martes, 6 de mayo de 2008

Sel Surya Kompetitif: Kenaikan Harga BBM Perkuat Peluang

Selasa, 6 Mei 2008 | 00:59 WIB

Jakarta, Kompas - Listrik dari sel surya akan semakin kompetitif ketika harga bahan bakar minyak terus melambung. Saat ini harga listrik dari sel surya memang masih di atas harga listrik yang diproduksi dengan bahan bakar minyak, tetapi diperkirakan dalam 5-10 tahun mendatang kondisinya berbalik.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah membuat estimasi produksi listrik perkantoran atau komunitas dari sel surya berkapasitas 10.000 watt dengan investasi Rp 645 juta saat ini. Diperhitungkan, usia produktif peralatan sampai 15 tahun, maka harga energi listrik mencapai Rp 5.000 per kilowatthour (kWh) rata-rata, berarti harga flat tidak naik selama 15 tahun. Ini lebih mahal dari listrik yang dihasilkan genset diesel saat ini, Rp 2.666 per kWh yang selalu akan naik sesuai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Demikian disampaikan Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi BPPT Arya Rezavidi kepada Kompas, Senin (5/5) di Jakarta. Sekali pemasangan sel surya memang menelan investasi besar. Tetapi, operasionalnya menggunakan bahan bakar sinar matahari yang gratis, tidak butuh pembelian bahan bakar seperti minyak yang harganya akan terus naik, kata Arya.

Menurut dia, penghitungan produksi listrik kapasitas 10.000 watt senilai Rp 645 juta itu sebagai grid connected atau terkoneksi jaringan listrik PLN yang tidak membutuhkan sistem baterai sebagai penyimpan arus listrik. Listrik dari sistem sel surya itu dapat dimasukkan ke jaringan PLN.

Dengan sendirinya PLN harus menyiapkan peralatan untuk penghitungan listrik dari sel surya yang diproduksi pihak lain ketika masuk ke jaringannya. Menurut Arya, grid connected di berbagai negara maju telah memungkinkan perusahaan listrik membeli listrik dari publik.

Di Jerman diterapkan kebijakan membeli listrik dari publik yang menggunakan sel surya dengan harga empat kali lipat dari harga listrik pemerintah yang sebelumnya dibeli oleh konsumen tersebut, kata Arya.

Menurut dia, model yang sudah diterapkan di Jerman itu mudah diadopsi, tinggal kemauan pemerintah untuk memulainya.

Arya merinci kebutuhan investasi modul surya di tingkat perkantoran saat ini berkisar 5 dollar AS per watt (5.000 dollar AS per kilowatt). Ini masih ditambah biaya inverter untuk membalikkan arus listrik sesuai pemanfaatan yang diperlukan sebesar 5.000 euro per 3.500 kilowatt.

Jika dikonversikan dengan nilai rupiah, produksi listrik 10.000 watt dari sel surya itu menelan investasi Rp 645 juta, dengan peralatan impor. Sudah saatnya Indonesia mempunyai industri modul surya sendiri, kata Arya.

Harga energi listrik dari sel surya kapasitas 10.000 watt, jika diperhitungkan menyuplai listrik rata-rata empat jam sehari, maka energi yang dihasilkan 40 kWh. Dalam setahun produksi listrik tinggal dikalikan 360 hari menjadi 14.400 kWh.

Jika umur sel surya diperhitungkan 10 tahun, harga energi listriknya dihitung dari investasi awal Rp 645 juta dibagi kapasitas produksi 144.000 kWH menjadi Rp 4.500 per kWh. Namun, umur sistem peralatan sel surya pada umumnya diambil rata-rata mencapai 15 tahun sehingga harga energinya menjadi Rp 3.000 per kWh.

Bandingkan dengan listrik dari genset diesel. Satu liter solar menghasilkan 3 kWh. Saat ini harga solar di pasar internasional Rp 8.000 per liter, maka harga listrik Rp 2.666 per kWh. Menurut Komisaris Utama PT PLN Alhilal Hamdi, nilai produksi listriknya Rp 840 per kWh dengan 34 persen (9.700 megawatt) dari pembangkit berbahan bakar minyak diesel. (NAW)

No hay comentarios:

Publicar un comentario