lunes, 28 de septiembre de 2009

Isu Perubahan Iklim Jarang Disampaikan di Sekolah

Perubahan iklim menjadi isu global yang terus bergulir, namun sekolah-sekolah di Indonesia justru belum serius memperkenalkan perubahan iklim dan langkah-langkah yang diperlukan guna mengatasi ancaman ini. Pendidikan perubahan iklim di sekolah-sekolah masih minim, sekalipun dalam muatan lokal pendidikan lingkungan hidup.

Kenyataan pendidikan perubahan iklim di sekolah-sekolah Indonesia yang memperihatinkan terungkap dari hasil studi British Council kepada 2.234 guru dan siswa SD-perguruan tinggi di Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Papua. Hasil penelitian dituangkan dalam laporan bertajuk Mapping Climate Education in Indonesia : Oppurtunities for Development.

Tety Suryati, Koordinator Muatan Lokal Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Jumat (25/9) di Jakarta, mengakui terbatasnya pendidikan perubahan iklim di sekolah. Siswa dan guru memiliki pemahaman yang terbatas soal perubahan iklim.

Pencegahan yang diperlukan sedini mungkin dan bagaimana tiap individu serta komunitas berkontribusi membuat perubahan iklim tidak semakin buruk, belum dipahami siswa dan guru. "Kurikulum pendidikan lingkungan hidup juga masih belum fokus dan memberi porsi untuk pendidikan perubahan iklim yang berdampak buruk untuk Indonesia jika tidak ada kesadaran bersama untuk mengubah gaya hidup yang ramah lingkungan," ujar Tety yang juga guru di SMAN 12 Jakarta itu.

Nita Irawati Murjani, Project Manager Climate Security British Council, mengatakan pendidikan punya peran penting untuk meningkatkan kesadaran soal penyebab dan dampak perubahan iklim. Sayangnya, sekolah-sekolah belum sepenuhnya menyadari perannya sehingga kesadaran dan persepsi siswa dan guru soal perubahan iklim yang jadi isu global itu masih minim.

Yang menyedihkan, masih banyak responden dari kalangan akademik yang punya persepsi soal perubahan iklim itu sebagai kehendak Tuhan. Kenyataan itu bisa berakibat kita memposisikan diri sebagai bagian yang pasif dari masalah, mengesampingkan kontribusi kita sebagai penyebab masalah, sekaligus menganggap kita tidak berdaya untuk menciptakan solusi dari masalah perubahan iklim, kata Nita.

Mochamad Putrawidjaja, peneliti dari British Council, mengatakan pendidikan perubahan iklim belum jadi perhatian semua sekolah. Hal itu bisa jadi akibat pendidikan perubahan iklim secara resmi belum diakui dalam sistem pendidikan nasional.

Meskipun topik perubahan iklim disampaikan dalam mata pelajaran yang relevan seperti Biologi, Fisika dan Geografi atau muatan loka pendidikan Lingkungan Hidup, topik perubahan iklim minim karena khawatir membebani siswa, kekurangan bahan ajar dan teknik mengajar, kata Putrawidjaja.

Padahal, saat ini perlu kesadaran yang lebih besar dari semua pihak dalam kehidupan sekolah, mulai dari kepala sekolah dan guru untuk memahami isu-isu lingkungan dan perubahan iklim, untuk mengenalkan cara-cara praktis untuk melestarikan lingkungan, seperti mengolah sampah dan menghemat listrik. Generasi muda yang akan menghadapi dampak dari generasi sekarang diharapkan juga bisa berpartisipasi lebih baik.

Tempat yang cocok di sekolah untuk membentuk perubahan perilaku dan menemukan solusi yang baik bagi masalah ini. Jadi hasil penelitian ini selain memotret kenyataan soal pendidikan perubahan iklim yang masih belum baik, juga ada kesempatan bagi semua pihak untuk bekerjasama dalam mengatasi masalah ini, kata Putrawidjaja. (Laporan wartawan KOMPAS Ester Lince Napitupulu)

© 2008 - 2009 KOMPAS.com

lunes, 14 de septiembre de 2009

Indonesia Diminta Pimpin Negosiasi Perubahan Iklim

Jumat, 11 September 2009 18:55 WIB - ANTARA/FB Anggoro

Jakarta (ANTARA News) - Indonesia diminta terus berperan memimpin koordinasi dan negosiasi untuk memerangi dampak perubahan iklim di dunia.

Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam "Bonn Climate Change Talk III", Agus Purnomo, di Jakarta, Jumat, mengatakan sebagai pemegang mandat dari "Bali Action Plan" dan "Bali Roadmap", Indonesia diharap meneruskan peran kepemimpinan dalam koordinasi dan negosiasi perubahan iklim.

Sedangkan dalam pertemuan G-20 "Expert Group on Climate Change Financing", Indonesia diharapkan dapat menjembatani beragam kepentingan dalam mencapai hasil yang dapat diterima oleh semua pihak di COP-15.

Apa yang akan ditetapkan dalam COP-15 mendatang menjadi dasar kekhawatiran negara-negara berkembang, karena dapat menjadi standar universal yang mewajibkan negara berkembang melakukan pengurangan emisi.

Dalam forum tersebut, negara-negara berkembang merasa khawatir atas upaya untuk menggantikan komitmen negara maju dalam menurunkan emisi secara aggregate melalui pendekatan target sektoral.

Indonesia, menurut dia, mewakili negara berkembang menekankan pentingnya negara maju untuk memenuhi komitmen bantuan implementasi program adaptasi yang berbasis masyarakat dan ekosistem.

Agus juga menjelaskan bahwa dampak negatif perubahan iklim terhadap ekosistem laut mengharuskan mayarakat internasional fokus pada upaya adaptasi di bidang kelautan dan kehidupan masyarakat pesisir.

Sesuai mandat Deklarasi Kelautan Manado yang menginginkan dimensi kelautan menjadi bagian dari pembahasan perubahan iklim, Indonesia mengundang negara-negara yang tergabung dalam Sub Komisi Bersama Laut dan Perubahan Iklim ditambah negara-negara lain, seperti India, Australia, Kanada, Grenada dan Norwegia untuk memberikan dukungannya akan pentingnya konservasi laut serta isu kelautan dalam proses negosiasi perubahan iklim.

Pertemuan tersebut juga dimanfaatkan untuk mendapat dukungan bagi Indonesia dalam upaya pengarusutamaan dimensi kelautan dalam dokumen akhir COP-15 (Conferences of the Parties) UNFCCC di Copenhagen Denmark akhir tahun 2009.

Beberapa paragraf yang memuat rumusan-rumusan Deklarasi Kelautan Manado dipertahankan dalam pertemuan di Bonn, Jerman. (*) COPYRIGHT © 2009

Sumber: antaranews.com/berita/1252670124/indonesia-diminta-pimpin-negosiasi-perubahan-iklim

Sistem Informasi REDD Indonesia Berbasis Jejaring Diluncurkan

Jakarta(25/08)- Dalam rangka mempersiapkan diri dalam mengimplementasikan REDD di Indonesia, CIFOR, PILI (Pusat Informasi Lingkungan Indonesia) dan WWF meluncurkan sebuah sistem informasi berbasis jejaring, REDD-I, di Intercontinental Hotel, Jakarta Selatan, Selasa(25/08).

Tahun 2009 ini merupakan tahun yang penting bagi keberlangsungan hutan dunia. Pasalnya pada Desember 2009, konferensi dunia mengenai perubahan iklim, UNFCC, akan melahirkan kesepakatan baru dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Mekanisme REDD diharapkan menjadi bagian dari kesepakatan yang akan dihasilkan tersebut.

“Saat ini kami ingin membantu semua pemangku kepentingan yang berurusan dengan hutan dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan agar mereka mendapatkan informasi yang mereka butuhkan guna mengambil bagian dalam percaturan global, nasional, dan lokal mengenai masa depan hutan di negeri ini,” jelas peneliti senior CIFOR Dr. Daniel Murdiyarso.

Peluncuran laman khusus tentang REDD dengan alamat redd-indonesia.org ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi bagi pelaksana proyek REDD di Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) Pam E. Minnigh mengemukakan, selain informasi umum mengenai REDD, melalui situs REDD-I, publik juga dapat mengakses artikel-artikel tentang REDD dari institusi resmi maupun media massa, serta hukum dan regulasi yang mengatur REDD di Indonesia.

”Kami mendesain situs ini seinteraktif mungkin. Dalam rubrik konsultasi, pengunjung situs dapat mengajukan pertanyaan seputar REDD di Indonesia yang akan dijawab oleh para ahli kami baik dari CIFOR maupun WWF” ungkap Pam.
Informasi yang akurat dan menyeluruh mengenai REDD memang diperlukan mengingat masih banyak pihak yang masih salah menafsirkan dana dari Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). ”Dana REDD bukanlah dana untuk menjaga hutan tetap lestari, melainkan dana untuk membantu menjaga iklim,” jelas Ketua Sekretariat DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) Agus Purnomo. Agus juga menambahkan, ”Kita akan mendapatkan uang karena upaya yang kita lakukan untuk mengurangi perubahan iklim, bukan karena kita mempunyai banyak hutan.”

Terkait dengan implementasi REDD di Indonesia, Ketua Tim Teknik Komisi REDD di Indonesia untuk Menteri Kehutanan, Nur Masripatin mengatakan saat ini pihaknya telah menyiapkan strategi Indonesia pada REDD yang akan dibahas dua minggu mendatang. ”Kita sedang siapkan metodologi maupun regulasinya. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan tiga peraturan terkait REDD,” paparnya.

Direktur Program Iklim dan Energi WWF Indonesia Fitrian Ardiansyah yang juga hadir dalam peluncuran situs REDD-I menghimbau agar pemerintah mewaspadai persoalan tumpang tindih pengelolaan lahan di Indonesia karena status lahan yang tidak jelas nantinya akan menghambat proyek REDD di Indonesia. Fitrian juga menggarisbawahi pentingnya menginformasikan keuntungan lain yang bisa didapat dari implementasi REDD, ”Faktor benefits itu penting, dengan implementasi REDD kita bukan hanya mengurangi emisi karbon, tapi juga menyelamatkan keanekaragaman hayati hutan serta memajukan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.”
Oleh: Masayu Yulien Vinanda
Sumber: wwf.or.id/?9900/Sistem-Informasi-REDD-Indonesia-Berbasis-Jejaring-Diluncurkan