, sariawan , dan cacing keremi. Mau tahu cara meramunya? Silahkan ikuti petunjuk di bawah ini:

Bagian yang dipakai dari ketepeng adalah daun.

• Pengobatan untuk penyakit kulir panu, kurap. Ambil satu genggam daun ketepeng cina yang masih segar. Tambahkan sedikit tawas atau satu sendok makan kapur sirih. Setelah itu, semua bahan direbus, dilumatkan sampai menjadi bubur. Ramuan yang sudah jadi digosokkan dengan kuat pada kulit yang sakit. Coba lakukan dua kali setiap harinya.

• Untuk mengatasi sembelit (susah buang air besar). Cukup ambil tujuh lembar daun muda ketepeng cina segar. Rebuslah daun dengan dua gelas air hingga mendidih sampai godokkan menjadi satu gelas. Setelah dingin, godokkan ketepeng cina diminum sekaligus.

• Bagi penderita sariawan. Ambil empat lembar daun ketepeng cina segar, tambahkan garam secukupnya. Cuci bersih daunnya, lalu kunyah dengan garam secukupnya (seperti mengunyah sirih) selama beberapa menit. Kemudian airnya ditelan dan ampasnya dibuang.

• Cacing Keremi sering menyerang anak-anak. Coba ambil tujuh lembar daun ketepeng cina segar. Tambahkan asam secukupnya untuk menghilangkan bau. Masukkan dua sendok teh bubuk akar kelembak. Semua bahan direbus dengan dua gelas air hingga mendidih sampai menjadi satu gelas. Godokkan ketepeng disaring dan diminum selagi hangat.

Komposisi :
Sifat kimiawai dan efek farmakologis dari ketepeng cina adalah: pedas, hangat, insecticidal, menghilangkan gatal-gatal, pencahar, obat cacing, obat kelainan kulit yang disebabkan oleh parasit kulit.

Kandungan kimia ketepeng cina : Rein aloe-emodina, rein aloe-emodina-diantron, rein, aloe emodina, asam krisofanat, (dihidroksimetilanthraquinone), tannin.

Nama loka Ketepeng cina:
Seven golden candlestik (Inggris), Ketepeng kebo (Jawa); Ketepeng cina (Indonesia), Ketepeng badak (Sunda); Acon-aconan (Madura), Sajamera (Halmahera),; Kupang-kupang (Ternate), Tabankun (Tidore); Daun kupang, daun kurap, gelenggang, uru'kap (Sumatera).

Sumber: iptek.net.id

lunes, 27 de abril de 2009

Lahan Gambut Naik Daun

Lahan gambut dulu tidak diperhatikan, sekarang lahan gambut menjadi idola banyak kalangan, dari pemerintah, LSM hingga pengusaha. Catatan Greenpeace, total gambut di Indonesia ada 42 juta hektar alias 10 persen dari total gambut dunia.

Bustar Maitar, Senior Forest Campaigner Greenpeace juga menjelaskan bahwa lahan gambut di Indonesia mempunya fungsi ekologis bagi 800 jenis, 71 family dan 237 genus. Lahan gambut merupakan habitatnya orangutan juga pemijahan ikan, dan udang. Gambut juga penting untuk penyeimbang iklim.

“Penghancur utama gambut adalah ekspansi sawit dan HTI,” ucap Bustar di depan peserta Seminar Festival Orang Rawa-Gambut Se-Indonesia, 22 April 2009 lalu di Hotel Salak, Bogor.

Lantas apa sih kerugian apabila lahan gambut hancur?
Indonesia akan mengekspor asap tahunan ke wilayah Asia Tenggara, terutama Singapura dan Malaysia. Selain itu melepas emisi.

“Greenpeace ingin menahan kenaikan iklim sampai 2 derajat Celsius, kalau sampai naik 2 derajat berarti kehancuran,” tegas Bustar mengenai penghancuran lahan gambut ini.

Selain mengungkapkan kerugian serta Nampak yang kritis apabila hutan gambut beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan HTI. Greenpeace mengemukakan tuntuannya agar dilakukan:

1. Penghentian sementara konversi hutan di Indonesia
2. Perlindungan total untuk kawasan gambut di Indonesia
3. Deforestasi NOL di tahun 2020

Bustar juga menambahkan, bahwa banyak sekali konflik kebijaksanaan dan banyak kepentingan yang harus diakomodir oleh pemerintah. Karena itu, Greenpeace mengajukan moratorium dan penghentian sementara konversi hutan tadi.

“Greenpeace tidak anti sawit, tapi Greenpeace anti pembabatan lahan gambut. Apa yang Greenpeace lakukan hanya mengangkat fakta-fakta yang masyarakat tidak tahu.”

Intinya, lahan gambut sekarang berubah, selama ini dianggap kawasan tidak bernilai, rendah alias tidak ada nilai moneter maupun sosial. Naik daunnya lahan gambut karena isu perubahan iklim. Disampaikan Farah Sofa, dari Kemitraan Pada penutupan seminar.

viernes, 24 de abril de 2009

Anti Kesejahteraan Masyarakat

Bertepatan dengan Hari Bumi, tanggal 22 April 2009 di Hotel Salak, Bogor diadakan seminar Festival Orang Rawa Gambut Se-Indonesia.
Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan sebagai tuan rumah festival. Sesi pertama seminar menghadirkan Dr. A.Sonny Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup . Fitran Ardiansyah, Direktur Program Iklim dan Energi, WWF Indonesia dan Muhammad Djauhari, Koordinator KpSHK.
Gending sunda mengiringi tiga orang penari dengan kostum berwarna kuning, hijau bercampur merah muda dipenuhi dengan manik-manik. Ketiga penari dari Sanggar Mayang Arum, berlenggak-lenggok membawakan tarian Ronggeng Nyentrik membuka seminar sesi pertama.
Dr. A. Sonny Keraf menjadi pembicara pertama. Dia baru saja pulang dari daerah untuk pelaksanaan pemilu legislatif. Awalnya hendak menolak untuk menjadi pembicara pada seminar rawa gambut ini.
“ Topiknya awam buat saya, dari TOR ada keprihatian dengan rawa gambutdan masyarakat adat. Ijinkan saya berbicara makro- melihatnya lebih makro”, komentar Sonny Keraf.
Ia juga menyampaikan beberapa hipotesa mengenai pembangunan di negeri ini.
“Jangan-jangan pembangungan kita di Indonesia, anti kesejahteraan rakyat, karena kebijakan pembangunan yang ditempuh. Saya kuatir pada akhirnya memiskinkan masyarakat setempat secara lebih luas.”
Lalu, Ia menceritakan kasus yang tidak ada kaitannya dengan rawa gambut sama sekali. Tentang pembangunan Semen Gresik, di Pati, Jawa Tengah. Rencana pembangunan Semen Gresik ini ditentang oleh masyarakat asli, suku Samin di Gunung Kendeng.
“Mereka menolak. Saya pun dalam posisi menolak, yang menarik, dilontarkanlah oleh gubernur dan pihak lain, saya anti kesejahteraan untuk masyarakat setempat.”
Rencana pembangunan Semen Gresik ini akan menghancurkan irigasi. Sepuluh tahun ke depan pertanian akan hancur.  Pembangunan Semen Gresik justru akan menghancurkan masyarakat, karena tidak menghiraukan nilai-nilai setempat.Dengan jelas  Sonny Keraf  berbicara di depan peserta seminar.
“ Saya tidak anti kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan ekonomi masyarakat tidak harus industri, bisa juga pertanian dan menjaga ekosistem di situ.”
Sonny Keraf kuatir ini akan terjadi pada lahan gambut. Membuka perkebunan kelapa sawit dengan iming-iming untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Sawitisasi akan menghancurkan ekosistem, yang bukan asli tanaman masyarakat setempat. Menghancurkan modal sosial ekonomi.”
Ia menambahkan bahwa pembangunan seperti itu tidak people center development. Biasanya dipaksanakan dari atas. Contohnya Semen Gresik tadi.
Akhirnya, Dr. A. Sonny Keraf menegaskan bahwa sebaiknya pembangunan itu seharusnya community development base yaitu berangkat dari masyarakat . Bisa dengan mengembangkan tanaman asli setempat, tidak harus sawit. Tidak dipaksakan dari atas, Maka tiga pilar pembangunan bisa tercapai dan ekosistem pasti terjaga. Semen Gresik hanya salah satu kasus yang dipaksakan dari atas.

Mengamati Orang Utan

<cerita awal> <cerita sebelumnya>



Hutan di Tanjung Puting temasuk hutan tropis basah, yang di antaranya berupa hutan kerangas. Pagi-pagi setelah kami sarapan, kami bergegas menyelusuri jalan setapak memasuki hutan untuk melihat orang utan di kehidupan liarnya. Permukaan tanahnya basah, penuh dedaunan kering. Di beberapa tempat terpaksa dipasang papan-papan untuk menghindarkan kaki tenggelam dalam lumpur bercampur serasah itu. Kami juga harus menghindari batang-batang rotan berduri yang menggelantung di jalanan. Setelah berjalan beberapa lama, kami sampai di tempat agak terbuka. Bohap, penunjuk jalan kami, memberitahu bahwa di sinilah orang-orang utan liar bisa kami lihat. Dengan sabar kami menunggu setiap gerak yang terjadi di atas pepohonan tinggi yang tumbuh di situ.
Mata kami semua tertuju kepada satu titik tempat seekor orang utan besar yang sedang berayun. Tidak lama kemudian kami melihat seekor orang utan yang menggendong anaknya. Menurut Bohap, penunjuk jalan kami, setiap orang utan jantan memiliki wilayah jelajah tertentu. Secara ini tidak ada dua ekor orang utan jantan terlihat di areal yang sama. Di pohon di depan kami tampak seekor orang utan jantan dan seekor betina yang menggendong anaknya. Bagi saya tidak jelas, apalagi dari kejauhan, beda antara yang jantan dan yang betina. Lalu Bohap menunjukkan ranting-ranting dan dedaunan yang teronggok di salah satu dahan. Onggokan batang dan daun itu adalah sarang mereka. Entah benar entah tidak informasi itu, yang jelas kami semua terpesona oleh keterangan Bohap.
Ketika matahari sudah condong ke barat, kami pun bergegas menuju kamp kembali. Segera saja saya ingat akan nasi dan sarden kalengan yang siap menyambut kami. Sangat tidak menarik. Saya ingin segera mencapai kamp. Baju saya basah, karena udara sangat lembab. Saya juga merasakan gatal-gatal di kaki, paha dan betis saya. Sesampai saya di kamp, segera saya buka sepatu dan kaus kaki saya. Hampir saja saya menjerit melihat beberapa lintah jatuh bersama kaus kaki saya. Saya melompat ke kamar. Saya tanggalkan celana panjang saya, karena saya takut ada lintah yang merambat ke atas. Betul juga. Paha dan betis saya mengeluarkan darah cair gara-gara lintah yang lapar. Saya berteriak minta tembakau ke Effendi Sumardja untuk menghentikan aliran darah itu. Effendi tertawa terbahak-bahak seraya berkata bahwa yang menggigit saya pasti lintah jantan. Ada-ada saja.
<bersambung>

jueves, 23 de abril de 2009

Suaka Alam Tanjung Puting

<cerita awal> <cerita sebelumnya>



Lain lagi ketika saya mengunjungi Suaka Alam Tanjung Puting di Kalimantan Tengah. Saya diajak ke sana oleh Direktur PPA (Pusat Pengawetan Alam), pak Loekito Darjadi. Di Suaka Alam itu tinggal Berute Galdikas, seorang Amerika ahli orang utan. Sudah lama saya ingin mengunjungi Tanjung Puting, yang tercantum di peta dunia pelestarian alam. Jadi tanpa keraguan sedikitpun saya iyakan ajakan pak Loekito. Kami naik kapal terbang perusahaan De Raya dari Semarang ke Pangkalan Boen. Pak Effendi Soemardja, salah seorang staf pak Loekito, terbang bersama kami. Meskipun jarak antara Semarang dan Pangkalan Boen tidak jauh, rasanya kami terbang lama sekali. Bunyi mesin kapal terbang itu sangat berisik, sehingga kami tidak bisa bercakap-cakap walaupun duduk berdekatan. Ciapan anak-anak ayam yang diangkut bersama kami ke Balikpapan menambah riuhnya bunyi mesin yang mengganggu pendengaran kami. Agaknya anak-anak ayam ini merasa ketidaknyamanan seperti yang kami alami.



Sesampai kami di Pangkalan Boen, sebuah jip telah menunggu kami untuk membawa kami ke kantor Kehutanan setempat dan Suaka Alam Tanjung Puting. Sebuah jembatan kayu kecil menghubungkan pelataran tempat Berute dan para asistennya bermukim dan jalan tempat jip diparkir. Begitu kami meniti jembatan kayu itu, begitu kami disambut oleh orang-orang utan yang dipelihara Berute sebelum dilepaskannya kembali ke hutan alami. Nama yang diberikan kepada orang-orang utan itu adalah nama-nama orang terkenal Jakarta yang pernah mengunjungi Tanjung Puting. Kami semua tertawa mendengar Berute memanggil orang utan itu satu per satu dengan nama-nama yang kami kenal. Bukan tidak mungkin setelah kunjungan kami, nama Loekito Darjadi akan diabadikan Berute di salah satu orang utan peliharaannya. Suatu cara unik untuk menghormati mereka yang terkenal.
Kami menginap di salah satu rumah dekat rumah Berute. Tiap hari yang kami makan tidak lebih dari ikan sarden kalengan dan nasi. Tiga kali sehari makan sarden tentu saja sangat membosankan. Tetapi tidak ada seorang pun yang berani mengeluh. Saya melihat banyak ikan gabus berseliweran di parit di sisi rumah Berute. Alangkah nikmatnya bila ikan gabus goreng segar terhidang di hadapan kami sebagai pengganti ikan sarden itu. Tetapi, ikan gabus goreng itu tentunya hanya ada dalam lamunan, karena di suaka alam semua hewan dan tumbuhan dilindungi. Kami tunduk pada aturan, meskipun di antara kami ada pak Loekito, pimpinan tertinggi dari seluruh persuakaalaman Indonesia.
<bersambung>

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

miércoles, 22 de abril de 2009

Sengon Unggulan Nusantara

Oleh-oleh mengunjungi Indo Green Forestry Expo 2009 yaitu tentang kayu Sengon yang mempunyai beragam manfaat. Dimana kebutuhan akan kayu sengon sebagai bahan baku industri dari tahun ke tahun meningkat. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut, diperlukan percepatan masa panen yang dinilai layak baik fisik maupun ekonomi.

Untuk mendapatkan percepatan, maka diperlukan rekayasa/inovasi teknologi perakaran pada pembiakan generatif yang berasal dari biji, bersertifikat yang jelas asal usulnya, yaitu Sengon Unggul Nusantara (SUN).

Apa sih keunggulan SUN itu?
Sengon dengan nama dagang SUN mempunyai perakaran tunjang majemuk. Menghasilkan Sengon tumbuh cepat, kokoh dan kayu berkualitas. Dapat dipanen mulai umur tiga tahun dan memberi manfaat secara ekonomi, sosial dan lingkungan.

“ SUN yang dipanen itu yang memiliki diameter 20-25 cm. Ini sudah bisa dipake untuk industry plywood juga peti kemas buah-buahan,” ungkap Intan Legiawati dari Koperasi Departemen Kehutanan.

Jika Anda tertarik untuk mengetahu lebih banyak tentang Sengon Unggul Nusatara untuk penghijauan di lingkungan Anda. Silahkan menghubungi:

Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara
Gedung Manggala Wanabakti Blo I, Lantai 15
Jl. Gatot Subroto Senayan – Jakarta
E-mail : kpwn_pusat@yahoo.com
Tlp. 021 – 5700 229

Pertama di Kalimantan

<cerita awal> <cerita sebelumnya>








Kalimantan memberikan kenangan tersendiri. Bagi kami yang bekerja di bidang biologi, Kalimantan Timur merupakan salah satu tempat tujuan untuk mengumpulkan contoh-contoh. Itulah sebabnya ketika Kuswata mengajak saya berkunjung ke Universitas Mulawarman, tanpa berpikir dua kali saya mengiyakannya. Balikpapan adalah kota pertama tempat saya menginjakkan kaki di Kalimantan Timur. Untuk ke Samarinda, tempat kampus Universitas Mulawarman, Kuswata mengatakan bahwa kita hanya dapat mencapainya dari Balikpapan dengan perahu ketinting, menyusuri sungai Mahakam. Saya tidak bisa membayangkan apa ketinting itu dan berapa lama kami harus berperahu. Sementara kami mengambil barang-barang bawaan kami, ada seseorang yang mendekati Kuswata dan menawarinya terbang ke Samarinda dengan pesawat empat penumpang.





Tawar-menawar harga pun berlangsung dan berakhir dengan kami berdua bersama pilot dan co-pilotnya terbang ke Samarinda. Masalah timbul ketika waktu mendarat datang. Rupa-rupanya baik pilot mau pun co-pilot belum mengenal medan di Samarinda. Rasanya lama menunggu pembicaraan antara pilot dengan entah siapa yang memandu pilot untuk mendarat. Begitu pilot melihat menara mesjid, kapal terbang menyusuri celah di antara rumah-rumah penduduk dan berakhir dengan pendaratan di lapangan terbuka.


Masalah lain segera saja menyusul. Kuswata mengeluarkan barang-barang kami dari badan kapal terbang. Tidak tampak kendaraan umum yang bisa kami tumpangi ke kota, kecuali sebuah mobil pemadam kebakaran. Tidak mungkinlah bagi kami menggotong barang-barang kami keluar lapangan, karena selain berat, juga kami tidak bisa memperkirakan berapa jarak yang harus kami tempuh sebelum kami sampai ke jalan umum. Kuswata tidak kekurangan akal. Dia mencoba mencari supir pemadam kebakaran dengan harapan bahwa pak Supir mau memberikan kita tumpangan ke jalan besar. Supir itu tidak pernah diketemukannya. Kuswata tetap optimis dan yakin kami akan sampai ke kampus tanpa harus berjalan kaki. Benar juga dugaannya. Kami melihat sebuah jip berplat merah datang, entah mengantar atau menjemput seseorang. Secepat kilat Kuswata mendekati jip tersebut. Hasilnya dia tertawa lebar sambil mengangkat barang-barang kami ke jip. Singkat kata kami diantar sampai ke rumah pak Rektor, pak Sambas. Jip itu adalah jip Universitas Mulawarman.

<bersambung>

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

martes, 21 de abril de 2009

Jaring Penahan Tanaman di Tebing

Pameran Indo Green Forestry yang berlangsung di Jakarta Convention Center berakhir pada 17 April 2009. Seperti datang ke pesta pernikahan, telat sedikit, makanannya pun tinggal sisa. Begitu pula dengan Indo Green Foresty Expo. Hari terakhir, jumat sore, menyisakan beberapa stand yang sudah kehabisan leaflet dan informasi lainnya.

Tak pendek akal, walau menyisakan sedikit informasi, pandangan mata tertuju pada gapura dengan tulisan "Forum Reklamasi Hutan Padan Lahan Bekas Tambang".

Pameran hutan di Indonesia  kali ini bertema Save The Forest, Save The World.  Tidak hanya  departemen atau balai konservasi saja yang memajang upaya-upaya penyelamatan hutan di Indonesia. Juga ada perusahaan seperti   PT. Indo Green Planet yang menjual kebutuhan bagi perusahaan yang ingin  menghijaukan kembali lahan-lahan bekas tambangnya.

Saya bertemu dengan Faisal dari PT. Green Planet Indonesia di area Forum Reklamasi ini.  Tergelitik menanyakan jaring yang  terpasang  di meja pameran.

"Apa kegunaan dari jaring tersebut?"

“Ini Jute Net, penahan erosi, penahan benih tanaman. Jadi pada saat disemprot tanaman di tebing, bisa tertahan,” jelas Faisal.

Ternyata, PT. Green Planet Indonesia ini mengembangakan pembuatan jaring untuk penahan bibit tanaman di tebing dengan kemiringan lebih dari 60 derajat di lahan bekas pertambangan. Penamanan ini namanya hydro seeding alias tehnik penghijauan.

Ukuran jaringnya berbeda. Semakin tebal semakin kuat. Faisal menambahkan informasi kegunaan jute net tadi. Jadi, kalau perusahaan tambang akan melakukan penghijaun dan mereklamasinya dan membutuhkan bibit tanaman kacang-kacangan. Silahkan Anda menghubungi:

PT. Green Planet Indonesia
Komplek Puri Britania
Jl. Puri Ayu Raya Blok 17 No. B 37
Jakarta 11610
E-mail: green77@cbn.net.id
Tlp. 021 – 583 04 822

Menjaga Martabat Lembaga Pemerintah

<cerita awal> <cerita sebelumnya>



Sudah sejak jaman Belanda pelestarian kawasan alami untuk melindungi jenis-jenis tumbuhan atau hewan menjadi perhatian pemerintah. Sumatera Utara memiliki kawasan pelestarian yang sangat luas, yang merupakan sebagian dari Leuser. Banyak orang-orang asing yang berminat untuk tinggal di sana dan meneliti berbagai tumbuhan dan hewan liar, karena keadaan di situ masih relatif utuh. Mereka harus memperoleh ijin tinggal sebagai peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tangan kanan LIPI dalam pemberian ijin penelitian ini adalah Lembaga Biologi Nasional, yang pada waktu itu saya pimpin.


Sepasang suami isteri muda dari Eropa menetap beberapa lama di kawasan pelestarian itu setelah memperoleh ijin dari LIPI dan Kehutanan. Pihak Kehutanan bahkan memberi hak kepada mereka untuk mengelola pondok tamunya. Sayang, pemberian hak itu diinterpretasikan mereka sebagai pemberian kekuasaan penuh sebagaimana halnya seorang penguasa kawasan. Dengan pengertian seperti itu, semua peneliti yang datang ke kawasan harus memperoleh ijin mereka, meskipun LIPI atau pihak Kehutanan telah melengkapi mereka dengan ijin yang diperlukan. Saya tidak mengetahui hal ini sampai salah satu staf lembaga yang harus bekerja di sana ditolak mereka dengan alasan mereka tidak diberitahu sebelumnya. Saya menjadi naik pitam membaca surat penolakan mereka dan langsung mengusulkan kepada pemerintah agar ijin tinggal mereka dicabut. Tentu saja mereka juga tidak tinggal diam. Mereka memperoleh dukungan dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengatakan bahwa penelitian mereka sangat dibutuhkan Indonesia. Tidak kurang dari Menteri Negara Lingkungan Hidup memanggil saya untuk memberi penjelasan atas surat usulan saya. Saya tetap pada pendirian saya, karena saya pikir martabat lembaga pemerintah yang saya pertaruhkan. Akhirnya usulan saya diterima dan mereka harus meninggalkan tempat enam bulan sesudah pemberitahuan resmi dari pemerintah. Saya merasa lega karena kewibawaan lembaga pemerintah dapat saya pertahankan, meskipun nama saya di lingkup internasional menjadi tidak baik.


<bersambung>

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

lunes, 20 de abril de 2009

Di Hutan Dataran Rendah Way Kambas

<cerita awal> <cerita sebelumnya>
Kerja lapangan di Sumatera memberi pengalaman pribadi yang tersendiri. Ketika itu saya ikut rombongan pak Soedjana Kassan, kepala Kebun Raya Bogor, ke hutan dataran rendah Way Kambas di Lampung. Pak Soedjana, selain mafhum dalam pengenalan jenis-jenis tumbuhan, beliau senang dan pandai memasak. Saya senang sekali ke lapangan dengan pak Soedjana. Makanan segar yang disajikannya pada malam hari selalu berbeda macamnya. Untuk kami semua yang seharian sibuk mengumpulkan contoh-contoh tumbuhan, masakan pak Djana terasa amat nikmatnya. Setiap malam, ada saja cerita menarik yang kami dengar dari anggota rombongan. Terkadang cerita yang dituturkan kurang masuk akal, seperti yang diceritakan oleh Tohir. Siang hari itu dia mengaku berpapasan dengan macan tutul. Begitu terkejutnya dia, sampai-sampai dia tidak bisa bergerak. Meskipun kurang masuk akal, tetapi toch kami semuanya mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.


Sungai di Way Kambas sangat jernih airnya. Kami bersampan menyusuri daerah rawa-rawanya. Selain ikan beraneka warna, ular air yang konon berbisa banyak berkeliaran. Jenis tumbuhannya tidak kalah beranekanya. Pak Soedjana sibuk mengumpulkan anggrek, yang menjadi tumbuhan favoritnya. Saya sendiri memilih mengumpulkan jenis kacang-kacangan dan umbi-umbian. Tidak bayak yag saya peroleh di sini. Yang lain, ada yang mengumpulkan jenis-jenis keong, ada yang serangga, ada yang burung. Pokoknya semua memiliki kesempatan mencari contoh hewan atau tumbuhan untuk penelitiannya.
Mandi merupakan hal yang berat bila saya sedang melakukan kerja lapangan. Di Way Kambas, kami menginap di bangunan bekas pekerja lapangan pengusaha hutan. Bangunan itu sendiri cukup baik, tetapi kamar mandinya tidak berdaun pintu lagi. Karena saya satu-satunya anggota perempuan, saya yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Jas hujan adalah perlengkapan serba guna di lapangan dan sangat membantu saya bila tidak ada kamar mandi. Dengan mengenakan jas hujan saya bisa mandi meskipun kamar mandinya terbuka lebar. Tentunya tidak senyaman mandi di rumah, tetapi dengan jas hujan masalah kamar mandi terpecahkan. Setiap kali saya mengenakan jas hujan di kamp itu, semua mengetahui bahwa saya akan mandi
Bangunan tempat kami tinggal hanya mempuyai dua kamar tidur. Satu kamar ditempati pak Soedjana dan satu lagi saya tempati. Bila malam tiba, mereka semua tidur di ruang tamu yang terletak di luar kamar tidur. Mungkin terlalu lelah karena bekerja seharian, begitu lampu minyak dimatikan, bunyi dengkur pun mulai terdengar. Lama-lama dengkur itu bersahut-sahutan, tidak ubahnya nyanyian katak yang ada di rawa-rawa. Masing-masing memiliki dengkur yang khas. Mula-mula susah buat saya tidur di tengah orkestra dengkur mereka. Yang aneh adalah bahwa pada pagi harinya semua, tidak terkecuali, mengeluh mereka tidak bisa tidur karena kawan di dekatnya mendengkur. Saya hanya bisa menggelengkan kepala saya.

Baru seminggu saya di Way Kambas, tiba-tiba saja rasa mual menghantui saya. Pagi-pagi nafsu makan saya hilang. Di perahu, saya muntah-muntah. Siang hari mulut saya terasa asam, sehingga makanan pun terasa amat tidak enak. Dua hari saya alami hal ini, saya memutuskan kembali ke Bogor. Sesampai di Bogor, rasa mual itu tidak hilang juga. Rombongan Way Kambas kembali ke Bogor seminggu kemudian. Dua anggota laki-laki rombongan kami ternyata menderita penyakit yang sama. Lalu kita sepakat bahwa kami bertiga tidak tahan air di Way Kambas, yang mungkin sekali mengandung bakteri atau semacamnya. Beberapa minggu sesudah itu, saya memperoleh jawaban dari dokter kandungan saya, bahwa saya hamil. Anggota rombongan kami tertawa ketika saya beritakan hal itu. Hanya saja mereka lalu bertanya-tanya mengenai macam penyakit yang diderita oleh kedua teman laki-laki rombongan kami itu.

<bersambung>
Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

Bermain Sarang Lebah Bersama Anak Bogor

sábado, 18 de abril de 2009

Astronaut Mendarat di Bulan

<cerita awal> <cerita sebelumnya>


Lain lagi yang saya temui di pedalaman kabupaten Sukabumi. Kali itu saya mencari umbi-umbian yang sekerabat dengan talas Bogor. Sementara kami sibuk menggali umbi yang kami inginkan, terdengar dua anak laki-laki sedang mengobrol di balik semak tempat kami berada.
"Ech, sudah dengar belum, bahwa orang Amerika sudah berhasil menginjakkan kaki di bulan sana? Saya mendengarnya dari tetangga sebelah yang punya radio", celoteh yang seorang.
"He-eh, saya juga mendengarnya. Ketika saya tanyakan ke kyai kita, dia marah betul. Kata kyai, kita tidak boleh percaya pada berita-berita menyesatkan seperti itu. Mana ada orang bisa sampai ke bulan, sepandai apa pun dia itu. Jadi, berita itu bohong belaka", jawab yang satunya lagi.

Saya terperangah mendengar percakapan itu. Ingin saya menjelaskan kepada mereka, bahwa berita itu benar; bahwa para astronaut berhasil mendarat di bulan dan mengumpulkan contoh-contoh batuan bulan untuk dibawa kembali ke bumi. Tetapi, secepat kilat keinginan itu saya padamkan. Saya tidak mau anak-anak itu bingung menerima informasi yang bertentangan dengan ajaran kyainya. Sebentar lagi saya akan meninggalkan tempat itu dan tidak lagi akan dapat berhubungan dengan anak-anak tersebut. Tetapi pak kyai, yang menjadi guru dan kepercayaan mereka akan selalu di tempatnya.
Dari percakapan mereka itu, saya menyadari betapa besarnya masalah pendidikan yang dihadapi bangsa ini. Saya bertanya kepada diri saya sendiri, apa yang dapat saya lakukan untuk anak-anak didik seperti yang saya jumpai di Sukabumi ini?
<bersambung>

------------------------

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

viernes, 17 de abril de 2009

Gogik

<cerita sebelumnya>





Di lapangan, kami juga bisa belajar dari anak-anak mengenai sesuatu yang di luar pengetahuan kami. Hal ini terjadi di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta. Saya ke sana mencari contoh kara benguk, sejenis kacang-kacangan yang di Gunung Kidul dijadikan bahan tempe. Di pasar setempat kami bisa membeli kara benguk dengan bermacam-macam warna kulit biji. Lalu saya ajak teman-teman untuk mencari rawe, kerabat liar kara benguk, yang tumbuh di tepi hutan-hutan jati atau pagar-pagar desa. Sementara kami mengumpulkan polong rawe yang gatal itu, beberapa anak laki-laki menghampiri kami. Mereka tercengang melihat ada orang yang tertarik pada polong rawe, yang oleh penduduk desa dihindari karena kegatalannya. Singkat cerita, saya terlibat percakapan dengan anak-anak tersebut. Ketika saya menanyakan kepada mereka apa yang mereka makan dengan tempe benguk yang khas Gunung Kidul itu, jawab mereka serentak adalah gogik.
"Gogik?", tanya saya balik. " Gogik itu apa, sich?", saya melanjutkan pertanyaan saya."Woo, blaen", komentar mereka. " Gogik saja tidak tahu. Padahal di sini gogik itu adalah makanan kami".
Dari mereka saya belajar bahwa gogik itu tidak lain adalah tiwul yang dikeringkan di bawah sinar matahari, seperti halnya karak yang berasal dari nasi. Saya bisa membayangkan alangkah tidak enaknya rasa gogik itu, kalau tiwul saja di lidah saya sangat tidak enaknya. Saya mengalami makan tiwul untuk pengganti nasi di jaman Jepang.
<bersambung>



------------------------

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

jueves, 16 de abril de 2009

Mencari Penginapan Tahun 1970an

<cerita sebelumnya>
Mencari penginapan di kota-kota kecil di Jawa pada tahun 1970-an, yang bersih, tidak bernyamuk atau berkutu busuk, tidak mudah. Karenanya kami sering menginap di rumah-rumah penduduk atau mantri kehutanan. Saya merasakan repotnya menginap ketika saya harus membawa tamu asing ke lapangan. Bila tamu-tamu tersebut untuk pertama kalinya berkunjung ke Indonesia, mereka tidak pernah mandi dengan gayung atau mempergunakan WC jongkok. Saya dapat merasakan kecanggungan mereka. Tidur pun menjadi permasalahan. Kami, orang-orang Indonesia bisa tidur di lantai tanpa kasur, atau berbagi tempat tidur dengan yang lain, asal sama jenisnya. Tidak demikian untuk tamu-tamu asing. Untuk mereka, tidur bersama di satu tempat tidur, meskipun dengan yang sama jenis adalah tabu. Malam itu kami benar-benar dibikin repot, karena si tamu memilih tidak tidur daripada harus tidur bersama orang lain. Sejak itu, kami benar-benar harus mencermati perbedaan budaya sampai yang sekecil-kecilnya untuk menghindari ketidakenakan.


Tidak jarang kami kemalaman di jalan. Banyak yang menjadi penyebabnya. Terkadang salah seorang dari kami belum juga muncul di tempat dan jam yang telah kami setujui sebelum kami berpencar mencari contoh-contoh tumbuhan atau hewan yang menjadi minat kami. Terkadang pula, salah satu ban mobil yang kami tumpangi pecah, atau bensinnya habis, sehingga kami harus menunggu supir untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bila kami mengalami keterlambatan mencari penginapan di malam hari, ada saja hal yag menggelikan, seperti yang kami alami di Probolinggo. Pemilik penginapan begitu ramah menyambut kami dan menunjukkan sebuah kamar yang cukup besar untuk kami tempati bertujuh. Tetapi kami segera berbalik ke mobil dan mengucapkan terima kasih, karena dalam kamar itu hanya ada satu tempat tidur. Memang benar tempat tidur itu bisa menampung kami semua, tetapi bagaimana kami bisa tidur di satu tempat tidur yang tidak bersekat, sehingga kami, laki-laki dan perempuan, bisa tidur bersama.
<bersambung>
------------------------

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

martes, 14 de abril de 2009

Mengumpulkan Contoh Kunir-Kuniran

<cerita sebelumnya>
Suatu ketika saya harus mengumpulkan contoh kunir-kuniran yang hidup liar di hutan jati Walikukun. Hutan itu terletak tidak jauh dari Madiun, karenanya saya tidur di rumah bersama dua teman yang sekelompok kerja dengan saya. Pagi-pagi sebelum matahari terbit kami sudah berangkat dengan jip ke Walikukun. Di sana kami diterima oleh mantri hutan dan dibawa ke tempat kunir-kunir itu tumbuh. Kami naik dresin, semacam lori yang tidak berpagar dan tidak beratap. Seharian penuh kami menggali contoh-contoh umbi kunir yang kami duga berbeda, baik dalam warna, maupun baunya. Ketika kami pulang, hari sudah malam. Baju kami kotor ternodai lumpur yang menyelubungi umbi-umbi tadi. Melihat penampilan kami ketika memasuki rumah, ibu menggelengkan kepalanya. Esok paginya ibu bertanya:


"Tiek, katanya kamu ini mendapat ijasah sekolah yang paling tinggi. Mengapa pekerjaanmu tidak ubahnya pekerjaan seorang buruh tani yang bergulat dengan lumpur?"

Jawaban saya tidak lain hanya tertawa. Saya jelaskan pun ibu tidak akan pernah mengerti. Untuk ibu, seseorang yang berpendidikan tinggi, tempatnya adalah di kantor, berpakaian bersih, dan memiliki jam kantor yang pasti. Ibu tidak habis pikir, mengapa kenyataan untuk saya sangat berbeda dengan gambaran yang diharapkan.
Kegiatan mengumpulkan contoh-contoh "gene pool" tumbuhan Indonesia itu membawa saya ke hutan Purwo di ujung timur pulau Jawa. Menurut masyarakat setempat hutan Purwo adalah hutan tutupan, yang tabu untuk dimasuki masyarakat, apalagi untuk diusahakan. Sebelum kami datang di tempat itu, kami telah memperoleh ijin dari kantor Kehutanan di Bogor. Hutan Purwo merupakan hutan dataran rendah yang kaya akan jenis kayu dan jenis bambu. Konon, banyak orang menyeberang dari pulau Bali untuk memperoleh kayu secara ilegal dari hutan ini. Kami tinggal di pinggiran hutan, di rumah salah satu penduduk yang rela menampung kami.


Rombongan kami merencanakan tinggal selama satu minggu di kawasan hutan Purwo. Karena tempat tinggal kami jauh dari mana-mana, kami membawa persediaan bahan makanan mentah untuk satu minggu. Bahan-bahan itu kami serahkan kepada yang empunya rumah. Setiap pagi sebelum matahari terbit, kami sudah sarapan dan pergi ke hutan, membawa bekal makan siang, dan pulang ketika matahari terbenam. Kami terkejut ketika ibu rumah tempat kami menginap memberitahukan bahwa persediaan makanan habis. Padahal hari itu baru hari ketiga. Usut punya usut, rupa-rupannya para tetangga pada berdatangan, ketika kami semua pergi ke hutan. Tuan rumah pun bermurah hati menjamu mereka dengan makanan kami. Apa boleh buat, kami membeli bahan makanan mentah seadanya yang dapat kami jumpai di desa dekat pinggiran hutan itu untuk hari-hari berikutnya.

<bersambung>

------------------------

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

Bubur Koran Jadi Keranjang Cantik

Jika melihat tumpukan koran di rumah semakin banyak, sebaiknya jangan dibuang dulu. Pernah terpikir untuk membuat barang atau sesuatu yang berguna dari Koran?

Ya! Kertas koran, selain untuk dibaca dan membungkus barang, juga bisa menjadi keranjang dan taplak meja yang cantik.

“Limbah koran dimasukkan ke dalam lem kanji, diperes terus dicetak,” jelas Maria Purwanto SH, M.Si dari Pepulih, saat ditanya proses pembuatan keranjang dari limbah koran yang terpampang di stand PEPULIH  di Departemen Perindustrian 3 April 2009 lalu.

Caranya mudah dan sederhana.

Bahan-bahan:

Kertas koran, tepung kanji, lem kayu  dicampur air.

Peralatan:

Ember, kompor, panci, adukan, cutter, amplas no. 100

Pertama membuat lem kanji terlebih dahulu. Lalu siapkan kertas koran yang dipilih dengan potongan yang sesuai dengan diameter yang diinginkan. Perlu Anda ketahui, 1 cm=1 lembar koran. Masukkan kertas koran yang dipilin ke dalam tepung kanji. Pilinan diperas dan dililitkan menutupi cetakan.

Setelah itu dijemur langsung di bawah sinar matahari. Agar pengeringannya sempurna dapat menggunakan oven panggang.

Walaupun sederhana cara membuatnya, perlu diperhatikan campuran air untuk merendamnya, supaya kertas bisa mengeras dengan sempurna.

Untuk lebih jelasnya mengenai pengolahan limbah koran menjadi keranjang yang cantik, silahkan Anda menghubungi:

PEPULIH (Pemerhati Peduli Lingkungan Hidup)

Membudayakan wawasan Lingkungan

Kementrian Negara Lingkungan Hidup Gedung – C

Jl. D.I Panjaiatan Kav. 24

Jakarta Timur

Tlp. 021 – 7002 8980 Fax. 021 – 830 2095

e-mail: maria.purwanto@yahoo.com

Perjalanan Panjang dari Hawai dan "Kara-Karaan"

Pengantar Redaksi
Serial ini merupakan rangkaian tulisan dari buku Bintang Beralih yang ditulis oleh panutan kami ibu Setijati D. Sastrapradja, seorang ahli plasma nutfah yang telah diakui kepakarannya di Indonesia & dunia. Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan pribadi beliau, yang menurut kami layak untuk diketahui publik sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.
Terima kasih kepada ibu Setijati atas ijinnya mempublikasikan di matoa.org.



Lebih dari empat puluh tahun sudah saya menjadi pegawai negeri. Penerimaan sebagai pegawai negeri saya tidak melalui ujian, karena saya adalah salah seorang penerima beasiswa pemerintah. Dengan beasiswa itu kepegawaian negeri saya terjamin, hanya saja saya tidak bisa menentukan kantor dan kota yang saya senangi. Sebagai layaknya seorang pegawai negeri, saya memulainya dengan jenjang kepegawaian paling bawah, yang sesuai dengan pendidikan saya. Dengan perjalanan waktu dan peningkatan pendidikan saya, saya dapat mencapai pangkat tertinggi yang dimungkinkan untuk dicapai seorang pegawai negeri di negara ini.

Selama saya menjadi pegawai pemerintah, banyak yang saya lihat, banyak yang saya dengar, dan banyak yang saya alami. Perjalanan panjang yang saya tempuh tidak selamanya licin, tanpa rintangan. Banyak onak dan duri harus saya lalui; banyak ketidaksenangan saya alami, tetapi saya ingin mengenang ruas jalan yang nyaman, dan penggal kegiatan yang menyenangkan saja. Saya menyadari bahwa tanpa ketidaksenangan dan ketidaknyamanan itu, saya pasti tidak bisa merasakan hal yang sebaliknya. Tetapi di sini, saya hanya ingin berbagi rasa mengenai hal yang baik dan menyenangkan saja.

Ketika saya memperoleh kesempatan meningkatkan pendidikan saya di Universitas Hawaii, saya tengadahkan kepala saya kepadaNya di bandara Kemayoran, Jakarta dan mohon berkahNya agar keinginan saya mengabdi kepada negeri yang telah memberi saya kesempatan sekolah ini dikabulkanNya. Dengan langkah pasti saya naiki tangga pesawat Pan America menuju kota pariwisata dunia: Honolulu, Hawaii. Di sinilah saya bermukim beberapa lama sampai saya memperoleh gelar tertinggi dalam pendidikan formal.

Hidup di negara orang memang tidak mudah, apalagi kalau biaya sekolah bukan dari kantung sendiri. Saya memperoleh beasiswa dari East West Center, sebuah badan federal Amerika Serikat, yang memprakarsai pertukaran budaya antar bangsa melalui pendidikan tinggi. Rakyat Amerika memang sangat sadar akan hak dan kewajibannya. Mereka mengetahui bahwa setiap sen yang kami terima dari East West Center adalah berasal dari mereka, pembayar pajak. Seringkali hal ini mereka ucapkan bila kami diundang makan malam atau berpesta kebun dengan mereka. Saya yakin mereka tidak bermaksud apa-apa, kecuali memberi informasi mengenai kontribusi mereka pada pembangunan nasionalnya, tetapi bagi saya pribadi, ucapan itu seakan mengingatkan bahwa saya adalah hidup dari kemurahan hati rakyat Amerika. Apa boleh buat.

Menjadi orang Indonesia di rantau pada tahun-tahun menjelang jatuhnya Presiden Soekarno, amat sangat tidak enak. Hampir setiap hari di koran setempat muncul gambar Presiden Indonesia dengan pemberitaan yang tidak mengenakkan hati. Kami mahasiswa-mahasiswa Indonesia harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya pikir sangat konyol untuk dijawab. Dari banyak orang Indonesia yang sedang belajar di Honolulu, yang berstatus pegawai negeri hanya sedikit. Betapa pun jeleknya pemberitaan mengenai Indonesia, bagi kami pegawai negeri yang sedang menuntut ilmu, merupakan kewajiban untuk mempertahankan nama Indonesia.

Beasiswa saya habis ketika saya meyelesaikan tingkat S2 saya. Untuk meraih S3, saya memperoleh pekerjaan sebagai asisten pengajar di Departemen Botani Universitas Hawaii. Serta-merta saya pun menjadi pembayar pajak betapa pun kecil pajak yang saya bayar ke kas negara Amerika Serikat. Saya sangat bangga dengan status saya sebagai pembayar pajak, karena saya tidak merasa lagi hidup dari kemurahan hati orang lain. Tahun terakhir saya di tingkat S3, terpaksa saya tinggalkan pekerjaan di Departemen Botani, sebab waktu saya hampir tersita untuk mempersiapkan praktikum mahasiswa. Saya bekerja di East West Center Advanced Studies membantu Dr. Shinoda dan Dr. Wittermans sebagai asisten dalam bidang bahasa Indonesia. Status sebagai seorang pembayar pajak ini saya pertahankan sampai saya siap untuk kembali ke Indonesia.

Dengan gelar Ph.D di tangan, saya kembali menjadi pegawai negeri yang aktif. Ternyata ijasah tertinggi belum menjamin saya untuk bisa bekerja mandiri. Saya berhadapan dengan kenyataan hidup yang sebenarnya. Sarana, prasarana dan dana penelitian di lembaga masih saja tetap keadaannya seperti pada waktu sebelum saya pergi. Hanya saja jumlah staf peneliti tambah banyak. Staf memiliki kemerdekaan menentukan macam penelitian yang saya inginkan dengan dana yang sangat minimal. Untuk sementara, saya belum dapat menentukan apa yang harus saya teliti yang ada kaitannya dengan bidang biologi, tetapi yang hasilnya mungkin memiliki aplikasi.

Setelah banyak membaca program UNESCO di bidang biologi, yaitu International Biological Programme (IBP), saya tertarik untuk mengerjakan bidang yang berkenaan dengan penanganan "gene pool", kekayaan yang berupa keanekaragaman sifat biologik. Saya mengetahui bahwa Indonesia memiliki segudang kekayaan hayati, yang negara lain mungkin saja tidak memilikinya. Untuk memulainya, saya perlu menentukan kelompok mana yang belum banyak memperoleh perhatian dunia biologi dan Indonesia merupakan pusat penyebarannya. Pilihan saya jatuh ke jenis "kara-karaan", kelompok kacang-kacangan bukan utama, yang banyak dimanfaatkan oleh penduduk di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sambil meneliti kacang-kacangan itu, saya mencatat buah-buahan dan jenis-jenis tanaman obat yang saya jumpai di pasar. Ternyata Indonesia adalah pusat penyebaran buah-buahan dan tumbuhan obat. Rambutan, durian, mangga, dan pisang misalnya, memiliki kisaran keanekaragaman sifat yang besar di Indonesia ini. Demikian juga tumbuhan obat seperti kunir-kuniran dan sirih-sirihan. Minat saya pada "gene pool" terus berlanjut. Berbekal minat ini dan dana penelitian yang disediakan lembaga, saya memiliki segudang kesempatan untuk mengenal tanah air Indonesia. Bukan hanya pelosok pulau Jawa saja yang sempat saya kunjungi, tetapi juga pulau-pulau besar dan kecil Indonesia, bahkan pulau-pulau kecil di bagian Indonesia sebelah timur pun pernah saya singgahi.

<Bersambung>

Jerami Mendong Pengganti Rotan

Banyak kerajinan tangan atau perlengkapan rumah tangga berbahan baku eceng gondok, pelepah pisang, rotan dan, kertas koran. Begitu memasuki ruang pameran di Departemen Perindustrian, tanggal 3 April lalu. Aneka peralatan rumah tangga terpampang indah dibuat dari bahan baku alternatif tadi.

Kami sempat mampir ke stand Ryo Handicraft milik Lilik Murtini. Di sana ada keranjang cuci, keset, kap lampu,  tas perempuan dan, banyak lagi. Semua terlihat cantik dan rapih. Semuannya menggunakan bahan baku dari batang mendong, sejenis padi. Penggunaan bahan baku alternatif ini digunakan untuk mengatasi kelangkaan rotan yang banyak di ekspor keluar negeri.

“ kami buat ini dari mendong, sejenis padi, tapi tidak berbulu. Kering sendiri, terus dipilin baru ditarik mesin,” Bu Lilik menjelaskan proses menyiapkan batang mendong sebelum dibuat peralatan rumah.

Bu Lilik gundah, karena hasil kerajinan tangan Indonesia kalah bersaing dengan Cina.

“ Kita kalah dengan Cina, mereka di subsidi pemerintah mulai dari bahan baku sampai pemasaran. Indonesia kalah harga, kalau kualitas, menang Indonesia. Pemerintah jangan jual atau ekspor barang mentah. Kita susah dapet barang, yang reject aja dapetnya. Rotan juga jangan dijual mentah. Dulu pernah di stop ekspor rotan, sekarang di buka lagi sama menterinya.”

Keluhan itu memang keluar dari mulut Lilik Murtini. Tapi dirasakan oleh semua pengrajin Indonesia yang bahan bakunya tergantung sama rotan. Buktinya, walaupun bahan bakunya bukan dari rotan, hasilnya tetap bagus dan cantik.

Info selanjutnya, Anda bisa menghubungi :
Ryo Handicraft
Jl. Tepus Kaki 27
Malang 65141
Tlp : 0341 – 494117/0811 361 698
E-mail : ryohandicrafts@hotmail.com

miércoles, 8 de abril de 2009

Zonasi Taman Nasional Wakatobi

Sahabat, bagi yang ingin mendapatkan atau memerlukan silahkan untuk mendownload file  Zonasi Taman Nasional Wakatobi ini. Semoga bermanfaat

martes, 7 de abril de 2009

Lindungi dari Plastik Mengandung Bisphenol A

Kontroversi bahwa BPA (bisphenol A) bagi pemerintah Amerika ternyata sudah berakhir, dengan dinyatakan sebagai bahan yang terlarang terkandung di dalam tempat makanan dan minuman terbuat dari plastik. Hal ini menyusul setelah pemerintah Canada juga melarangnya lebih dahulu pada tahun 2008. Bagaimana dengan pemerintah Indonesia? jawabannya tentu masih butuh waktu, untuk itu mari kita secara individu mewaspadainya.



Kenapa Bisphenol-A berbahaya karena bila larut ke dalam makanan dan minuman berpotensi merusak sistem hormon, kromosom pada ovarium, penurunan produksi sperma, dan mengubah fungsi imunitas.

Dimana bisa ditemukan bisphenol A, umumnya ditemukan pada wadah makanan dan minuman plastik bahkan yang tragis bisa ditemukan pada botol bayi kita. Kandungan  berbahaya ini bisa larut saat plastik mengalami proses pemanasan, entah itu untuk tujuan sterilisasi dengan cara merebus, dipanaskan dengan microwave, atau dituangi air mendidih dan air panas.
Memang saat ini belum ada ketentuan khusus tanda yang menyatakan bahwa plastik ini mengandung bisphenol A atau tidak, yang penting bagi kita adalah kemampuan untuk mencermati dan mengenali tanda-tanda plastik dan proses bagaimana zat ini berbahaya bagi tubuh kita. Untuk itu silahkan mempelajari dari ulasan tanda-tanda plastik.

Menanam dengan Media Hydroponics

Pernah terpikir ingin menanam bunga di dalam rumah tanpa harus menggunakan media tanah ? Mungkin bisa dicoba dengan menggunakan Hydroponics. Saat melihat butiran bak kelereng, tersusun rapih dalam vas bunga berwarna merah, hijau, oranye dan, biru. Sangat cantik apabila terlihat dari ruangan tamu rumah. Bersih, tidak ada tanah sedikit pun. Hydroponics bisa digunakan untuk merangkai bunga potong atau plastik, kelihatan lebih segar dan tahan lama.

“ Ini bisa hidup ya pak tanamannya? Bagaimana caranya Pak? “ pertanyaan terus diajukan sama penjaga stand  Adela Kreasi, di Pameran Produk Kerajinan Bahan Baku Alternatif, di Departemen Perindustrian, 3 April 2009 lalu.

Akhirnya, penjaga stand memberikan lembaran kertas yang menjelaskan tentang hydroponic. Ini bahan penemuan terbaru yang diambil dari ilmu dibidang perkebunan. Sebagai bahan penyerapan yang dapat menyimpan 400 kcl dari berat air dan bahannya mengandung unsur beberapa kadar gizi.

Bagaimana cara pengembangannya?
Satu bungkus plastik, kira-kira satu sendok makan dicampur dengan satu liter air. Biarkan berkembang selama empat jam dan sesekali diaduk supaya warnanya rata dan membaur. Kalau warnanya masih terlalu gelap, buanglah air dan tambahkan air kembali sesuai dengan warna yang kita inginkan.

Setelah itu, butir kristal bisa dibilas dengan air bersih supaya kristal-kristalnya tampak lebih bercahaya. Lalu tumpahkan butiran kristal ke dalam Loyang saringan, biarkan selama satu jam, biarkan airnya menghilang. Butir-butir kristal yang sudah bersih siap untuk digunakan ke salam vas bunga.

Pemindahan tanaman dari tanah ke hydroponics
Tanaman dari tanah, angkat perlahan-lahan, jangan sampai ada akarnya yang rusak. Lalu cuci akar tanaman dengan air bersih, jangan ada tanah yang menempel. Periksa dulu akar tanaman yang putus atau rusak sebelum memulai penanaman. Vas bunga diisi dengan seperempat gelas butiran batu tanaman. Pastikan akarnya di tengah-tenah vas bunga. Tanaman diletakkan di tengah-tengah vas, lalu diisi lagi setengahnya samapai sekeliling akarnya tidak kelihatan. Selanjutnya, siram tanaman selama seminggu berturut-turut. Setelah tanamannya tumbuh dengan baik, cukup siram 1- 2 bulan saja.

Tips untuk menjaga tanaman hydroponic Anda

Jangan terlalu banyak air, akarnya menjadi cepat busuk
Apabila pertumbuhan tanaman sangat lambat, coba pindahkan posisinya dan, jangan terkena paparan sinar matahari langsung. Hal ini bisa mengakibatkan tumbuhnya lumut,
Kalau sampai berlumut, angkat tanaman dan cuci bersih akarnya. Lalu siram butiran kristal dengan air panas, sampai lumut yang menempel bersih.
Jika warna butiran kristal sudah memudar dan berubah warna, berikan bahan penawar beberapa tetes saja.

Selanjutnya bisa hubungi:  Adela Kreasi, Jl. Karakatau IV/226, Sukmajaya – Depok Timur Depan. Tlp. 021 – 778 322 64 / 0818 132 409

lunes, 6 de abril de 2009

Bondan Winarno dan Kepanduan

Begitu masuk ruang tamu rumah Bondan Winarno, suasananya seperti berada di ruang makan. Saya dan Ratna pun nimbrung ngobrol dengan peserta kelas narasi di Eka Tjipta Foundation mendengarkan Bondan Winarno menceritakan pengalamannya untuk acara Wisata Kuliner. Kunjungan ke rumahnya, bukan mau mendengarkan bagaimana Ia mencicipi setiap masakan di acara kuliner tadi.

Tanggal 7 Maret 2009 di kediamannya, Bondan menceritakan bukunya yang berjudul Bre-X Sebungkah Emas di Kaki Pelangi.  Menarik, Bondan Winarno, terkenal dengan  program Wisata Kuliner, ternyata pernah menulis buku investigasi.

Bebaju tangan panjang, bergaris-garis biru kecil. Bondan Winarno duduk di depan meja kayu panjang. Ruangan tempat kami diskusi layaknya ruang makan, penuh dengan koleksi berbagai macam peralatan dapur.

Bondan Winarno tidak pernah mengira, kalau dia bisa tertarik pada dunia investigasi. Ini berkaitan dengan aktifitas masa kecilnya saat menjadi seorang pandu alias pramuka. Terinspirasi dengan Lord Boden Powell, Bapak Pandu dunia, yang memang adalah seorang intelegen dari Inggris. Rupanya, apa yang diajarkan di kepanduan, salah satunya harus memiliki kemampuan intelejen yang baik.

Sampai saat ini Bondan Winarno masih memegang sifat-sifat yang diajarkan dalam kepanduan. “On my honour, akan melakukan yang terbaik, saya tidak akan membedakan orang dari pekerjaannya. Walaupun dia seorang tukang sapu atau seorang penjaga toilet.” terucap dari mulut Bondan.

Selain mengajarkan sifat baik dan kemampuan intelejen, menurut Bondan Winarno,

“Kepanduan pun mengajarkan deduksi, yaitu merangkum semua menjadi kesimpulan. Itulah kepanduan dan membawa saya menjadi wartawan. Saya suka film CSI, dia merangkum semuanya”.

Bondan terus mengungkapkan kekagumananya pada dunia kepanduan juga tentang volunteerisme. Dia bilang, para pensiunan jenderal seharusnya bisa meluangkan waktu sehari saja, untuk jadi volunteer di sekolah-sekolah menjadi konselor, memberikan bimbingan tentang narkoba.

“Guru-guru gak punya kemampuan, murid-murid pasti bangga konselornya itu seorang jenderal.
Saya pengen jadi ketua RT, gak pengen jadi aktifis partai. Ketua RT juga jangan jual stempel.” Menurutnya, voluntereisme adalah satu kekuatan besar.

Kembali ke penulisan bukunya, tidak ada yang dia sesali dari Bre-X Sebungkah Emas di Kaki Pelangi, kecuali tidak menerbitkannya dalam bahasa Inggris. Buku Bre-X tidak bleh terbit pada masa itu, karena menyeret salah satu menteri dalam sidang pengadilan. Bre-X bukanlah yang pertama, buku invetigasi lainnya adalah tentang Tampomas.

Kenikir Tanaman Pekarangan Berkhasiat

Sudah pernahkah anda memakan daun kenikir? bagi kita yang diperkotaan besar  tentunya sudah tidak mudah untuk mendapatkannya. Rasa dan aroma yang khas membuatnya menjadi makanan yang cukup mengundang selera. Biasanya dimakan daunnya yang mentah baik untuk lalap, sayuran dalam urap ataupun lain.

Hari ini sebelum berangkat ke kantor, saya menyempatkan diri untuk melihat tanaman kenikir yang berada di halaman rumah, waah ternyata sudah mulai berbunga dan mekar. Tanaman kenikir mudah sekali ditanam, yaitu dengan biji, tidak memerlukan lahan yang luas bahkan di dalam pot  juga bisa asalkan mendapat sinar matahari yang cukup. Ternyata tanaman yang banyak kita temui di Indonesia ini berasal dari Amerika Latin dengan nama Cosmos caudatus.

Bagaimana manfaatnya, ternyata cukup banyak yaitu obat penambah nafsu makan, lemah lambung, penguat tulang serta bisa menjadi pestisida organik sebagai pengusir serangga. Kenapa? karena kandungan yang terdapat di kenikir ini mengandung saponin, flavonoida polifenol dan minyak atsiri. Akarnya mengandung hidroksieugenol dan koniferil alkohol (Fuzzati et al., 1995).

Selamat mencoba menanam kenikir!

viernes, 3 de abril de 2009

Kejora Edisi 13 Sudah Terbit

Setelah dilakukan evaluasi akhirnya buletin Kejora sudah bisa terbit kembali, edisi ini kami angkat tulisan tentang hutan tropis, elang jawa, bunga mawar serta hadiah ulang tahun.

Puisi dengan judul Banjir karya Fauziyyah siswa kelas 6 SDN Jayagiri Cipanas Cianjur serta lukisan karya Annisa Nurahmadini dari SDN Loji I, Bogor.

Sejak edisi ini, Kejora sudah menjadi bagian dari publikasi Indonesia Global Compact Network.

Tujuan buletin anak kejora adalah mencerdaskan anak Indonesia serta membuat cinta tanah air.

jueves, 2 de abril de 2009

Entomologi di Indonesia

ditulis oleh
Soenartono Adisoemarto
dalam buku Enam Dasawarsa Ilmu & Ilmuwan di Indonesia
 
Pendahuluan
Tujuan utama mempelajari serangga ialah memahami hubungan yang terjalin antara serangga dan manusia. Pemahaman ini mengandung kepentingan yang besar, karena kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat dilepaskan dari dunia serangga. Tata laksana ini terbina dalam ilmu yang disebut entomologi. Kata “entomologi” berasal dari Bahasa Yunani entomologia yang dapat diuraikan menjadi entomon (= serangga) dan logos (= pembicaraan). Entomologi sebagai ilmu terus-menerus berkembang dari sekadar pengenalan sederhana menjadi ilmu yang sangat kompleks, selaras kebudayaan manusia, yang terus-menerus meluas, karena hubungan manusia dengan serangga yang makin kompleks.
Perhatian manusia terhadap serangga telah diberikan sejak ribuan tahun yang lalu. Bangsa Mesir Kuno menghubungkan serangga dengan aspek kehidupan keseharian mereka, seperti pertanian. Serangan belalang terhadap tanaman pertanian telah dilaporkan selama pemerintahan Ramses II, 1.400 tahun sebelum Masehi. Serangga juga pernah dihubungkan dengan kenegaraan, misalnya digunakannya tawon endas (Vespa orientalis) sebagai lambang negara Mesir Bawah pada tahun 3100 sebelum Masehi, dan bahkan “ketuhanan”, serta aspek sosial lainnya. Penggunaan kumbang “skarab” sebagai lambang Dewa Matahari Khephri atau Khepera yang disembah, merupakan hal yang tak asing dalam kebudayaan Mesir Kuno. Di Yunani, orang Ephesus (sekarang bagian dari Turki) menggunakan gambar tawon untuk menandai uang logam yang beredar pada tahun 400-an sebelum Masehi (Sheedy, 2005). Kitab Injil juga menyebutkan peran berbagai kehidupan serangga dalam kehidupan manusia. Di dalam Injil Matius (Matius 3:4) ditulis bahwa makanan Yohanes Pembaptis berupa belalang dan madu hutan. Kitab Al Quran (Sura 16) memuat uraian tentang lebah madu. Orang Indian Kuno di Amerika Selatan menggunakan serangga, khususnya kupu-kupu, sebagai inspirasi karya seninya, misalnya untuk motif sulaman dan kerajinan keramik, sedangkan Indian modern menggunakan juga serangga sebagai lambang (Diaz, 2005).
Di Indonesia sendiri tidak ada catatan mengenai waktu pertama kali orang memperhatikan benar-benar hubungan manusia dengan serangga. Kekurangan ini bukan berarti bahwa manusia Indonesia pada waktu-waktu yang lalu tidak memperhatikan serangga. Tembang dan sindiran yang berkait dengan perangai atau ciri serangga menandakan telah adanya pengamatan manusia Indonesia terhadap ciri dan peri laku serangga. Sayangnya, pengetahuan ini tidak terdokumentasi dalam tulisan.



Walaupun entomologi telah berumur ribuan tahun, masih tersembunyi timbunan salawadi (mysteries) yang belum terungkap, yang telah memacu manusia untuk meningkatkan usahanya dalam menelusuri liku-liku salawadi dalam dunia serangga. Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, entomologi juga mendapat sentuhan kemajuan untuk mengimbangi kemajuan ilmu pada umumnya. Seiring pula perkembangan di zaman pembaharuan “renaissance” – pada bagian kedua zaman ini (tahun 1000-1500) – terbawa pula penjelajahan manusia ke dalam dunia serangga untuk menumbuhkan entomologi menjadi ilmu yang makin mantap, sehingga kegunaan entomologi dapat ditingkatkan untuk kesejahteraan manusia.
Manfaat entomologi untuk manusia berhubungan dengan hidup sejahtera, yaitu hidup sehat, tercukupi segala kebutuhannya, serta terjamin keamanannya. Sebagian besar komponen kesejahteraan tersebut ditentukan entomologi. Dalam bidang kesehatan, entomologi telah membantu manusia mengatasi masalah penyakit yang ditularkan serangga, seperti malaria, demam berdarah, chikukunguya, kaki gajah, kebutaan dan penyakit tidur. Entomologi terbukti pula dapat didayagunakan dalam penyediaan pangan dan bahan industri, misalnya sutera, lak, malam, madu, dan bahkan tubuh serangga sendiri. Di sektor lain, pengetahuan terhadap kehidupan serangga juga telah menunjukkan bantuannya. Perang terhadap hama dapat dimenangkan oleh manusia berkat telah ditelusurinya liku-liku jalan hidup serangga.
Kini telah lebih banyak pelik-pelik serangga yang mulai diketahui dan dipecahkan. Perangainya, cara memeliharanya, kelemahannya, hasil yang dapat dimanfaatkan manusia, dan hal-hal lainnya makin terungkap. Makin lama makin dapat dibedakan serangga yang “merugikan” dengan serangga yang “menguntungkan”. Makin lama makin tegas pula tindakan yang dilakukan terhadap kedua golongan serangga tersebut. Terhadap yang merugikan diusahakan tindakan untuk mengendalikannya, sedangkan kepada yang menguntungkan disediakan tempat terhormat serta usaha untuk melestarikannya. Ada timbal baliknya, yaitu bahwa semua tindakan tersebut juga mendorong kemajuan di bidang entomologi sendiri. Begitulah seterusnya, sehingga pengenalan terhadap dunia serangga makin meningkat, dan perlakuan terhadap serangga makin tepat.
Entomologi di Indonesia
Di negeri kita, hubungan manusia dengan serangga ini telah lama disadari, sejak dongeng rakyat dan perumpamaan mulai diceritakan turun-temurun dari mulut ke mulut. Cerita yang juga berbentuk tembang telah mengungkapkan ciri atau peri laku serangga tertentu, tetapi pengetahuan tersebut masih dalam bentuk semu dan samar-samar, belum terwujud sebagai ilmu.
Pada awalnya, entomologi datang ke Indonesia hanya sebagai “tamu”. Ilmu ini masuk ke dan keluar dari Indonesia tanpa meninggalkan bekas karena tidak ada sarana atau perangkat yang tersedia untuk menerimanya. Begitu tamu kembali ke tempat asalnya, kembali pulalah ilmu itu dan meninggalkan Indonesia. Keadaan ini terus berlangsung sampai para ilmuwan tamu itu menyadari benar perlunya menumbuhkan entomologi di Indonesia sendiri. Gagasan ini tidak muncul seketika, tetapi memerlukan akumulasi yang akhirnya tercetus menjadi kenyataan, ketika pada akhir abad ke-19, tahun 1894, didirikan laboratorium serangga di Bogor. Waktu inilah titik awal diresmikannya penumbuhan entomologi di Indonesia.
Dari awal tersebut mulailah entomologi merayap di bumi Indonesia menelusuri jalan perkembangan yang tidak luput dari pasang dan surut. Pada tahap permulaan, ruang lingkup entomologi ini masih sangat terbatas, yang tidak lain adalah pengenalan dan pergaulan dengan hama. Terdorong kebutuhan mengenal nama jenis hama, entomologi berkembang menjadi taksonomi alfa1, terbatas pada pengenalan dan pemberian nama serangga.
Tahap awal taksonomi ini di Indonesia tidak pernah berkembang lebih lanjut. Sumber daya pendukungnya, ditambah kebutuhan terhadap entomologi yang terpusatkan pada penanganan hama setempat dan prestise dunia, membatasi entomologi pada lingkup yang sempit. Sedikit perkembangan terjadi bersama kegiatan Alfred Russel Wallace. Pada masa 1837-1879, A.R.Wallace melakukan kegiatan penjelajahan di Sulawesi Utara dan sekitarnya, untuk mengungkapkan peran dan kedudukan takson serta hubungannya dengan daerah sebarannya. Perkembangan ini tidak dapat berlanjut karena pengetahuan biologi secara umum yang menjadi kaitan perkembangan entomologi tersebut belum dimiliki oleh peneliti entomologi di Indonesia pada waktu itu. Corak entomologi di Indonesia tetap merupakan taksonomi klasik terbatas pada identifikasi nama ilmiah.
Keadaan demikian tidak statis, masih ada sentuhan perkembangan. Segi-segi lain juga berkembang, didorong kebutuhan yang harus dipenuhi pada waktu itu. Entomologi yang berkaitan dengan penyakit daerah tropika, seperti malaria dan filariasis, timbul dari kebutuhan untuk mengatasi masalah penyakit yang dihadapi ilmuwan tamu dan pelaksana pemerintahan dari luar pada waktu itu. Di sektor pertanian, entomologi dikembangkan untuk mengatasi masalah gangguan terhadap produksi pertanian, termasuk peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Perkembangan entomologi yang berkaitan dengan pertanian ini mengikuti jalur yang sempit, terbatas pada kebutuhan menangani masalah-masalah pada komoditi pertanian yang terbatas.
Telusuri Perkembangannya
Perkembangan kegiatan entomologi di Indonesia telah berlangsung tanpa kepastian periode. Tidak ada indikator yang secara jelas menunjukkan akhir suatu masa atau indikator lain yang mengawali masa baru. Oleh karena itu, pengelompokan kegiatan entomologi di Indonesia akan didasarkan pergantian abad. Karena catatan yang dapat digunakan untuk menarik balik kegiatan entomologi tersedia hanya mulai abad ke-19, kegiatan entomologi di Indonesia dibagi menjadi era sebelum dan sesudah abad ke-20. Dalam abad ke-20, kegiatan dapat dikelompokkan menjadi sebelum dan sesudah Perang Dunia II.
Sebelum Abad ke-20
Penelusuran perkembangan pada periode ini ditarik ke belakang sampai sejauh waktu yang tak dapat ditentukan. Walaupun demikian, perkembangan yang terjadi mempunyai titik-titik pusat tertentu. Adanya kegiatan oleh tokoh tertentu atau peristiwa tertentu dapat menandai pusat kegiatan entomologi pada masa yang bersangkutan. Kegiatan ilmiah yang mulai mengungkapkan keadaan fauna pada umumnya – menyangkut pula artropoda – terjadi ketika George Everhard Rumph atau yang lebih dikenal dengan nama Georgii Everhardi Rumphius mengirimkan sepucuk surat tertanggal 20 Agustus 1662 kepada Direktur Utama “East Indies Company” (Vereeniging Oost Indi‘ Companie – VOC). Dalam surat tersebut dikemukakan permohonannya untuk bekerja mempertelakan berbagai kelompok makhluk dengan mencakup binatang. Pekerjaan ini terlaksana untuk kawasan Ambon dan sekitarnya. Kematian Rumphius pada awal abad ke-18 (1702) mematikan pula pelita penelusuran perkembangan ilmu mengenai binatang pada awal abad ke-18 ini.
Dari tahun 1700-an tidak banyak hal mengenai kegiatan entomologi di Indonesia yang dapat dikemukakan. Tidak ada tokoh atau peristiwa yang layak dicatat atau memberikan pertanda kegiatan entomologi. Dalam hal ini hanya dapat diambil deduksi terhadap dampak yang mungkin terjadi dengan terbitnya Systema Naturae edisi ke-10 oleh Carol von Linne (Carolus Linnaeus) pada tahun 1758. Buku ini telah merangsang para muridnya untuk melakukan kegiatan penjelajahan ke segala pelosok dunia. Rangsangan ini telah mendorong pula Francis Walker dari Inggris dan J. van der Wulp dari negeri Belanda untuk menjamahkan tangannya di kawasan Indonesia pada awal tahun 1800-an. Kegiatan entomologiwan Eropa di Indonesia ini dan di berbagai kawasan yang masih belum banyak terjamah, seperti Mesir, India, Birma, Indocina, dan Filipina, merupakan akibat perkembangan semangat penjelajahan ilmuwan – lebih tepatnya penggemar alam – yang dipelopori Carolus Linnaeus sejak beberapa dasawarsa sebelum pertengahan abad ke-18. Berpuluh tahun kegiatan entomologi hanya berkisar pada penemuan takson baru serangga.
Kegiatan penjelajahan sebagai dampak karya Linnaeus ini masih terus berlangsung. Pada masa itu, penjelajahan dan penemuan takson merupakan inti kegiatan biologi. Hasil penjelajahan yang berupa penemuan dan pertelaan spesies baru akan mengangkat derajat penemunya. Konsentrasi penjelajahan ditentukan terutama untuk tujuan pengungkapan unit-unit baru fauna, khususnya serangga. Dalam perkembangan selanjutnya, pengungkapan unit baru ini mempunyai corak yang sudah berbeda. Dengan penjelajahan seorang naturalis Alfred Russel Wallace pada tahun-tahun mendekati pertengahan abad ke-19, kegiatan entomologi di Indonesia bukan saja mengungkapkan adanya takson, tetapi juga peran dan kedudukan takson dalam habitatnya serta makna adanya takson terhadap susunan kehidupan di suatu kawasan. Penjelajahan dengan proyeksi sasaran seperti ini merupakan revolusi ilmu yang berkaitan dengan makhluk. Perkembangan semacam ini dimungkinkan karena kegiatan A.R. Wallace kebetulan meliputi dua region utama fauna dengan daerah peralihannya – yang kini dikenal sebagai Wallacea.
Kesimpulan dari pengamatan terhadap serangga dan komponen fauna lainnya di kawasan yang terbatas ini menyamai deduksi yang disusun oleh Charles Robert Darwin. Dari perjalanannya mengelilingi dunia bersama kapal “The Beagle”, Charles Darwin menyimpulkan data dan informasi alami yang diperolehnya ke arah pengembangan teori evolusi hayatinya. Dari deduksi A.R. Wallace terbukti bahwa pengamatan entomologi yang dikembangkan di Indonesia telah menjadi salah satu titik tumpuan perkembangan biologi modern (Wallace, 1890). Sayangnya, pengetahuan biologi umum pada waktu itu belum memadai untuk memanfaatkan penemuan Wallace dan Darwin. Kembalilah corak kegiatan entomologi di Indonesia kepada yang klasik, yaitu penjelajahan untuk menemukan takson baru. Walaupun demikian, kegiatan penjelajahan telah pula menimbulkan dampak sampingan di sisi lain. Timbullah beberapa sisi terapan, baik yang langsung maupun yang tak langsung, yang menyangkut sektor pertanian (dalam arti luas) dan kesehatan.
Mengikuti kegiatan penjelajahan di belantara Nusantara, timbullah pula keluaran tambahan selain penemuan takson baru. Ada pengaruh kebuasan belantara tropik yang terasa oleh para penjelajah. Yang sangat terasa ialah gangguan kesehatan yang dialami oleh para penjelajah dan pejabat pemerintahan yang bukan berasal dari Indonesia (Snapper, 1945). Gangguan utama ialah penyakit tropik. Tekanan penyakit tropik mendorong terbentuknya pelayanan kesehatan yang dilembagakan pada tahun 1826. Beberapa fokus diberi perhatian utama, di antaranya ialah malaria dan filariasis. Kedua segi kesehatan ini melibatkan serangga dan tentunya memerlukan pula penelitian dan pengembangan entomologi pada jalur ini. Mulai dari kejadian inilah secara resmi entomologi kesehatan tumbuh di Indonesia.
Di sektor pertanian perhatian utama pada waktu itu diberikan kepada pengembangan komoditi ekspor dan pertanian pangan. Komoditi ini merupakan andalan pemerintah kolonial pada waktu itu. Justru terbentuknya pemerintahan kolonial ialah karena komoditi ini. Pada pertengahan abad ke-19, mengikuti perkembangan kultuur-stelsel pada awal abad tersebut, penelitian mulai diarahkan kepada penggarapan perkebunan. Untuk keperluan ekspor dari sektor ini pengembangannya berlangsung sejak 20 tahun sebelum berakhirnya abad ini. Entomologi perkebunan berkembang secara khusus di samping entomologi pertanian lainnya.
Dalam Abad ke-20
Sebenarnyalah abad ke-20 ini merupakan awal perkembangan dan pemekaran kegiatan entomologi di Indonesia. Penjelajahan yang mengungkap-kan penemuan baru serta usaha meningkatkan komoditi ekspor dari perkebunan dan produksi tanaman pangan menimbulkan kebutuhan membangun laboratorium sendiri di Indonesia. Permasalahan utama ialah penanganan terhadap binatang. Inilah alasan utama diresmikannya laboratorium zoologi di Bogor pada tahun 1901. Sebelum secara resmi berdiri, laboratorium ini telah menggelar kegiatannya sejak tahun 1894. Inilah pula titik tolak pengembangan entomologi di Indonesia. Laboratorium ini diberi nama “Landbouw-Zoologische Labortorium” (Lieftinck dan van Bemmel 1945) diprakarsai oleh Melchior Treub sebagai Direktur Kebun Raya (‘s Land Plantentuin) dan dipercayakan kepada Koningsberger sebagai pengelolanya. Kemudian sejak pertengahan tahun 1940-an sampai kini terkenal dengan nama Musuem Zoologicum Bogoriense (Kadarsan et al. ,1994).
Sejak pendirian laboratorium ini, kegiatan entomologi di Indonesia – yang penyelesaiannya dilakukan di Indonesia sendiri – memperlihatkan dua jalur utama. Perpecahan dua jalur ini tidak dapat dihindarkan karena adanya dua macam kebutuhan yang berbeda, yaitu tradisi prestise dan kebutuhan ekonomi komersial. Penjelajahan untuk mengungkapkan penemuan takson dan identifikasi memperoleh kedudukan resmi, sedangkan penelitian peri laku dan peran serangga terhadap komoditi pertanian mendapat bantuan penyelesaian dari segi taksonominya. Penjelajahan menjadi tidak terbatas pada lingkup takson, tetapi juga mencakup pengamatan yang berkaitan dengan segi terapan. Kegiatan entomologi di laboratorium zoologi di Bogor ini cenderung untuk berfokus pada taksonomi. Kegiatan entomologi pertanian terakomodasi di lembaga yang berbeda. Peristiwa ini telah mengawali dan mendasari terpisahnya entomolgi dasar (basic) yang tetap bermukim di ‘s Land Plantentuin yang kemudian menjadi lembaga penelitian di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan entomologi terapan (applied) di Departemen Pertanian Indonesia.
Entomologi Terapan
Berbagai kegiatan entomologi yang berkaitan dengan ekonomi negara telah dilakukan sejak awal abad ke-20. Pada waktu itu negara ialah pemegang perdagangan yang telah diserahkan oleh VOC sejak tahun 1798 ketika VOC menyatakan diri pailit2. Kegiatan-kegiatan entomologi yang penting pada waktu itu termasuk penanganan terhadap hama teh pada tahun 1906. Kegiatan semacam ini bertambah meluas setiap tahun. Komoditi yang mendapat perhatian berikutnya ialah karet. Di samping itu, kelompok tanaman yang tidak menjadi komoditi ekspor pun memperoleh perhatian pula, di antaranya anggrek dan Ficus. Mulailah dilaksanakan pengamatan tehadap hama secara umum, termasuk serangga-serangga yang menjadi parasitnya. Sementara kegiatan entomologi pada komoditi tersebut terus berjalan, penambahan cakupan komoditi berlangsung juga. Pada awal dasawarsa kedua abad ini dimulailah penanganan terhadap hama coklat dan tembakau. Kemudian, penelitian dalam aspek entomologi ini berkembang lebih lanjut mencakup kina. Perkembangan ini rupanya terjadi pula pada sektor lain, termasuk kehutanan, di antaranya penanganan terhadap hama kayu jati.
Dimulai pada awal abad ke-20 ini, sebelum ditutupnya dasawarsa pertama, perhatian telah diberikan kepada serangga-serangga pengganggu padi. Perhatian ditujukan kepada hama pertama, Agrotis sp. dan Hesperia philino. Penelitian terhadap hama padi ini mendapat perhatian khusus dan dilakukan secara terus-menerus, sehingga parasitnya pun ikut diperhatikan. Kemudian dapat pula diungkapkan berbagai hama yang lain, penggerek batang padi dan wereng. Telah disadari sejak tahun 1916 bahwa wereng sangat berbahaya dan dapat memusnahkan padi. Kepentingan penelitian hama padi ini tercermin pada curahan perhatian khusus oleh K. W. Dammerman sejak tahun 1915, lima tahun sejak dia diangkat secara resmi menjadi entomologiwan3. Setahun sebelumnya, ia telah mulai penelitiannya dengan percobaan pemberantasan penggerek padi.
Selain memberikan perhatian khusus pada padi, Dammerman menyadari pentingnya belalang Valanga nigricornis sebagai hama. Kesadaran timbul setelah terjadinya keganasan belalang ini di daerah Semarang-Rembang dan Madiun. Sinyelemen Dammerman ternyata benar, yaitu setelah satu tahun kemudian, pada tahun 1916, dengan terjadinya serangan Valanga nigricornis yang menghabiskan perkebunan jati di Jawa Timur dan kelapa di daerah sekitarnya. Serangan belalang terjadi juga pada tahun yang sama di Ternate dan Halmahera, sehingga menurunkan jumlah ekspor.
Perhatian terhadap hama kelapa secara umum sebetulnya telah diberikan pada tahun 1913, ketika terjadi serangan Artona. Serangan ini menghebat pada tahun 1915, ketika perhatian lebih banyak ditujukan kepada padi. Mungkin karena pengalaman ini, selain diperdalamnya pengamatan terhadap hama padi, seperti walang sangit dan wereng, peningkatan pengamatan hama juga dilakukan terhadap kopi dan coklat serta kelapa sawit. Pengungkapan hama kelapa berlangsung terus sampai memunculkan spesies-spesies seperti Hidari irava, Oryctes dan Chalcosoma. Sementara Itu, serangan Artona makin meluas, sehingga pada tahun 1917 dilakukan penelitian khusus terhadap hama kelapa di Padang.
Di samping padi, komoditi pangan yang mendapat perhatian ialah jagung dan ubi jalar. Hama jagung mulai diperhatikan pada tahun 1909, bersamaan dengan perhatian terhadap padi. Dua tahun kemudian barulah pada ubi jalar. Terhadap ubi jalar ini penelitian terus dilakukan sampai penemuan Herse convolvuli dan spesies-spesies hama lainnya pada tahun 1917. Di samping spesies-spesies dari ubi jalar, penemuan hama diperoleh juga dari tumbuhan merambat lainnya, yaitu yang berupa lalat hama kerabat waluh (Cucurbitaceae).
Dengan pengalaman dalam menghadapi serangan hama dan pengetahuan tentang penanggulangannya pada tahun 1917 ini, makin banyak spesies hama yang diungkapkan. Pertambahan jumlah hama dan cara penyerangannya mendorong para entomologiwan dan ahli pertanian untuk mengubah konsep pemberantasan hama. Penjelajahan pengungkapan hama meluas sampai Sumatera. Dari pengalaman tersebut mulai disadari perlunya perhatian terhadap daur hidup serangga. Pada tahun 1913 Dammerman mulai memberikan perhatian dengan ikut meneliti ekologi hama. Dua tahun sebelumnya, aspek ekologi sebetulnya sudah disentuh, dengan dilakukannya penelitian terhadap aspek pestisida.
Selagi orang sibuk menangani berbagai hama, yang makin lama terlihat makin banyak, terjadilah pemasukan lalat buah, Ceratitis capitata, yang terbawa ke Indonesia melalui buah-buahan yang diimpor dari Australia. Pada waktu itu belum ada perhatian khusus untuk menghadapi masuknya spesies asing ke dalam negeri. Dari kejadian pada tahun 1914 ini timbul usaha untuk melakukan pencegahan pemasukan hama dari luar. Penjagaan ini dilakukan pula terhadap buah-buahan yang dimasukkan dari kawasan sekitar Lautan Tengah. Pada waktu itu gagasan mengenai karantina belum ada, tetapi kejadian ini mungkin menjadi dasar pengembangan karantina pertanian di Indonesia.
Penjelajahan, pengamatan dan penemuan untuk mengungkapkan hama pertanian berlangsung terus. Hama kacang-kacangan, pisang, kakao, agave, kentang dan lain-lainnya mulai terungkap. Kemajuan berlangsung terus sampai terjadinya Perang Dunia II. Walaupun demikian, catatan keadaan hama pertanian atau tanaman yang terdapat di Indonesia masih sempat terkumpul. Kumpulan catatan ini tersusun dalam buku-buku yang diterbitkan oleh L.G.E. Kalshoven dan J. Van der Vecht, serta H.J.V. Sody dan A.C.V. van Bemmel untuk mamalia dan burung.
Di Laboratorium Lama
Kegiatan lain entomologi untuk mengungkapkan keanekaragaman takson berlangsung terus. Kira-kira enam tahun setelah disediakannya laboratorium entomologi, mulailah berdatangan tamu peneliti dari luar negeri. Kejadian ini mendorong timbulnya kesadaran terhadap arti koleksi ilmiah yang berupa spesimen. Dengan kesadaran ini Laboratorium Zoologi di Bogor yang telah didirikan itu mulai mengadakan ekspedisi pengumpulan ke daerah-daerah di luar Jawa. Di samping mengirimkan ekspedisi, lembaga ini memperkaya koleksinya dengan menerima kiriman material ilmiah dari penyumbang. Walaupun demikian, kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dari luar negeri, misalnya J.C.T. de Meijere, terus pula berjalan tanpa peninggalan material untuk dikelola di Laboratorium Zoologi di Bogor.
Ekspedisi dan eksplorasi terus berlangsung. Ilmuwan maupun amatir yang tinggal di Indonesia atau yang datang dari luar negeri, menjelajah negeri dan mengumpulkan material. Determinasi jenis serangga menunjukkan kepentingannya yang makin terasakan manfaatnya. Pengenalan ini telah meletakkan jembatan yang menghubungkan penjelajahan dengan penelitian peri laku serangga. Pada tahun 1880 dimulai usaha swasta yang bergerak dalam perkebunan tebu. Kegiatan inventarisasi dan identifikasi serangga Indonesia berlangsung untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan perkebunan ini. Kegiatan ini kemudian berkembang sampai akhirnya bersambung dengan kegiatan yang dikembangkan di Laboratorium Zoologi di Bogor pada tahun 1894.
Penelitian yang berkaitan dengan penjelajahan ini sering dikenal dengan sebutan entomologi murni atau entomologi dasar. Dalam jalur ini kegiatan terbatas pada pengenalan serta pertelaan spesies yang ditemukan. Keterbatasan ini sering menimbulkan anggapan bahwa entomologi dasar kurang bermanfaat. Di sela-sela kerutinan ini muncul penggarapan terhadap segi lain, misalnya ekologi dan geografi, seperti yang dilakukan oleh Dammerman (1948) di Kepulauan Krakatau dan terhadap serangga tanah. Seperti pada jalur lain, kegiatan ini memudar pada masa Perang Dunia II. Pudarnya entomologi ekologi dan geografi melaju karena berbagai faktor penyebab. Manfaat yang langsung dirasakan belum jelas. Hasil penelitian entomologi ekologi dan geografi belum diperlukan pada waktu itu. Oleh kerena itu, penelitian pada bidang ini menjadi hambar.
Dalam periode sebelum Perang Dunia II ini terlihat makin banyak ahli yang menekuni entomologi. Kebanyakan atau hampir semuanya adalah orang Eropa, terutama Belanda. Pada tahun 1929 didirikan cabang perhimpunan yang berinduk pada yang ada di negeri Belanda, yaitu Afdeeling Nederlandsche Oost Indi‘ van der Nederlandsche Entomologische Vereeniging. Dengan pertimbangan (1) lebih banyak anggota yang berada di Indonesia daripada yang berada di Negeri Belanda, dan kesulitan dalam komunikasi antara anggota dan Pengurus Pusat, serta (2) kekhasan fauna serangga daerah tropika, cabang ini menjadi perhimpunan terpisah. Pada tahun 1934, perhimpunan ini mandiri dengan nama Nederlandsche-Indische Entomologische Vereeniging (NIEV) yang berkedudukan di Bogor. Kegiatan NIEV terpaksa terhenti karena adanya Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 1941.
Setelah Perang Dunia Kedua
Sesudah Perang Dunia II kegiatan entomologi di Indonesia tidak segera bangkit kembali. Perang dan pendudukan Jepang benar-benar menghentikan laju kegiatan entomologi. Walaupun demikian, pada akhir tahun 1949, dirintis suatu pendirian “klub” yang akhirnya menjelma menjadi suatu perhimpunan yang dinamai Entomologische Vereeniging in Indonesi‘ (EVI – Perhimpunan Entomologi Indonesia). Perhimpunan yang sudah mulai berdiri ini segera membentuk anggaran dasar yang pada asasnya mirip anggaran dasar NIEV, yaitu mendorong dan merangsang perkembangan ilmu serangga di Indonesia. Perhimpunan ini menerbitkan majalah Idea, yang bertahan terbit sampai tahun 1960. Karena anggaran dasar EVI dinyatakan berlaku sampai tahun 1964, diedarkan surat dari Pengurus Perhimpunan ini untuk mendirikan kembali perhimpunan entomologi di Indonesia. Baru pada tahun 1970, upaya pendirian ini berhasil dengan dibentuknya Perhimpunan Entomologi Indonesia di Salatiga pada tanggal 1 Oktober.
Dalam periode 1950-an sampai akhir tahun 1960-an kemacetan bertambah menonjol dengan situasi negara yang tidak memungkinkan pemulihan kegiatan penelitian. Dampak Perang Kemerdekaan, pemberontakan di beberapa daerah, dan situasi keuangan negara serta tiadanya tenaga pelaksana, praktis menghentikan perputaran roda kegiatan entomologi di Indonesia. Keadaan ini berlarut sampai mendekati akhir tahun 1960-an. Dalam periode kemacetan ini masih sempat dilakukan beberapa kali ekspedisi pengumpulan oleh Museum Zoologicum Bogoriense serta penelitian terbatas oleh lembaga-lembaga di lingkungan Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan. Selain jumlahnya yang amat terbatas, mutunya pun tidak terlalu dapat diharapkan, apalagi dampaknya.
Dalam suasana memprihatinkan ini para peneliti dan ilmuwan Belanda yang hampir mendominasi kegiatan ilmiah di Kebun Raya Bogor, yang menjadi pusat kegiatan biologi dengan “cabang-cabangnya” dalam botani, zoologi dan mikrobiologi, melakukan perpindahan massal ke negeri leluhurnya (Adisoemarto, 1999). Eksodus ini mendorong didirikannya Akademi Biologi pada tahun 1955. Selain Akademi Biologi, usaha untuk mengisi kekosongan di bidang pertanian juga pendirian Kursus Akademi Penyelidikan Pertanian pada tahun 1952. Kursus Akademi ini berakhir pada tahun 1957, tetapi kebutuhan akan tenaga memerlukan dilanjutkannya Akademi ini. Adanya Akademi Biologi yang juga diperlukan untuk menghasilkan para biologiwan muda harus dilanjutkan. Dengan strategi yang sangat indah, kedua akademi ini digabung, dan pada tahun 1957 dilanjutkanlah kedua akademi ini dengan Akademi Pertanian. Akademi terakhir ini berlangsung sampai tahun 1968. Dari sinilah dilahirkan entomologiwan dan ahli-ahli pertanian muda awal, yang sanggup mengisi kekosongan posisi ilmuwan dan ahli Belanda yang meninggalkan Indonesia.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) Pemerintah Republik Indonesia dimulai pada tahun 1969. REPELITA ini membangkitkan berbagai kegiatan di Indonesia, termasuk di dalamnya juga kegiatan entomologi. Sedikit demi sedikit kegiatan mengenai serangga mulai digerakkan. Arahnya ditentukan oleh kelompok yang ada dan memungkinkan terjadinya perkembangan. Pada waktu itu, yang menonjol ialah kelompok penelitian terhadap komoditi pertanian, terutama padi, dari gangguan hama. Perkembangan ini dapat terjadi karena terhimpunnya kekuatan kelompok yang telah ditumbuhkan di perguruan tinggi atau tempat pendidikan lainnya. Selain itu, kebutuhan negara dalam mencukupi pangan bagi rakyatnya mendorong penelitian terhadap serangga ke arah penanggulangan hama pertanian, khususnya padi. Mulailah perkembangan entomologi pertanian, yang terpusatkan pada pemberantasan hama padi. Kelompok lainnya praktis tidak mempunyai kekuatan, karena dalam pengem-bangannya tidak pernah dipersiapkan. Pada tahun 1960-an sampai tahun 1970-an keadaan entomologi di Indonesia mirip keadaannya pada awal abad ke-20. Suatu keadaan yang tidak dapat dibanggakan.
Pembobotan Kemajuannya
Publikasi hasil kegiatan entomologi di Indonesia yang terbit segera sesudah Perang Dunia II mencerminkan situasi kegiatan entomologi yang masih sangat terbatas. Keterbatasan ini terasa sekali dalam cakupan sektor maupun kedalaman penelaahannya. Sebelum Perang Dunia II, publikasi didominasi oleh ilmuwan Belanda. Namun dalam perkembangan kemudian ada seorang entomologiwan Indonesia yang pada tahun 1950-an mempertelakan serangga kakao (1950) dan penggerek polong Crotalaria (1958). Penelitian Sutardi ini masih terbatas pada segi terapan di bidang pertanian. Penelitian dasar dilakukan secara sporadis, tetapi pada umumnya oleh peneliti asing yang tinggal sementara di Indonesia. Tidak ada pola baik geografinya maupun kelompok serangga yang ditelitinya. Beberapa yang dilakukan adalah mengenai sistematika lebah madu, lalat dari Nusa Tenggara Timur, nyamuk dari berbagai pulau, dan sekelompok kumbang akuatik dari Flores. Dalam dasawarsa berikutnya, penelitian ditekankan pada segi taksonomi beberapa kelompok pilihan yang menjadi minat pribadi peneliti. Dalam kecamuk serangan hama wereng, dilaksanakan seminar khusus mengenai cara menanggulangi hama yang sangat ditakuti oleh petani dan pemerintah (Sadjad et al., 1977). Di sela-sela perhatian khusus pada wereng dilakukan pula penelitian terhadap pengorok daun palawija, penggerek batang padi, penggerek polong kakao, dan pemeliharaan beberapa parasit (van der Laan, 1981).
Di luar bidang pertanian, peningkatan kegiatan pun terjadi juga karena peningkatan jumlah tenaga pelaksana. Perhatian diberikan kepada bidang kehutanan, kesehatan, dan permukiman manusia. Entomologi dasar mulai bangkit. Makin bertambahnya jumlah entomologiwan dibuktikan oleh timbulnya kebutuhan untuk membuat wadah yang mempersatukan para entomologiwan, yaitu dengan didirikannya Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), setelah melalui berbagai tahap perkembangan.
Adanya kegiatan yang meningkat terbukti pula dengan makin meningkatnya publikasi mengenai serangga. Pada Kongres Perhimpunan Entomologi I dan Simposium Entomologi pada tahun 1974, tercatat 83 makalah yang disajikan dalam simposium. Sudah menjadi kebiasaan bahwa simposium nasional entomologi menyertai kongres entomologi. Pada simposum berikutnya pada tahun 1983, jumlah ini menjadi lebih dari 200 makalah. Ruang lingkupnya pun menunjukkan perluasan. Lebih banyak kelompok serangga yang dibahas dengan mencakup lebih banyak aspek. Pada simposium ketiga pada tahun 1987, kualita menjadi dasar pertimbangan untuk disertakan dalam penyajian, sehingga jumlah makalah tidak menjadi sasaran dalam simposium, hanya sebanyak 65 artikel. Akan tetapi, untuk membuka peluang bagi entomologiwan muda, kongres keempat dengan simposiumnya pada tahun 1992 di Yogyakarta menerima sebanyak mungkin makalah. Mutu kurang diperhatikan, sehingga untuk dapat diterbitkan sebagai hasil penelitian banyak yang tidak memenuhi syarat. Dari lebih dari 300 makalah yang disajikan dalam Simposium, hanya dua yang layak terbit. Keadaan ini menjadi wigati para entomologiwan senior untuk pengembangan di masa mendatang.
Kemerosotan mutu entomologi di Indonesia tidak dapat dibendung, sehingga pada simposium entomologi yang mendampingi Kongres Entomologi V di Bandung pada tahun 1997, taraf mutu entomologi Indonesia mencapai lapisan yang paling bawah. Hanya segelintir makalah yang mempunyai nilai. Sisanya layak diisikan ke dalam keranjang sampah. Kecenderungan kemerosotan mutu entomologi ini menjadi keprihatinan para entomologiwan senior, sehingga tercetus gagasan untuk mengembalikan entomologi Indonesia ke taraf yang seharusnya, dengan fungsi dan peran, baik dalam menyediakan bahan (informasi dan pengetahuan) maupun dalam bentuk pelayanan. Upaya ini ditempuh dengan beberapa cara, di antaranya ialah diskusi, loka karya, seminar, dan pertemuan ilmiah lain.
Dari pertemuan ilmiah yang dilakukan di sela-sela simposium nasional, ternyata dirasakan adanya perhatian yang diberikan bukan saja kepada sektor pertanian (dalam arti sempit, pemberantasan hama padi), tetapi juga pada kehutanan, baik yang khusus maupun yang umum, kesehatan dan permukiman, serta sektor lain kehidupan, termasuk juga di dalamnya entomologi dasar. Dari pertemuan-pertemuan ilmiah entomologi ini, terasakan pula mulainya tumbuh entomologi selain pertanian (dalam skala sempit). Pada tahun 1977 mulailah tumbuh pula entomologi kehutanan dan entomologi yang berkaitan dengan pengaruh pestisida, serangga serta entomologi di luar pertanian. Aspek-aspek ini tumbuh terus dan lebih berkembang bersama perhatian terhadap segi-segi pengelolaan hama, yang pendekatannya tidak saja dari segi pemberantasannya secara langsung, tetapi juga dari disiplin lainnya. Perkembangan entomologi ini terus berlangsung hingga kini, melalui berbagai dorongan maupun rintangan.
Deperlukan Mekanisme Dukungan
Dilihat dari segi kuantitas pelaksananya, perkembangan entomologi di Indonesia menunjukkan titik-titik cerah. Peran serangga dalam ekosistem makin dirasakan, khususnya dalam penanganan hama pertanian, terutama padi, sehingga kebutuhan akan pelaksana dalam menangani serangga semakin terasa. Walaupun demikian, perhatian lebih besar masih harus diberikan kepada peningkatan kualitasnya. Keterbatasan pada cakupan yang ditangani dan pengembangan sumber daya manusianya masih belum mampu memperluas wawasan entomologi di Indonesia. Dorongan utama dalam perluasan wawasan ini dan untuk meningkatkan mutu pelaksana entomologi datang dari kesadaran makin dirasakan perlunya entomologi untuk berfungsi dan berperan dalam pembangunan berkelanjutan.
Pada era pembangunan pertanian di Indonesia berlangsung upaya pengembangan pengendalian hama terpadu (PHT). Konsep pengendalian ini mengharuskan dikenalnya berbagai kelompok serangga dan artropoda lain yang terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dalam proses pengendalian. Pengenalan ini meliputi juga pengenalan terhadap peri laku, ciri, dan sifat-sifat lain yang dimiliki serangga dan artropoda, baik pengendalinya maupun yang dikendalikan. Kebutuhan ini memerlukan wawasan entomologi yang lebih luas daripada sekadar mengenal hama dan cara mematikannya. Akan tetapi, pengembangan wawasan ini pun masih belum menyentuh kebutuhan akan dikembangkannya entomologi secara mendasar.
Dalam awal tahun 1990 Perhimpunan Entomologi Indonesia mencoba mengangkat entomologi dasar ke permukaan. Tekad ini dicetuskan karena terasa makin terbenamnya entomologi dasar di Indonesia. Para entomologiwan senior menyadari makin memudarnya disiplin cabang-cabang entomologi dasar yang disebabkan oleh adanya desakan permintaan untuk menyelesaikan masalah entomologi yang sangat urgen. Maka berkembanglah suatu kecenderungan untuk mencari teknologi dan teknik yang tepat dan murah dalam waktu dekat. Kenyataan ini tercermin dari kebijakan penanggulangan hama, dengan jalan pintas menuju pemberantasan hama. Keadaan yang tidak menguntungkan bagi entomologi dasar ini diperberat dengan banyaknya masalah hama yang perlu segera diselesaikan. Dengan kondisi seperti ini tidak ada kesempatan untuk memperlajari secara mendasar sebab-sebab yang menimbulkan masalah. Akibat yang timbul dari pendekatan seperti ini ialah tidak pernah tercapainya taraf kemampuan untuk mengantisipasi masalah yang akan timbul dan mempersiapkan ilmu-ilmu dasar yang harus diramu untuk menghadapi datangnya masalah baru. Akibat lebih lanjut yang terjadi ialah penanganan masalah – hama dan lain-lain yang berkenaan dengan serangga – secara sekadar pelaksanaan tugas, yang tak berbeda dengan tugas pemadam kebakaran.
Keadaan memaksa untuk tidak menerapkan ilmu-ilmu dasar entomologi mengakibatkan tidak adanya kesadaran akan proses berkelanjutan dan jalinan aspek ilmu dasar :
1.     Kisaran ilmu dasar dan kisaran ilmu terapan entomologi akan membentuk kesinambungan. Dalam bidang entomologi pun, produk yang dihasilkan ilmu dasar akan menjadi dasar bagi ilmu yang menerapkannya. Produk yang dihasilkan oleh ilmu yang menerapkan ini akan menjadi dasar bagi ilmu lainnya yang akan menerapkannya lebih lanjut. Rangkaian ini berlangsung terus sebagai proses yang bersinambung;
2.     Ilmu dasar entomologi ialah sumber keberhasilan dan berfungsinya ilmu terapan;
3.     Sebaliknya, ilmu dasar entomologi dapat dikembangkan dari ilmu terapan.
Tiadanya kesadaran ini melepaskan kebutuhan terhadap ilmu dasar entomologi dalam pelaksanaan pembangunan. Antara ilmu dasar dan pembangunan tidak terlihat jalinan yang eksplisit. Renggangnya jalinan ini diperbesar dengan kenyataan bahwa terhadap kerugian yang ditimbulkan dari tidak dikuasainya ilmu-ilmu dasar entomologi belum dilakukan perhitungan ekonomi, khususnya dalam bentuk rupiah.
Ramifikasi jalinan ilmu dasar dan ilmu terapan entomologi dan jalur panjang yang harus ditempuh sehingga ilmu dasar entomologi dapat menunjukkan kepentingannya membat ilmu dasar entomologi terasa kering dan tidak bermanfaat. Hasil yang segera dapat dirasakan tidak dapat segera dilihat. Akibat keadaan ini ialah dihindarinya pendalaman terhadap ilmu-ilmu dasar dalam entomologi – misalnya morfologi dan anatomi, histologi, fisiologi, genetika, dan taksonomi – di arena pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. Ilmu dasar entomologi dianggap sebagai beban yang tidak menghasilkan buah. Merupakan kenyataan bahwa sampai kini, awal abad ke-21, sistem pendidikan di perguruan tinggi di Indonesia belum mendukung penempatan ilmu dasar, khususnya entomologi, pada perspektif yang sebenarnya.
Dicetuskannya Convention on Biological Diversity (CBD) dan beberapa keputusannya, mencanangkan perlunya dimanfaatkannya entomologi secara tepat guna. Dalam pertemuan para Pihak (peratifikasi CBD) – COP 3 di Buenos Aires, Argentina, dikeluarkan Decision III CBD yang mencakup pemanfaatan entomologi. Dengan tegas dinyatakan perlunya pelibatan penanganan terhadap keanekaragaman serangga, dalam aspek-aspeknya, untuk memanfaatkan keberadaannya. Beberapa aspek yang secara eksplisit disebutkan dalam isu untuk pengkajian khusus ialah serangga penyerbuk. Aspek-aspek yang disarankan untuk dikaji ialah (1) pemantauan terhadap hilangnya serangga penyerbuk pada skala dunia, (2) identifikasi penyebab khusus menurunnya serangga penyerbuk, (3) estimasi biaya ekonomi yang berkenaan dengan berkurangnya penyerbukan pada tanaman, dan (4) identifikasi dan dorongan terhadap penerapan praktek-praktek pelestarian untuk mempertahankan penyerbuk utama atau untuk mengembalikan keberadaannya.
Penerapan kajian tersebut telah pernah dicoba dengan perluasan cakupan, yang bertujuan untuk merintis kembali dan membina pengembangan ilmu-ilmu entomologi dasar di Indonesia. Telah ditempuh pendekatan terhadap isu-isu tematik, yang mencakup pemantauan status pengetahuan terhadap penanganan serangga hama dilihat dari segi-segi ilmu dasar yang telah diterapkan dalam upaya penanganan tersebut. Penelaahan yang sama juga dilakukan terhadap artropoda tanah (Suhardjono et al., 2001), ekosistem perairan, dan serangga penyerbuk sendiri. Telah terpolanya pemikiran dalam penanganan serangga hama sebagai inti dalam pengkajian terhadap entomologi, pengungkapan status pengetahuan mengenai serangga yang terlibat dalam segi pendekatan tersebut masih kurang dapat membawa kebanyakan entomologiwan Indonesia untuk memahami pentingnya ilmu dasar entomologi dalam memecahkan permasalahan entomologi.
Tingkat pemahaman seperti yang diuraikan di atas telah memperbesar rintangan dalam menghidupkan ilmu-ilmu dasar entomologi. Rintangan ini terwujud dalam bentuk penyederhanaan bahkan peniadaan pengajaran entomologi di perguruan tinggi, menjadi hanya sekadar pengenalan jenis, dan klasifikasi dalam invertebrata, bukan entomologi yang sebenarnya. Penyebabnya ialah tidak dipahaminya kaidah entomologi oleh pengajar/dosen entomologi. Para dosen ini pun mendapat pemahamannya dari pengajaran sebelumnya. Kurikulum mengenai entomologi di perguruan tinggi dan sekolah menengah menjadi tidak jelas, bukan mengajarkan entomologi tetapi lebih pada penghafalan spesies yang berkaitan dengan perannya sebagai hama dan musuh alami. Status entomologi seperti ini tidak dapat dibiarkan. Pengajaran entomologi harus dikembalikan pada pengajaran mengenai materi entomologi dalam pengertian yang benar.
Dari uraian di atas, tampak jelas corak entomologi secara menyeluruh dalam dimensi waktu. Walaupun demikian, dalam sektor-sektor lain perkembangan entomologi belum diungkapkan. Pada sektor-sektor kehutanan, peternakan, kesehatan, dan permukiman ada kemungkinan besar bahwa keadaannya tidak jauh berbeda, kalaupun ada perbedaannya. Pada kenyataannya, bahkan mungkin agak terabaikan. Kepincangan seperti ini dapat dimengerti karena jika dibandingkan dengan keadaan tanaman pangan, khususnya padi, komoditi di luar tanaman relatif tidak terlalu banyak dikerumuni serangga hama atau pengganggu. Bobot terberat masih pada penanganan hama padi. Entomologi sebagai ilmu masih memerlukan uluran tangan untuk dikembangkan menjadi ilmu yang benar-benar entomologi.
Lebih penting daripada penanganan terhadap kekurangan dalam sektor-sektor yang terabaikan itu ialah penanganan sektor pendidikan entomologi. Tidak jelas pula bagaimana pendidikan entomologi berkembang di Indonesia sesudah Perang Dunia II. Dalam kenyataannya kini pendidikan entomologi di kebanyakan perguruan tinggi terlalu bersifat pragmatis dan praktis. Pengetahuan dasar entomologi tidak pernah menjadi menu dalam mata kuliah entomologi. Segi-segi mendasar yang diperlukan untuk memahami kehidupan serangga kurang mendapat perhatian. Tidaklah mungkin dengan pendidikan entomologi seperti ini akan dapat dikembangkan entomologi Indonesia yang dapat secara kokoh menjadi tiang utama dengan landasan yang kokoh pula dalam menangani permasalahan yang ditimbulkan oleh serangga.
Perkembangan entomologi dan segi pendidikannya yang terjadi di Indonesia seperti yang diuraikan di atas tidak terlalu menyimpang dari jalur perkembangannya. Dari semula kaitan penelitian entomologi di Indonesia dengan pendidikan entomologi di Indonesia tidak terjalin secara tegas dan jelas. Sampai kini belum pernah dirumuskan entomologiwan yang bagaimana diperlukan untuk menangani masalah entomologi yang akan berkembang atau terproyeksikan di masa mendatang. Kebutuhan terhadap entomologiwan ini belum pernah dihitung, karena entomologi yang bagaimana yang dapat berfungsi dan berperan untuk menyongsong perkembangan permasalahan yang akan timbul pada masa mendatang pun belum juga diperhitungkan. Oleh karena itu, pemaduan program penelitian dengan program pendidikan entomologi di Indonesia masih mempunyai peluang besar untuk dikembangkan.
Menuju Entomologi yang Mengantisipasi
Entomologi yang telah berkembang di Indonesia sampai saat ini belum mempunyai bentuk yang mantap. Perkembangannya masih terbatasi penggunaan secara pragmatis, yaitu pada penanggulangan hama pertanian, terutama komoditi industri dan ekspor. Walaupun di sektor ini entomologi telah lebih berkembang daripada di sektor lain, perkembangan ini masih belum terlepas dari hambatan, karena justru aspek entomologi yang menjadi landasan perkembangan dalam penanggulangan hama itu sendiri belum dikembangkan dengan semestinya.
Secara konseptual belum ada kemantapan arah perkembangan entomologi di Indonesia, bahkan pemikiran pengembangannya pun belum tumbuh. Dalam keadaan seperti ini sukarlah menempatkan entomologi di Indonesia menjadi ilmu yang memimpin, apalagi sebagai entomologi yang dapat mengantisipasi. Pedoman utama yang akan dapat mengarahkan pengembangannya ialah sektor dalam kehidupan manusia Indonesia. Dengan meramalkan perkembangan ini, program entomologi di masing-masing sektor dapat direncanakan, dan pengembangannya dapat dipastikan.
Aspek entomologi secara umum telah menduduki tempat utama dalam permasalahan pada lingkungan manusia. Peran ini ditunjukkan secara langsung dalam sektor-sektor pertanian, kehutanan, kesehatan, dan lingkungan permukiman. Alasan kepentingannya ditimbulkan oleh adanya hubungan langsung antara serangga dan manusia. Hubungan ini akan selalu ada dan berkembang, selama manusia masih mengembangkan kebudayaannya melalui empat sektor tersebut. Perkembangan hubungan ini menuntut dikembangkan-nya entomologi yang tepat guna, yang di masing-masing sektor harus diperhitungkan. Perkembangan pada keempat sektor tersebut harus dipantau secara terus-menerus, sehingga program yang diperlukan dalam setiap sektor dapat diketahui, dan entomologi yang mendasarinya dapat diantisipasi.
Berdasarkan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia, keempat sektor tersebut akan berkembang secara pesat pula. Produksi pertanian harus ditingkatkan, baik dalam volume maupun dalam mutu, sumber daya hutan harus dimanfaatkan secara berkelanjutan, pelayanan kesehatan harus diper-baiki, permukiman harus diperluas, dan lingkungan harus ditata sedemikian rupa sehingga serasi dan layak untuk kehidupan manusia. Peningkatan kegiatan dalam keempat sektor tersebut akan menuntut pendayagunaan entomologi untuk mengatasi masalah yang timbul.
Sektor Pertanian
Kegiatan entomologi mempunyai dua segi, pertama sebagai penunjang (promotor) meningkatnya produksi, dan kedua sebagai pelaku produksi itu sendiri. Aspek penunjang meningkatnya produksi memerlukan berperannya entomologi dalam komponen-komponen yang berupa kemampuan tanah untuk pertanian, proteksi terhadap penghasil dan produk pertanian serta peri laku penyerbukan. Dalam aspek peri laku produksi, entomologi terkait dengan komponen berupa penghasil pangan (Adisoemarto, 1993a), pakan dan bahan untuk keperluan lain.
Komponen kemampuan tanah memerlukan keikutsertaan entomologi dalam dua peran, yaitu untuk menggarap serangga sebagai indikator dan serangga sebagai promotor. Dalam perkembangan penggunaan tanah pertanian, perhatian harus mulai diberikan pula kepada tanah atau lahan pertanian kering dan lahan pekarangan. Pada masa mendatang, kedua tipe lahan ini akan memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan manusia. Sebagai indikator kemampuan tanah, entomologi diperlukan untuk menentukan interelasi dan interdependensi antara tanah dan fauna serangga penghuni tanah yang bersangkutan (Suhardjono et al., 2001). Hubungan taraf kegunaan masing-masing tipe tanah berdasarkan tipe fauna serangga yang menghuninya dapat diketahui.
Peran sebagai indikator ini sangat penting dalam menentukan vegetasi yang paling cocok untuk bentuk atau tipe tanah yang tersedia. Ketentuan ini sangat diperlukan pada masa-masa mendatang, mengingat kecenderungan perkembangan sistem pertanian pada masa mendatang, yang teknologinya dikembangkan menuju peningkatan efisiensi penggunaan pupuk buatan. Sebagai promotor, peran serangga perombak yang mempercepat perputaran hara serta menentukan kesuburan tanah akan sangat diharapkan. Untuk pelaksanaannya diperlukan pengetahuan mengenai entomologi perombakan yang dapat memaksimalkan efisiensi kehadiran serangga dalam komponen ini.
Peran entomologi dalam komponen proteksi penghasil dan hasil pertanian sudah berjalan sejak timbulnya kebudayaan manusia. Dengan kebudayaannya, manusia membudidayakan tanaman, yang selanjutnya berasosiasi dengan serangga hama dan penyebar penyakit. Dua pihak yang sebetulnya terlibat dalam komponen ini, yaitu negasi atau anihilasi (pengurangan atau peng-hapusan) dan maksimasi atau optimasi, seharusnya mendapat keikutsertaan entomologi secara seimbang. Peran entomologi di Indonesia kini masih banyak dilakukan terhadap kegiatan negasi atau anihilasi. Hampir seluruh kekuatan diarahkan untuk menghapuskan serangga hama secara nir-alami, yaitu dengan penggunaan bahan kimia buatan.
Melihat gejala perkembangan sistem pertanian serta teknologi pertanian secara menyeluruh, yang akan mempromosikan ekosistem seimbang, pilihan perhatian entomologi harus diarahkan kepada kegiatan optimasi. Kecen-derungan perubahan peran insektisida dalam proteksi tanaman dari pemeran utama menjadi hanya salah satu komponen integrasi merupakan salah satu gejala ke arah optimasi ini. Kecenderungan ini sudah beberapa kali diungkapkan. Kegiatan optimasi ini akan memerlukan keikutsertaan entomologi yang menyangkut berbagai aspek dan disiplin ilmu-ilmu pertanian dan ilmu lainnya yang menunjang. Entomologi akan sangat diperlukan dalam menentukan keseimbangan atau optimasi masing-masing unsur dalam sistem pertanian yang dianut sehingga proteksi terhadap penghasil produk tercapai secara maksimal.
Entomologi lingkungan sangat pelik, karena di sini bukan saja serangga yang diperhatikan, tetapi juga lingkungan dan faktor-faktor yang menentukan kehidupan serangga (Adisoemarto et al., 1997). Walaupun demikian, entomologi lingkungan ini memegang peran terpenting dalam proteksi penghasil produk. Lagipula, entomologi lingkungan akan selalu diperlukan untuk jangka waktu yang sangat panjang, mengingat kecenderungan penyediaan dan penggunaan bahan kimia untuk penanganan hama di masa mendatang. Walaupun seandainya bahan kimia masih terpaksa menduduki peran teratas dalam penanganan hama, entomologi akan tetap memegang kedudukan penting pula, karena hampir semua hama berupa serangga dan toksikologi memerlukan entomologi. Oleh karena itu, entomologi lingkungan akan sangat diperlukan dalam konstelasi pertanian dipandang dari segi proteksi penghasil produk. Dalam masa mendatang, dekat maupun jauh, penganekaragaman hasil pertanian di Indonesia akan merupakan keharusan. Pertanian tidak hanya akan dipusatkan pada padi, tetapi juga tanaman pertanian yang lain, hewan, dan bahkan serangga sendiri. Untuk perlindungan komponen-komponen ini, entomologi tidak dapat ditinggalkan begitu saja.
Dalam kebanyakan kejadian, tanaman dan tumbuhan lain memerlukan serangga untuk dapat memenuhi fungsinya, yaitu menghasilkan buah dan biji untuk dapat berkembang biak. Selain untuk perkembangbiakan tanaman, pembentukan buah dan biji juga diperlukan manusia untuk menunjang kehidupannya. Berkaitan dengan serangga dalam penyerbukan, entomologi juga tidak dapat ditinggalkan (Adisoemarto, 1993b; Sastrodihardjo, 2001). Pendayagunaan serangga penyerbuk secara maksimum untuk meningkatkan produk pertanian belum secara bersungguh-sungguh dipikirkan di Indonesia. Mekanisme pendayagunaannya belum pernah dirumuskan secara pasti dan tepat, sehingga bidang ini masih merupakan terra incognita. Potensi serangga penyerbuk ini belum diperhitungkan di dalam usaha peningkatan hasil pertanian. Perkembangan keperluan terhadap serangga penyerbuk untuk masa mendatang dan selanjutnya akan menuntut entomologi yang dapat menangani pendayagunaan serangga sebagai jasad penyerbukan serta memaksimasi daya gunanya. Dari mulai sekarang harus sudah dipersiapkan rencana dan pelaksanaan penanganannya.
Karena serangga mempunyai peran dalam menyediakan dirinya untuk dijadikan sumber penghasil bahan, baik pangan dan pakan maupun bahan lainnya, pengetahuan tentang kehidupan serangga harus dipahami betul, yang akan memerlukan entomologi. Pengetahuan mengenai peri kehidupan yang mengarah kepada usaha pemeliharaan dan pembudidayaan akan sangat diperlukan. Dalam masa mendatang, jalur entomologi yang sifatnya setaraf peternakan akan diharapkan sekali keikutsertaannya. Entomologi dalam komponen ini harus dikembangkan secara mendalam dan meluas, termasuk terhadap kelompok yang kini masih pada taraf non-konvensional. Entomologi dasar akan amat sangat diperlukan. Ribuan, ratusan ribu jenis serangga menanti untuk dijamah.
Sektor Kesehatan
Entomologi dalam sektor ini akan banyak berkaitan dengan penularan penyakit dan penyebab penyakit secara langsung. Bila inang atau obyek yang terkena penyakit adalah hewan atau ternak, entomologi yang akan terlibat berkaitan dengan entomologi sektor pertanian. Nyatalah bahwa entomologi di sektor kesehatan tidak dapat dipisahlan dari sekor pertanian. Hubungan ini akan terlihat lebih nyata apabila terjadi kaitan inang antara manusia dan hewan ternak untuk serangga tertentu penular penyakit. Hubungan terjalin juga apabila lingkungan pertanian merupakan mata rantai yang melengkapi siklus serangga vektor. Pada masa mendatang, dengan kepadatan penduduk Indonesia, khususnya di Jawa, Bali, dan Madura, dan pendudukan lebih banyak ragam lingkungan untuk pemukiman, kemungkinan penambahan sumber penyakit akan meningkatkan keanekaragaman serangga yang dapat menjadi jembatan antara sumber penyakit dan manusia. Kemungkinan ini harus diperhitungkan dan pengembangan entomologi kesehatan sudah diantisipasi ke arah ini.
Pola hubungan langsung antara serangga dan manusia sudah lama dikenal. Hubungan ini terjalin tidak saja di daerah permukiman manusia, tetapi juga di kawasan lain. Mekanisme hubungan ini perlu dianalisis sehingga kemungkinan terlibatnya kelompok serangga dapat diperhitungkan, sehingga dapat diramal-kan kejadian yang diperkirakan timbul dalam pengembangan permukiman baru, dalam kegiatan kehutanan, dan dalam pembukaan lahan baru untuk pertanian atau permukiman. Analisis ini perlu dilakukan terhadap intensitas dan lingkup hubungan yang disebabkan oleh serangga yang harus diidentifikasi dengan entomologi. Berapa banyak spesies serangga yang terlibat dan pola keterlibatannya, serta intensitas hubungan masing-masing serangga perlu penggarapan yang tepat. Program entomolgi yang terarah akan memainkan peran yang sangat menentukan.
Entomologi Permukiman
Dari mulai adanya manusia, serangga telah menunjukkan perannya di permukiman manusia. Serangga di rumah kita dan di keliling kita sangat beraneka ragam. Perannya bermacam-macam, ada yang merugikan dan menimbulkan banyak masalah, serta yang menimbulkan penyakit dan penderitaan, tetapi tidak sedikit pula yang menguntungkan, misalnya layanan yang dirasakan dalam bidang pertanian, penyembuhan, penyediaan pangan, serta keuntungan lain.
Permukiman berkembang seiring perkembangan jumlah manusia serta kebudayaan dan teknologinya. Di daerah perkotaan serangga menunjukkan pola-pola ekologi yang sesuai kaidah yang dianut masyarakat perkotaan, sedangkan di daerah pedesaan, habitat dengan segala perangkatnya merupakan aspek yang harus diperhitungkan dan dipertimbangkan. Oleh karena itu, pengembangan entomologi di sektor ini harus diarahkan untuk dapat mengantisipasi pola di setiap daerah permukiman manusia.
Peran Entomolog yang Diharapkan
Masing-masing sektor kehidupan tersebut di depan terdiri atas berbagai komponen, yang masing-masing memerlukan program untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Program ini harus disusun secara terpadu dan berurutan dengan ujung yang menghasilkan keluaran dengan nilai ekonomi. Penyusunan program ini harus didasarkan masalah, ruang lingkup masalah, serta saran dan tindak lanjutnya untuk membuat program dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Komponen kesuburan tanah mengandung masalah mendasar dan elementer yang berkaitan dengan entomologi, yang berupa pengenalan terhadap serangga di lingkungan tanah. Inventarisasi kualitatif serangga tanah termasuk daur hidupnya merupakan tahap pertama dalam mengumpulkan informasi dasar (Suhardjono et al,. 2001). Program ini harus dilanjutkan dengan program analisis kuantitatif untuk menentukan peran utama serangga tanah dan program yang mendasari pengembangan serangga tanah untuk menjadi indikator yang berperan dalam mekanisme penentuan potensi tanah, serta penunjang (promotor) dalam peningkatan potensi tanah.
Perlindungan terhadap hasil pertanian juga memerlukan serangkaian program bersinambung. Di Indonesia, pengungkapan aspek perlindungan ini belum seluas ruang lingkup permasalahannya. Lagipula, dalam pengelolaan serangga hama belum ada pengembangan program sistematis dan konseptual. Dalam komponen perlindungan, sasaran yang akan dicapai perlu diarahkan kepada tiga jurusan utama :
1.     Penekanan populasi penyerang dengan pengimbangan faktor-faktor ekosistem;
2.     Penggunaan faktor-faktor pembantu (parasit, parasitoid, dan pemangsa) dalam mengurangi populasi serangga penyerang;
3.     Penyediaan faktor-faktor pembantu pada taraf budi daya.
Dalam pengembangan fungsi serangga sebagai penyerbuk, langkah program entomologi masih harus dimulai dengan pengenalan secara kualitatif terhadap jasad yang bersangkutan. Dalam program lanjutannya, entomologi harus difungsikan untuk menganalisis secara kuantitatif hubungan antara penyerbuk dan unsur flora yang bekepentingan, efisiensi hubungan, serta kemungkinan peningkatan penggarapannya menjadi komoditi budidaya. Tidak berbeda penanganannya adalah pengembangan program entomologi untuk kelompok penghasil pangan, pakan, obat-obatan, dan bahan industri. Ketiadaan modal pengetahuan terhadap kelompok penghasil ini akan menghambat sekali kemajuan dan perkembangan program lebih lanjut. Untuk aspek-aspek tersebut, pengembangnnya akan sangat tergantung pada entomologi dasar.
Rangkaian program entomologi seperti yang diungkapkan di atas memerlukan peran serta secara penuh entomologiwan. Peran serta ini harus diawali dengan pengenalan terhadap serangga. Disiplin mendasar yang harus dilibatkan secara aktif adalah taksonomi, dalam pengetian yang sebenarnya, yang mencakup bukan saja mengetahui nama serangga, tetapi juga ciri dan sifat serangga yang bersangkutan, dan kekerabatannya. Penelitian yang dilakukan dalam bidang ini harus mampu menghasilkan informasi mengenai saling hubungan dan saling ketergantungan di antara spesies atau unit. Upaya berikutnya memerlukan cakupan terhadap ekologi kuantitatif serta ekofisiologi serangga. Pada waktu ini, perkembangan ke arah aspek-aspek tersebut masih jauh dari kenyataan, selama entomologi masih dipandang sebagai tidak lebih daripada upaya mengatasi serangga hama dari perusakan hasil pertanian. Entomologi yang mengantisipasi di Indonesia masih merupakan harapan yang samar-samar, karena entomolog di Indonesia belum dibangun pada landasan yang terdiri atas cabang-cabang penting, seperti morfologi, anatomi, fisiologi, ekologi, genetika, dan cabang-cabang dasar lain, dan yang dikaitkan dengan disiplin lain yang terkait.
 -----------------
Footnote :
1 Taksonomi alfa ialah taksonomi deskriptif, yaitu yang hanya menitikpusatkan perhatiannya pada pertelaan dan penentuan spesies, secara khas dan khusus berdasarkan ciri morfologi. Bandingkan dengan taksonomi beta dan taksonomi gamma;
Taksonomi beta ialah penataan spesies ke dalam sistem hierarki dalam kategori atau taksa yang lebih tinggi; disebut juga makrotaksonomi, yaitu cabang taksonomi yang berkaitan dengan klasifikasi takson di atas spesies; mikrotaksonomi ialah cabang taksonomi yang berkaitan dengan klasifikasi spesies, varietas dan populasi – lihat juga taksonomi gamma;
Taksonomi gamma ialah taksonomi yang berkaitan dengan populasi intraspesies dan dengan kecenderungan filogenetik.
 
2 Karena blokade Inggris pada tahun 1780, kapal dagang VOC tidak dapat mencapai Belanda. Kerugian perusahaan makin menumpuk. Pada tahun 1798, hutang perusahaan menjadi 140 juta gulden, yang kemudian ditutup oleh negara. Mulai waktu itulah VOC gulung tikar, dan perusahaan menjadi kerajaan kolonial. 
3 Setaraf ahli peneliti di bidang entomologi





DAFTAR PUSTAKA
Adisoemarto, S. 1993a. Upaya peningkatan pemanfaatan lebah madu di Indonesia: telaah terhadap status dan masalahnya. Berita Entomologi 3 (1): 53-64.
Adisoemarto, S. 1993b. Serangga penyerbuk. Seminar Sehari mengenai Serangga Penyerbuk. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Purwokerto, September 1993.
Adisoemarto, S. 1999. Di tangan Kusnoto lilin itu menyala. In S. Sastrapradja (Ed. 1999): Bunga-bunga pun bermekaran: 3-10
Adisoemarto, S., S. Sosromarsono & M. Suhardjan. 1997. Asas pengelolaan serangga secara berkerlanjutan. Antisipasi pengembangan entomologi sampai 2010. Makalah Utama disampaikan dalam Simposium Entomologi. Bandung, Juni 1997.
Dammerman, K.W. 1948. The fauna of Krakatau. 1883-1933. Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen. Afd. Natuurkunde. Tweede Sectie, Deel XLIV. NV. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij.
Diaz, R.M. 2005. American Indians signs and symbols.
collectorsguide.com/fa/ fa095.shtml.
Lieftinck, M.A. & A.C.V. van Bemmel. 1945. The development of the Zoological Museum at Bogor. In P. Honig & F. Verdoorn. Science and scientists in the Netherlands Indies . Board for the Netherlands Indies, Surinam and Curacao, New York/Natuurweten-schappelijkTijdschrift voor Nederlandsch Indie  t r r t r , Vol. 102, Special Supplement: 226-231.
Sadjad, S., S. Adisoemarto & M.A. Rifai (Eds.). 1978. The brown planthopper (Nilaparvata lugens StŒl). Proc. Symp. Brown Planthopper. Third Inter-Congress of Pacific Science Associaion. Special Publication. LIPI. Jakarta, August 1978.
Sastrodihardjo, S., R.C.H. Soesilohadi, Purwaningsih & R.E. Putra. 2001. Ruang lingkup dan perkembangan biologi penyerbukan, ulasan tentang serangga penyerbuk. Simposium keanekaragman hayati artopoda pada sistem produksi pertanian. Cipayung, 16-18 Oktober 2000: 25-32.
Scott, D.C. 2004. Khephri. Return to the God. Website by David C. Scott of Intercity Oz., Inc.
Sheedy, K. 2005. The Coinage of Ephesus. Australian Centre for Ancient Numismatic Studies. MacQuarie University. 2005.
Snapper, I. 1945. Medical contributions from the Netherlands Indies. Science and Scientists in the Netherlands Indies. NatuurwetenschappelijkTijdschrift voor Nederlandsch Indi‘. Vol. 102-Special Supplement: 309-320.
Soetardi, R.G. 1950. De betekenis van insecten bij de bestuiving van Theobroma cacao L. Arch. Koffiecult. 17: 1-31.
Soetardi, R.G. 1958. Penjelidikan mengenai penggerek polong Crotalaria juncea di Djakarta. Contr. Gen. Agric. Res. Sta. Bogor 152, 101 pp.
Suhardjono, Y.R., Adianto & S. Adisoemarto. 2001. Simposium keanekaragman hayati artopoda pada sisem poduksi pertanian. Cipayung, 16-18 Oktober 2000: 9-24.
Wallace, A.R. 1890. The Malay Archipellago. Periplus (HK) Ltd