martes, 30 de junio de 2009

Pertemuan Evaluasi Buletin KEJORA

Matoa kedatangan tamu dari El Paso Texas

Selasa pagi ini, Matoa kedatangan tamu dari El paso texas, yang ingin dan sedang memahami bagaimana komunikasi lingkungan dilakukan dan dilaksanakan oleh Matoa. Mulai bagaimana kami membuat produk komunikasi, memilih gambar, pelibatan dengan pemerintah dan distribusi dari produk yang matoa lakukan.

Ada pertanyaan yang menarik dan belum terpikirkan oleh Matoa yaitu bagaimana mendeliver materi komunikasi lingkungan untuk anak-anal yang buta. Ide yang bagus untuk matoa coba buat.

Untuk ibu Stacey yang memperkenalkan Matoa kami ucapkan terima kasih, kami tunggu kunjungan selanjutnya.

sábado, 27 de junio de 2009

Paket Benih Tanaman Obat untuk "THE BODY SHOP" dari Matoa

Program Protect Our Planet dari The Body Shop,  akan membagikan benih tanaman obat kepada pelanggannya. Dan Matoa dipercaya menyediakan paket benih tanaman tersebut.

Untuk mendukung program ini, Matoa juga membantu konsumen The Body Shop yang mengalami kesulitan di dalam menanam atau memelihara tanaman obat ini melalui komunikasi email dan website.

Informasi terkait :

Saga
Ketepeng
Galinggem
Sambiloto

martes, 23 de junio de 2009

Dari Rumah Menahan Pemanasan Global

KOMPAS. Denmark adalah negeri dengan penduduk paling bahagia di dunia. Awal Juni empat wartawan Indonesia diundang untuk melihat dari dekat bagaimana Pemerintah Denmark memberikan pelayanan prima kepada warganya, termasuk isu lingkungan.

Di Denmark juga ada pernyataan: Bersatu Kita Tegak Mengalahkan Tantangan Iklim (United We Stand in Tackling the Climate Challenge). Mirip slogan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono? Memang. Namun, dalam praktiknya sungguh berbeda. Di Denmark, kebijakan menahan laju pemanasan global dilakukan hingga tingkat grass root, tingkat rumahan.

Lebih dari separuh emisi karbon Denmark berasal dari konsumsi pribadi untuk pemanas, listrik, transportasi, dan barang- barang konsumsi. Warga Denmark pada umumnya sadar dan tahu akan pemanasan global, perubahan iklim, dan perlunya penghematan energi. Namun tidak semua menerapkannya dalam hidup kesehariannya. Kampanye lalu dilakukan oleh Kementerian Lingkungan dan Kementerian Transportasi dan Energi secara nasional. Akhirnya sekitar dua tahun lalu muncul ide yang sungguh pintar dan luar biasa dengan membentuk Kementerian Iklim dan Energi—dua kubu yang biasanya bertegangan tinggi soal lingkungan dan emisi karbon!

Kampanye yang dilakukan berisi hal keseharian yang menyentuh langsung kegiatan kehidupan sehari-hari, yang dengan itu warga juga dapat langsung menghitungnya dalam bentuk berapa pengeluaran dan berapa besar investasi jangka panjang yang menyertainya jika mereka mengurangi emisi karbon. Mengurangi emisi karbon lantas menjadi topik keseharian di ”warung kopi”.

Contoh yang amat nyata adalah ketika Pemerintah Denmark mengeluarkan peraturan tentang aturan membuat rumah, semacam syarat-syarat izin mendirikan bangunan (IMB) di Jakarta. Agar semua bergerak ke arah yang dikehendaki—hanya jika pemerintah benar-benar menghendaki(!)—maka harus keluar peraturan yang ditegakkan, bukan hanya dituliskan yang proses pembuatannya pun mahal. Maka, keluarlah peraturan tentang Kode Etik Bangunan.

”Rakyat tidak akan bisa melihat apa keuntungan dari efisiensi energi. Pemerintah yang bisa. Harus mulai dari pemerintah, jadi masyarakat lalu tahu, dan kemudian semua baru bisa berjalan. Tidak bisa diserahkan ke publik begitu saja,” ujar Konselor Menteri pada Kementerian Luar Negeri Denmark Claus Hermansen dalam perjumpaan dengan sejumlah wartawan Indonesia awal Juni lalu.

Prinsip pertama yang diterapkan yaitu prinsip hukuman dan ganjaran (stick and carrot) menyangkut penggunaan energi. Mereka yang boros energi dikenai biaya tinggi dan sebaliknya mereka yang menggunakan energi dengan amat efisien mendapatkan insentif.

”Kami menerapkan pajak energi yang amat tinggi. Kalau energi tidak ada harganya, orang tak akan menghargainya. Mereka akan membuangnya begitu saja dari jendela,” ujar Hermansen mengibaratkan. Dengan cara itu, orang mulai selalu ingat untuk mematikan lampu, memasang AC di suhu sedang sekitar 25° celsius, dan dengan itu mereka bisa menghemat pengeluaran secara signifikan,” ujarnya. Sebagai contoh, harga listrik di Denmark untuk 1 kilowatt jam (kWh) yaitu 250 krone atau sekitar Rp 450.000.

Dengan Kode Etik Bangunan yang baru, pemerintah menargetkan pengurangan penggunaan energi—dikonversi ke minyak bumi—hingga 25 persen-30 persen ketimbang tahun 2006. Bangunan yang ada rata-rata butuh 14 liter minyak per meter persegi (lt/m2). Tahun 2006 penggunaan energi untuk rumah setara 5,5 lt/m2 Target tahun 2010 adalah 3 lt/m2. ”Setelah tahun 2010 peraturan akan kami perketat,” tutur Hermansen. Peraturan itu bersifat wajib. Berangsur semua bangunan harus memiliki sertifikat ”rumah hijau” atau bangunan ”hijau”. Sertifikat diterbitkan oleh Danish Energy Authority.

Bangunan yang bersertifikat dengan berbagai tingkatan harganya memang lebih tinggi daripada bangunan tua yang tidak mengikuti kaidah-kaidah efisiensi energi. Namun, biaya operasionalnya lebih rendah. Tujuan akhirnya, tegas Hermansen adalah, ”Rumah pasif (passive house) yaitu rumah yang tidak menggunakan bahan bakar fosil, rumah tanpa emisi gas rumah kaca (GRK). Suatu saat di masa depan nanti. Kami belum tetapkan kapan.”

Rumah hijau Charlotte

Menyusul kode etik tersebut, pemerintah menunjuk perumahan di daerah Stenløse, kira-kira 30 menit dari Kopenhagen, ibu kota Denmark, untuk menerapkan kaidah-kaidah rumah hijau. Di antaranya yaitu rumah kediaman keluarga Peter Hans Jensen-Charlotte Hjelm. Keluarga muda ini membangun rumah pertamanya sesuai dengan arahan pemerintah. Pasangan ini didampingi penasihat teknis dari pemerintah setempat. Mereka, Mona Dates dan Jens Lemche, mendampingi kami saat mengunjungi rumah Charlotte.

Keluarga dengan dua anak ini memasang insulasi yang menjadi bagian penting dari sebuah rumah dengan efisiensi energi. Insulasi berfungsi menyerap udara panas dan udara dingin dari luar sehingga suhu di dalam rumah tidak terlalu panas atau dingin. ”Kami tidak membutuhkan banyak gas untuk memanaskan rumah,” tutur Charlotte. Gas pemanas rumah pada bangunan baru telah ditanam sebagai instalasi di bawah rumah sehingga tak ada lagi batang-batang besi di dalam rumah.

Selain itu, penempatan jendela dengan kaca besar-besar juga menyebabkan penggunaan listrik bisa ditekan karena rumah selalu terang. Insulasi dari jendela dibuat maksimal dengan import kaca jendela dengan daya insulasi tinggi dari Swiss.

Penghematan air tanah dilakukan dengan menampung air hujan dengan penampung di bagian bawah halaman rumah. ”Air itu kami gunakan untuk mencuci baju, menggelontor WC, dan mencuci piring. Karena tak ada chlor-nya, hanya perlu detergen sedikit, mencuci juga lebih cepat sehingga listrik yang digunakan lebih sedikit,” jelas ibu dari Andrea dan Jonas ini.

Dengan membangun rumah sesuai standar pemerintah seperti itu, Charlotte dan Mona mengakui biaya pembangunannya lebih tinggi sekitar 5 persen daripada membangun rumah biasa. Dia menghabiskan dana sekitar 3,15 juta krone (sekitar Rp 6,3 miliar) untuk rumah di atas lahan sekitar 400 m2 itu. Untuk biaya pemanas dia hanya membayar 6.000 krone per tahun (sekitar Rp 12 juta), lebih murah 25 persen dari bangunan biasa. Demikian juga untuk penggunaan listrik.

”Kalau kita mau bumi kita tetap lestari ini harus kita jalani. Ini semua untuk kepentingan kehidupan di masa depan, kita harus mempertahankan bumi,” tegas Charlotte, potret wajah Denmark itu, tanpa ragu.

Link:  cetak. kompas.com

Perubahan Iklim Ancam Kesehatan Masyarakat

TEMPO Interaktif :  Delegasi Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Vietnam sepakat agar dampak perubahan iklim terhadap sektor kesehatan menjadi agenda prioritas World Health Organization (WHO).
Mereka juga mendorong negara-negara anggota mengimplementasikan resolusi World Health Assembly tentang perubahan iklim dan kesehatan. Pernyataan itu merupakan pengantar rekomendasi Lokakarya Regional tentang Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan yang kemarin berakhir di Jakarta.
Acara yang dimulai Selasa lalu itu diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan, WHO, dan Kedutaan Besar Prancis untuk Indonesia.
"Masing-masing negara juga harus meningkatkan kapasitasnya menghadapi perubahan iklim," kata Direktur Kesehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan, Wan Alkadri, yang menutup lokakarya. Ada lima langkah prioritas yang tertuang dalam rekomendasi lokakarya. Pertama, meningkatkan kesadaran komunitas kesehatan terhadap dampak perubahan iklim.
Kedua, mengembangkan kapasitas di sektor kesehatan untuk menjawab tantangan yang terjadi. Ketiga, mengembangkan dan menerapkan strategi guna meningkatkan arti penting dampak kesehatan manusia dalam rencana aksi nasional terhadap perubahan iklim. Keempat, melaksanakan penelitian terapan; dan kelima, memperkuat mitra dengan dunia usaha dan lembaga-lembaga non-pemerintah di dalam dan luar negeri. Para peserta menyoroti demam berdarah yang akhir-akhir ini terus berkembang di kawasan Asia Tenggara. Juga penyakit-penyakit vektor lainnya, seperti malaria, sistosomiasis, dan filaria atau kaki gajah.
"Padahal, pemerintah masing-masing negara terus berusaha mencegah dan mengatasi penyakit ini," kata Wan Alkadri. Makin hebatnya ancaman penyakit ini tidak lepas dari kondisi lingkungan yang berubah. Para ahli mensinyalir peningkatan jumlah penyakit menular yang bersifat transnasional belakangan ini dipengaruhi oleh perubahan iklim. Karena itu, ujar Wan, perlu tindakan bersama pada tingkat regional.
Departemen Kesehatan sendiri terus memperbaiki peta kesehatan dengan mengaitkannya pada penyakit yang berkaitan dengan dampak perubahan iklim. Menurut Wan, semua departemen dan instansi lain harus duduk bersama karena isunya sudah lintas sektor. Dia mencontohkan penyakit malaria yang melibatkan Departemen Kesehatan dan Departemen Kehutanan serta Departemen Kelautan dan Perikanan. "Karena habitat nyamuk di hutan mangrove," ujarnya. 
Sumber: tempointeraktif.com

martes, 16 de junio de 2009

Komunitas Wiken Tanpa Ke Mall

Ragunan, di hari libur penuh dengan pengunjung yang hendak piknik. Apalagi menjelang akhir tahun ajaran sekolah. Di setiap ruang terbuka Ragunan, nampak anak-anak kecil berseragam taman kanak-kanak memadati lapangan rumput. Ya, Ragunan juga dijadikan ruang perpisahan atau pembagian buku rapot anak-anak TK di Jabodetabek.

Tak hanya anak-anak TK yang meramaikan Ragunan pada Sabtu, 13 Juni 2009 kemarin. Ada komunitas pencinta liburan alternatif, yang menamakan dirinya komunitas Wiken Tanpa Ke Mall yang bermain di Ragunan. Nama yang unik dan menggelitik rasa ingin tahu.

Komunitas ini diprakarsai oleh Iwan Esjepe dan Indah Esjepe, pasangan suami istri yang sama-sama menyukai kegiatan alam bebas dan peduli dengan Indonesia. Dibawah rimbunnya pohon, sambil duduk di atas tikar bekas banner, Indah Esjepe berbagi cerita tentang WTM ini.

“Awalnya sering ngumpul bareng. Seperti waktu 17 Agustus, kami buat Kemah Merah Putih. Terus, waktu Nopember ada Kemah Pelangi. Kegiatan ini dibuat tanpa membedakan SARA. Siapa pun boleh ikut. Orang kota kadang mengalami kejenuhan, liburan harus ke mall terus, mahal juga beli makannya. “

Kaos kuning, bertuliskan “Jangan Ragu Ragunan”  dikenakan seluruh peserta WTM sangat pas dengan cuaca  hari itu. Matahari menebarkan sinarnya di Ragunan.   "Jangan Ragu Ragunan"  adalah  kegiatan perdana  WTM.

Aditiyayoga, seorang graphic desain,  hari itu didaulat menjadi ketua pelaksana kegiatan. Ia  menjelaskan alasan kenapa Ragunan yang dipilih.

“Ya, dulu orang beranggapan Ragunan itu buruk banget. Ternyata sekarang fasilitasnya sangat mendukung. Ragunan sudah beradab lah…Sudah ada halte-halte, jadi kalo ke ujanan bisa berteduh. Ruang terbukanya juga sudah banyak. Ya, Ragunan memberikan kemudahan, sangat diluar perkiraan selama ini,” jelas Aditiya.

Lantas kemana saja rute WTM I di Ragunan ini?
Peserta datang sendiri-sendiri menuju Ragunan dan berkumpul di pintu utama, dekat halte Trans Jakarta. Kira-kira jam 07.30 mereka berangkat menuju pos pertama. Yaitu kandang ular.
“Di sini, ada SIOUX, komunitas pencinta ular yang membantu menjelaskan perihal ular. Selama ini ular dianggap menakutkan, padahal ular juga menjadi penyeimbang alam, terutama untuk hama tikus,” jelas pria berambut gondrong ini.

Dari kandang ular, peserta WTM, melanjutkan perjalanannya ke kandang burung. Ada permainan ular tangga ukuran 4 x 4 meter yang dimainkan peserta di sana. Plus beberapa quiz yang jawabannya bisa ditemukan di kandang burung. Selepas dari kandang burung, peserta yang dibagi menjadi 10 kelompok ini, diajak melihat orangutan di rumah Ulrike von Mengden. Dari rumah orangutan,  peserta WTM membuat mainan tradisional dari daun kelapa, yaitu keris. Dan bermain galah asin, untuk semua tim. Seru!

Lalu apalagi yang dilakukan pesertanya? Di pos terakhir, tepatnya di lapangan sebelah Pusat Primata Schmutzer, masing-masing kelompok melukis tong sampah. Tong-tong sampah dari drum sudah disipakan panitia, berjejer di lapangan rumput. Juga kaleng-kaleng cat berwarna biru, merah dan kuning serta kuas.

Setiap kelompok dengan asyiknya, melukis tong sampah bekas drum yang sudah diberi cat dasar berwarna putih. Ada jugaa yang mengganti cat dasarnya dengan warna kuning, baru membuat sketsa gambar binatang. Kelompok lain ada yang langsung menyapukan kuasnya ke atas tong sampah. Sekelompok anak-anak kecil yang ditemani oleh pendampingnya, Rangga , terlihat tak sabar dan ribut ingin segera menyapukan kuasnya ke atas tong sampah.

Kaleng-kaleng cat pun segera dibuka dan dicampur dengan warna-warna yang tersedia. Tetesan cat tumpah ke atas rumput. Sayang, tidak disediakan alas untuk kaleng-kaleng cat itu, sehingga mengotori rumput di Ragunan.

Jalan-jalan ala Wiken Tanpa Ke Mall, relatif murah biayanya. Keliling di Ragunan, kemarin, biayanya Rp. 75.000,-/orang. Dewasa dan anak-anak sama harganya. Mereka dapat kaos, snack pagi dan makan siang. Banyak hal yang bermanfaat bisa dibawa pulang peserta. Ya, sesuai dengan tujuan Wiken Tanpa Ke Mall, bahwa liburan tidak harus ke mall, tapi harus ada nilai pendidikannya. Seperti permainan tradisional dan melukis tong sampah tadi. Hasilnya mereka sumbangkan ke Ragunan.

Lantas kemana acara Wiken Tanpa Ke Mall berikutnya? Kata Aditia masih rahasia, mungkin saja ke musium. Kalau tidak mau ketinggalan acara Wiken Tanpa Ke Mall, coba klik : wikentanpakemall.multiply.com. Kemana liburan weekend Anda kali ini? Ingat! Tidak harus ke mall!!!

lunes, 15 de junio de 2009

Bu Titi dan Perpustakaan Pelita Desa

Pertama kali mengunjungi perpustakaan Pelita Desa di Sindangbarang Loji, Bogor, ada Siti di meja resepsionis sedang mencatat. Tak lama kemudian, muncul anak-anak kecil memasuki ruangan perpustakaan. Setelah dipersilahkan duduk oleh Siti, akhirnya bertemu dengan Lukman dan Agus. Kedua lelaki ini, setiap hari Sabtu, dengan sukarela membantu perpustakaan Pelita Desa.

Ternyata, Lukman adalah teman saya saat SMP, sekarang kerja di LIPI. Setelah basa-basi ngobrol dengan Lukman dan Agus, saya diajak ke lantai dua perpustkaan. Ada beberapa meja dan kursi belajar. Juga papan tulis. Sementara anak-anak perempuan yang tadi datang sedang asyik menggambar dan membaca buku. Di lantai dua, ada sebuah ruangan yang terkunci.
“ ini ruang kerja Bu Titi, biasanya kalau datang, Bu Titi kerja di sini,” jelas Lukman.

Puas melihat-lihat di lantai dua, kami turun ke ruang perpustakaan. Di lantai satu ini, berdiri rak-rak buku. Mata pun mengintip setiap rak, secara sepintas. Ada buku cerita anak-anak, novel remaja, dan buku-buku hasil penelitian Prof. Dr. Setijati Sastrapradja alias Bu Titi panggilan akrabnya.

Ya! Bu Titi dan perpustakaan Pelita Desa sangat erat hubungannya. Keduanya tak  bisa dipisahkan. Setelah beberapa kali bertemu dengannya, saya putuskan untuk berkunjung ke Pelita Desa. Perpustakaan umum yang dibuka sejak tahun 2003, saat Didin S. Sastrapradja, suaminya ulang tahun ke -70, setiap Sabtu ramai dikunjungi anak-anak sekitar Desa Loji, Bogor.  Buku-buku yang ada di Pelita Desa ada yang dibeli oleh Bu Titi, juga sumbangan dari orang lain.

“ Perpustakaan adalah jendela dunia. Waktu kecil, mainan gak ada. Adanya perpustakaan, itu pun sangat minim. Sewanya…ya… 10 centlah. Sering tukeran sama teman. Jadi bayarnya cuma satu. Tapi bisa baca buku gantian,” Bu Titi bercerita tentang kegemarannya membaca buku saat kecil dulu.

Sejak masih bekerja di LIPI, Bu Titi selalu menyisihkan uang untuk perpustakaan Pelita Desa. Sekarang, perpustakaan yang Ia dirikan ini sudah menjadi milik desa. Sayangnya, untuk perawatan buku dan kesejahteraan karyawannya belum bisa sepenuhnya dibantu desa. Bantuan yang diberikan untuk Pelita Desa baru sebatas buku-buku pelajaran saja.

Menariknya lagi, anak-anak yang sering datang ke Pelita Desa dan berprestasi di akhir tahun pelajaran akan mendapatkan hadiah dari Bu Titi, berupa celengan dan uang. Tapi, sebelumnya si anak juga harus mengisi celengan yang disediakan oleh Bu Titi. Apabila celengannya penuh, dan anak itu berprestasi, Bu Titi akan memberikan hadiah uang yang sama jumlahnya dengan yang ada di celengan.

Sayangnya, aturan main dari Bu Titi seringkali dirusak oleh kebutuhan rumah tangga orangtua anak-anak itu.

“ pernah suatu kali Irma….ada ibu dari anak itu, datang ke Ibu. Dia mau minta uang dari celengan anaknya untuk beli magic jar. Ya sudah, kalau satu orang sudah begitu….yang lain ngikut,” cerita Bu Titi.

Saat ini Bu Titi sudah pensiun dari LIPI. Tapi kecintaan dan kepeduliannya terhadap anak-anak dan dunia membaca patut diacungi jempol. Disela-sela kesibukannya mengajar mahasiswa S2 dan merawat Pak Didin, Bu Titi masih terus menulis cerita untuk bulletin KEJORA yang saat ini diterbitkan oleh MATOA. Cerita dalam KEJORA sangat menarik dan mengajak anak-anak untuk cinta pada tanah air serta kekayaan alam Indonesia.

Kalau Anda ingin memberikan  bacaan yang menarik bagi anak-anak Anda di rumah, taman bacaan, panti asuhan, jangan ragu untuk berlanggaanan KEJORA. Silahkan kirim email ke kejora@matoa.org. Dengan berlangganan KEJORA, Anda ikut mencerdaskan anak-anak Indonesia.

jueves, 11 de junio de 2009

Unbreak My Earth di Trisakti

Unbreak My Earth, tulisan itu terpampang di dinding gelanggang mahasiswa Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta. Bukan sekedar slogan, itulah tema Hari Lingkungan Hidup yang diadakan oleh Jurusan Tehnik Lingkungan Universitas Trisakti. Tahun ini sudah kedelapan kalinya mereka menggelar acara serupa di Kampus A, Universitas Trisakti.

Gelanggang mahasiswa yang didominasi warna krem, cukup meriah dengan hiasan yang bertemakan lingkungan. Mulai dari pintu masuk gelanggang, lantainya penuh dengan lembaran-lembaran kertas bertuliskan ajakan untuk peduli lingkungan. Saat melewati meja penerima tamu, nampak foto-foto hasil lomba digantung dengan penjepit kertas dan memaksa pengunjung untuk meliriknya.

Kenapa temanya Unbreak My Earth?

“Tahun ini kan lagi booming tentang pemanasan global, jadi dikaitkan aja, biar catchy,” jelas Nikela Delfi, Ketua Pelaksana Kegiatan Unbreak My Earth 2009.

Selain pameran pada tanggal 5 Juni 2009 lalu, beberapa hari sebelumnya ada lomba modern dance, lomba majalah dinding bagi SMA dan lomografi yaitu memotret dengan kamera lomo. Dan penanaman pohon di Situ Gintung. Penanaman pohon dilakukan sebagai wujud kepedulian terhadap bencana yang menimpa Situ Gintung.

Sementara dipojokkan gelanggang ada tong sampah besar untuk membuah sampah yang berbeda jenis, sehingga memudahkan untuk di daur ulang. Mulai dari sampah plastik, sampah kertas dan sampah makanan. Setiap yang membuang sampah ke dalam tong tersebut, panitia memberikan sebuah pulpen.

Bersamaan dengan pameran di gelanggang mahasiswa, di pelataran parkir ada uji emisi gratis untuk kendaraan umum dan mahasiswa Trisakti. Uji emisi ini kerjasama dengan Nawilis. Sedangakan, pada malam harinya, ada pementasan band dari mahasiswa Tehnik Lingkungan.

MATOA mengisi salah satu stand pameran di Kampus A, Universitas Trisakti.  Selain itu,  ada National Geographic, Dana Mitra Lingkungan dan Kopiko. Stand MATOA sempat heboh saat istirahat makan siang. Banyak mahasiswi Trisakti memborong souvenir ramah lingkungan di stand MATOA. Anda tertarik dengan souvenir MATOA, seperti Pin, tas belanja dan kaos? Jangan ragu kirim email ke info@matoa.org untuk memesannya.

lunes, 8 de junio de 2009

Aksi dan Penghargaan di Hari Lingkungan Hidup

Hari Lingkungan Hidup yang diperingati setiap tanggal 5 Juni di seluruh dunia sudah berlalu. Tapi kepedulian serta kegiatan menjaga lingkungan harus tetap dilakukan. Beberapa komunitas di Jakarta dan Bogor telah melakukan kegiatan serentak dalam merayakan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2009. Salah satunya  aksi "Satu Ciliwung Alirkan Sejuta Aksi”.

Saat ini, semua aksi lingkungan hidup selalu dikaitkan dengan perubahan iklim. Mulai dari lingkungan rumah tangga sampai lingkungan yang global dan massal. Sejelan dengan itu, tema Hari Lingkungan Hidup 2009  pun  mengajak kita “Bersama Selamatkan Bumi dari Perubahan Iklim”

Aksi “Satu Ciliwung Alirkan Sejuta Aksi”  pun berbau perubahan iklim. Mulai dari lomba lukis, Kompetisi stand perubahan iklim, adopsi bibit pohon, susur sungai Ciliwung, mulung sampah di sungai Ciliwung dan membersihkan sampah di Kali Angke juga digelar. Dari kegiatan kecil tadi, nantinya lahir pejuang lingkungan hidup yang pantas mendapat Kalpataru.

Untuk menjadi pejuang lingkungan hidup, butuh waktu lebih dari 10 tahun dalam menyelamatkan dan mengelola lingkungan supaya lebih baik.  Seperti Timotius Hindom dari Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Selama 20 tahun, Ia secara konsisten membangun 50 hektar wanatani dengan tumbuhan pala. Sehingga memotivasi warga untuk menghijaukan lahan kritis seluas 800 hektar. Jadi Ia pantas mendapat Kalpataru.

Timotius pun mendapat penghargaan Kalpataru 2009, masuk dalam kategori Perintis Lingkungan. Selain Timotius Hindom dari Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, perintis lingkungan lainnya ada, Viktor Emanuel Raiyon dari Kabupaten Sikka, Provinsi NTT. Anyie Apuy dari Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur. Alexander Ketaren dari Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Dan Kasmir Gindo Sutan dari Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.

Sedangkan Kategori Pengabdi Lingkungan, diberikan kepada petugas lapangan dan atau pegawai negeri sipil yang mengabdikan diri melestarikan fungsi lingkungan yang jauh melampaui kewajiban dan tugas pokoknya serta berlangsung cukup lama. Antara lain: Kadis, SP dari Kabupaten Lombok Utara, Provinsi NTB, Ir. Djoni dari Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, dan Makaampo Ratundulage Madonsa dari Kabupaten Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara.
Kategori Penyelamat Lingkungan, diberikan kepada kelompok masyarakat yang berhasil melakukan upaya-upaya pelestraian dan pencegahan kerusakan (penyelamatan) lingkungan hidup.

Adapun penerimanya adalah: Lembaga Adat Dayak Wehea dari Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, dan Ninik Mamak Negeri Enam Tanjung dari Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

Kategori Pembina Lingkungan, diberikan kepada pengusaha atau tokoh masyarakat yang berhasil dan mempunyai prakarsa melestarikan fungsi lingkungan dan mempunyai pengaruh membangkitkan kesadaran lingkungan dan peran masyarakat atau berhasil menemukan teknologi baru yang ramah lingkungan. Adapun penerimanya adalah:
H. Imdaad Hamid, SE dari Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur dan Irwansyah Idrus dari Kota Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta.

Beberapa kota juga mendapat penghargaan Adipura, yaitu: kota metropolitan (Jakarta Pusat, Palembang, Surabaya, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Semarang). Kota besar (Pekanbaru, Malang, Balikpapan, Denpasar, Padang, Batam, Bandar Lampung, Yogyakarta), 35 kota sedang, dan 75 kota kecil.

Penghargaan juga diberikan kepada kepada sekolah-sekolah Adiwiyata Mandiri 2009 oleh Presiden. Dimana selama tiga tahun berturut-turut menunjukkan peningkatan kinerja dalam kebijakan sekolah peduli dan berbudaya lingkungan, kurikulum berbasis lingkungan, kegiatan lingkungan berbasis partsipatif, dan sarana pendukung yang ramah lingkungan.

Sekolah-sekolah yang menerima penghargaan Adiwiyata Mandiri 2009 adalah:
SDN Pakujajar CBM, Kota Sukabumi Jabar, SDN Kampung Dalem I, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur, SD Citra Alam Jakarta Selatan, SDN Ungaran I Kota Yogyakarta, SMPN I Kedamean, Gresik Jawa Timur, SMPN 2 Kota Ciamis Jabar, SMPN 4 Gresik Jawa Timur, SMAN 1 Mandirancan Kuningan Jabar, SMAN I Gondang Mojokerto Jatim, dan SMAN 4 Pandeglang Banten.

Setelah Timotius, giliran Anda  menjadi pejuang lingkungan. Selamat Hari Lingkungan Hidup Sobat.

Pestisida Organik dari Dapur

Senin, 08 Juni 2009|TEMPO Interaktif

Jakarta, Onicita asyik mengupas jahe. Lima temannya menyiangi empon-empon lainnya: lengkuas, temu giring, temu lawak, kencur, sereh, bawang merah, dan bawang putih. Rempah-rempah itu ditempatkan di atas meja bersama beberapa batang butrawali, daun imbo, air cucian beras, tetes tebu, alkohol, dan cuka.

Para siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Kebo Mas, Gresik, Jawa Timur, itu tidak sedang belajar masak-memasak. Mereka tengah menyiapkan bahan baku pestisida organik.

Inilah ramuan pestisida ramah lingkungan yang ditemukan para siswa sekolah itu pada April lalu. Sekolah itu menamai pembasmi hama ini Dua Kebo--seperti nama sekolahnya. Belum ada investor yang melirik temuan ini. "Tapi memang pestisida itu bisa dibuat sendiri oleh siapa pun karena sederhana dan gampang," ujar Onicita, siswi kelas VIII, yang sedang memimpin kawan-kawannya membuat pestisida itu.

Peralatan untuk membuat pestisida cap Dua Kebo terdiri atas blender, pisau, gunting, dan gelas ukur. Untuk membuat dua liter pestisida, diperlukan empon-empon yang sudah dikupas masing-masing 40 gram, dua ons daun imbo, 500 mililiter air leri (cucian beras) dan cairan gula, serta 100 cc alkohol dan cuka. Semua bahan itu diblender.

Setelah berubah jadi seperti jus, ramuan itu dimasukkan ke dalam jeriken. "Seluruh proses pembuatan ini paling lama 15 menit. Satu takaran resep dapat menjadi dua liter pestisida," kata Onicita saat ditemui pekan lalu.

"Jus" itu kemudian difermentasi sekitar 15 hari sehingga menjadi pestisida. Untuk mempercepat prosesnya, dua kali sehari jeriken itu dikocok selama lima menit.

Pestisida organik itu sudah diuji coba tiga kali. Hasilnya cespleng. Pada 2 Mei lalu, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, pestisida itu dijajal pada tanaman yang penuh ulat daun. "Besoknya, ulat-ulat itu mati," kata Ramelan, 52 tahun, guru mata pelajaran sejarah yang mendampingi para siswa dalam membuat pestisida itu.

Gagasan pembuatan pestisida ini juga berawal dari mewabahnya ulat daun di sekolah mereka. Ulat ini muncul karena sekolah itu hijau asri, berkat program penghijauan yang dicanangkan sekolah tersebut sekitar 20 tahun silam.

Awalnya, sekolah di dekat tambang pasir tersebut diselimuti debu setiap musim kemarau. Untuk mengurangi debu, ditanamlah berbagai jenis tanaman: mangga, mahoni, nangka, juwet, dan sono, juga tanaman hias.

Karena kondisi tanahnya gersang berpasir, sekolah itu terpaksa "mengimpor" tanah dari Mojosari, Mojokerto. Dua dekade kemudian, 10.059 batang dari 215 jenis tanaman di sekolah itu mulai rimbun. Sekolah itu pun menjadi kebun raya mini.

Tapi muncul masalah baru. Bila musim hujan tiba, ulat menyerbu. "Bahkan ulatnya ada yang sampai masuk ke dalam kelas. Sampai-sampai gurunya girap-girap (jijik)," kata Yudo Siswanto, kepala sekolah di situ.

Ramelan dan para siswa sekolah itu berupaya mencari pembasmi hama yang ramah lingkungan. Studi pustaka digeber hingga Internet. Beberapa kali gagal, tim itu toh terus mencari pestisida yang ramah lingkungan. "Sekolah kami memang menekankan kepedulian terhadap lingkungan kepada siswa," ujar Ramelan, 52 tahun, pria kelahiran Trenggalek.

Kini ada enam klub kegiatan berbasis lingkungan di sekolah dengan 21 kelas itu, dari flora-fauna, sanitasi, jurnalistik lingkungan, sampai daur ulang sampah organik dan composting. Kegiatan pembuatan pestisida berada di bawah klub composting dengan anggota 83 siswa. Kukuh S. Wibowo (Gresik)
tempointeraktif.com

jueves, 4 de junio de 2009

Galinggem Dapat Mengobati Mencret

Galinggem , biasa disebut Sumba kling. Dengan tinggi pohon sekitar 8 meter, mempunyai batang kayu bulat. Daunnya tunggal, beseling, bentuknya bulat telur. Panjangnya 10 – 23 cm, lebar 5 – 15 cm. Sedangkan bunganya mejemuk, berbentuk malai, Dengan kelopak seperti cawan, mudah rontok, Panjangnya 2 – 3 cm.

Buah Galinggem berbentuk jantung, pipih dengan panjang 2-4 cm, berbulu merah seperti rambutan. Biji Galinggem kecil berbentuk segitiga. Kulitnya berdaging. Kalau masih muda warnanya merah, setelah tua jadi coklat.

Daun Galinggem berkhasiat mengobati mencret, obat sakit kuning, peluruh keringat serta memperbaiki perncernaan dan menghentikan darah pada luka baru.

Untuk obat mencret, ambil daun Galinggem yang segar kira-kira 5 gram, lalu rebus dengan tiga gelas air selama 15 menit. Setelah rebusan dingin, lalu disaring. Hasil saringan daun Galinggem diminum sehari tiga kali dengan porsi yang sama setiap pagi, siang dan sore.

Daun Galinggem juga mempunyai kandungan kimia falovonoida, polifenol. Disamping itu, mengandung juga minyak atsiri.

Ingin menanam Galinggem?
Cara menanam Galinggem sangan mudah. Bijinya tidak perlu direndam. Masukkan biji Galinggem ke dalam polybag yang berisi tanah dan kompos. Benamkan biji Galinggem, dan tunggu sampai satu minggu. Setelah itu dapat dipindahkan ke dalam pot atau pekarangan rumah Anda.

Perawatan: Jangan biarkan tanah terlalu kering atau sering disiram. Jaga kelembapan tanah.

Galinggem juga dikenal dengan nama Kasumbo (Nias), Kesumba (Minangkabau), Kunyit jawa (Melayu), Sumba Kling (Jawa Tengah), Kasomba Kleng (Madura), Kasumba (Dayak ngaju), Sumba (Minahasa), Kasumba wo kaju (Pare), Rapoparada (Makassar), Bunga parada  (Bugis), Kasumba (Seram) dan Taluka (Ambon).