lunes, 8 de junio de 2009

Pestisida Organik dari Dapur

Senin, 08 Juni 2009|TEMPO Interaktif

Jakarta, Onicita asyik mengupas jahe. Lima temannya menyiangi empon-empon lainnya: lengkuas, temu giring, temu lawak, kencur, sereh, bawang merah, dan bawang putih. Rempah-rempah itu ditempatkan di atas meja bersama beberapa batang butrawali, daun imbo, air cucian beras, tetes tebu, alkohol, dan cuka.

Para siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Kebo Mas, Gresik, Jawa Timur, itu tidak sedang belajar masak-memasak. Mereka tengah menyiapkan bahan baku pestisida organik.

Inilah ramuan pestisida ramah lingkungan yang ditemukan para siswa sekolah itu pada April lalu. Sekolah itu menamai pembasmi hama ini Dua Kebo--seperti nama sekolahnya. Belum ada investor yang melirik temuan ini. "Tapi memang pestisida itu bisa dibuat sendiri oleh siapa pun karena sederhana dan gampang," ujar Onicita, siswi kelas VIII, yang sedang memimpin kawan-kawannya membuat pestisida itu.

Peralatan untuk membuat pestisida cap Dua Kebo terdiri atas blender, pisau, gunting, dan gelas ukur. Untuk membuat dua liter pestisida, diperlukan empon-empon yang sudah dikupas masing-masing 40 gram, dua ons daun imbo, 500 mililiter air leri (cucian beras) dan cairan gula, serta 100 cc alkohol dan cuka. Semua bahan itu diblender.

Setelah berubah jadi seperti jus, ramuan itu dimasukkan ke dalam jeriken. "Seluruh proses pembuatan ini paling lama 15 menit. Satu takaran resep dapat menjadi dua liter pestisida," kata Onicita saat ditemui pekan lalu.

"Jus" itu kemudian difermentasi sekitar 15 hari sehingga menjadi pestisida. Untuk mempercepat prosesnya, dua kali sehari jeriken itu dikocok selama lima menit.

Pestisida organik itu sudah diuji coba tiga kali. Hasilnya cespleng. Pada 2 Mei lalu, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, pestisida itu dijajal pada tanaman yang penuh ulat daun. "Besoknya, ulat-ulat itu mati," kata Ramelan, 52 tahun, guru mata pelajaran sejarah yang mendampingi para siswa dalam membuat pestisida itu.

Gagasan pembuatan pestisida ini juga berawal dari mewabahnya ulat daun di sekolah mereka. Ulat ini muncul karena sekolah itu hijau asri, berkat program penghijauan yang dicanangkan sekolah tersebut sekitar 20 tahun silam.

Awalnya, sekolah di dekat tambang pasir tersebut diselimuti debu setiap musim kemarau. Untuk mengurangi debu, ditanamlah berbagai jenis tanaman: mangga, mahoni, nangka, juwet, dan sono, juga tanaman hias.

Karena kondisi tanahnya gersang berpasir, sekolah itu terpaksa "mengimpor" tanah dari Mojosari, Mojokerto. Dua dekade kemudian, 10.059 batang dari 215 jenis tanaman di sekolah itu mulai rimbun. Sekolah itu pun menjadi kebun raya mini.

Tapi muncul masalah baru. Bila musim hujan tiba, ulat menyerbu. "Bahkan ulatnya ada yang sampai masuk ke dalam kelas. Sampai-sampai gurunya girap-girap (jijik)," kata Yudo Siswanto, kepala sekolah di situ.

Ramelan dan para siswa sekolah itu berupaya mencari pembasmi hama yang ramah lingkungan. Studi pustaka digeber hingga Internet. Beberapa kali gagal, tim itu toh terus mencari pestisida yang ramah lingkungan. "Sekolah kami memang menekankan kepedulian terhadap lingkungan kepada siswa," ujar Ramelan, 52 tahun, pria kelahiran Trenggalek.

Kini ada enam klub kegiatan berbasis lingkungan di sekolah dengan 21 kelas itu, dari flora-fauna, sanitasi, jurnalistik lingkungan, sampai daur ulang sampah organik dan composting. Kegiatan pembuatan pestisida berada di bawah klub composting dengan anggota 83 siswa. Kukuh S. Wibowo (Gresik)
tempointeraktif.com

No hay comentarios:

Publicar un comentario