lunes, 20 de abril de 2009

Di Hutan Dataran Rendah Way Kambas

<cerita awal> <cerita sebelumnya>
Kerja lapangan di Sumatera memberi pengalaman pribadi yang tersendiri. Ketika itu saya ikut rombongan pak Soedjana Kassan, kepala Kebun Raya Bogor, ke hutan dataran rendah Way Kambas di Lampung. Pak Soedjana, selain mafhum dalam pengenalan jenis-jenis tumbuhan, beliau senang dan pandai memasak. Saya senang sekali ke lapangan dengan pak Soedjana. Makanan segar yang disajikannya pada malam hari selalu berbeda macamnya. Untuk kami semua yang seharian sibuk mengumpulkan contoh-contoh tumbuhan, masakan pak Djana terasa amat nikmatnya. Setiap malam, ada saja cerita menarik yang kami dengar dari anggota rombongan. Terkadang cerita yang dituturkan kurang masuk akal, seperti yang diceritakan oleh Tohir. Siang hari itu dia mengaku berpapasan dengan macan tutul. Begitu terkejutnya dia, sampai-sampai dia tidak bisa bergerak. Meskipun kurang masuk akal, tetapi toch kami semuanya mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.


Sungai di Way Kambas sangat jernih airnya. Kami bersampan menyusuri daerah rawa-rawanya. Selain ikan beraneka warna, ular air yang konon berbisa banyak berkeliaran. Jenis tumbuhannya tidak kalah beranekanya. Pak Soedjana sibuk mengumpulkan anggrek, yang menjadi tumbuhan favoritnya. Saya sendiri memilih mengumpulkan jenis kacang-kacangan dan umbi-umbian. Tidak bayak yag saya peroleh di sini. Yang lain, ada yang mengumpulkan jenis-jenis keong, ada yang serangga, ada yang burung. Pokoknya semua memiliki kesempatan mencari contoh hewan atau tumbuhan untuk penelitiannya.
Mandi merupakan hal yang berat bila saya sedang melakukan kerja lapangan. Di Way Kambas, kami menginap di bangunan bekas pekerja lapangan pengusaha hutan. Bangunan itu sendiri cukup baik, tetapi kamar mandinya tidak berdaun pintu lagi. Karena saya satu-satunya anggota perempuan, saya yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Jas hujan adalah perlengkapan serba guna di lapangan dan sangat membantu saya bila tidak ada kamar mandi. Dengan mengenakan jas hujan saya bisa mandi meskipun kamar mandinya terbuka lebar. Tentunya tidak senyaman mandi di rumah, tetapi dengan jas hujan masalah kamar mandi terpecahkan. Setiap kali saya mengenakan jas hujan di kamp itu, semua mengetahui bahwa saya akan mandi
Bangunan tempat kami tinggal hanya mempuyai dua kamar tidur. Satu kamar ditempati pak Soedjana dan satu lagi saya tempati. Bila malam tiba, mereka semua tidur di ruang tamu yang terletak di luar kamar tidur. Mungkin terlalu lelah karena bekerja seharian, begitu lampu minyak dimatikan, bunyi dengkur pun mulai terdengar. Lama-lama dengkur itu bersahut-sahutan, tidak ubahnya nyanyian katak yang ada di rawa-rawa. Masing-masing memiliki dengkur yang khas. Mula-mula susah buat saya tidur di tengah orkestra dengkur mereka. Yang aneh adalah bahwa pada pagi harinya semua, tidak terkecuali, mengeluh mereka tidak bisa tidur karena kawan di dekatnya mendengkur. Saya hanya bisa menggelengkan kepala saya.

Baru seminggu saya di Way Kambas, tiba-tiba saja rasa mual menghantui saya. Pagi-pagi nafsu makan saya hilang. Di perahu, saya muntah-muntah. Siang hari mulut saya terasa asam, sehingga makanan pun terasa amat tidak enak. Dua hari saya alami hal ini, saya memutuskan kembali ke Bogor. Sesampai di Bogor, rasa mual itu tidak hilang juga. Rombongan Way Kambas kembali ke Bogor seminggu kemudian. Dua anggota laki-laki rombongan kami ternyata menderita penyakit yang sama. Lalu kita sepakat bahwa kami bertiga tidak tahan air di Way Kambas, yang mungkin sekali mengandung bakteri atau semacamnya. Beberapa minggu sesudah itu, saya memperoleh jawaban dari dokter kandungan saya, bahwa saya hamil. Anggota rombongan kami tertawa ketika saya beritakan hal itu. Hanya saja mereka lalu bertanya-tanya mengenai macam penyakit yang diderita oleh kedua teman laki-laki rombongan kami itu.

<bersambung>
Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

No hay comentarios:

Publicar un comentario