martes, 14 de abril de 2009

Mengumpulkan Contoh Kunir-Kuniran

<cerita sebelumnya>
Suatu ketika saya harus mengumpulkan contoh kunir-kuniran yang hidup liar di hutan jati Walikukun. Hutan itu terletak tidak jauh dari Madiun, karenanya saya tidur di rumah bersama dua teman yang sekelompok kerja dengan saya. Pagi-pagi sebelum matahari terbit kami sudah berangkat dengan jip ke Walikukun. Di sana kami diterima oleh mantri hutan dan dibawa ke tempat kunir-kunir itu tumbuh. Kami naik dresin, semacam lori yang tidak berpagar dan tidak beratap. Seharian penuh kami menggali contoh-contoh umbi kunir yang kami duga berbeda, baik dalam warna, maupun baunya. Ketika kami pulang, hari sudah malam. Baju kami kotor ternodai lumpur yang menyelubungi umbi-umbi tadi. Melihat penampilan kami ketika memasuki rumah, ibu menggelengkan kepalanya. Esok paginya ibu bertanya:


"Tiek, katanya kamu ini mendapat ijasah sekolah yang paling tinggi. Mengapa pekerjaanmu tidak ubahnya pekerjaan seorang buruh tani yang bergulat dengan lumpur?"

Jawaban saya tidak lain hanya tertawa. Saya jelaskan pun ibu tidak akan pernah mengerti. Untuk ibu, seseorang yang berpendidikan tinggi, tempatnya adalah di kantor, berpakaian bersih, dan memiliki jam kantor yang pasti. Ibu tidak habis pikir, mengapa kenyataan untuk saya sangat berbeda dengan gambaran yang diharapkan.
Kegiatan mengumpulkan contoh-contoh "gene pool" tumbuhan Indonesia itu membawa saya ke hutan Purwo di ujung timur pulau Jawa. Menurut masyarakat setempat hutan Purwo adalah hutan tutupan, yang tabu untuk dimasuki masyarakat, apalagi untuk diusahakan. Sebelum kami datang di tempat itu, kami telah memperoleh ijin dari kantor Kehutanan di Bogor. Hutan Purwo merupakan hutan dataran rendah yang kaya akan jenis kayu dan jenis bambu. Konon, banyak orang menyeberang dari pulau Bali untuk memperoleh kayu secara ilegal dari hutan ini. Kami tinggal di pinggiran hutan, di rumah salah satu penduduk yang rela menampung kami.


Rombongan kami merencanakan tinggal selama satu minggu di kawasan hutan Purwo. Karena tempat tinggal kami jauh dari mana-mana, kami membawa persediaan bahan makanan mentah untuk satu minggu. Bahan-bahan itu kami serahkan kepada yang empunya rumah. Setiap pagi sebelum matahari terbit, kami sudah sarapan dan pergi ke hutan, membawa bekal makan siang, dan pulang ketika matahari terbenam. Kami terkejut ketika ibu rumah tempat kami menginap memberitahukan bahwa persediaan makanan habis. Padahal hari itu baru hari ketiga. Usut punya usut, rupa-rupannya para tetangga pada berdatangan, ketika kami semua pergi ke hutan. Tuan rumah pun bermurah hati menjamu mereka dengan makanan kami. Apa boleh buat, kami membeli bahan makanan mentah seadanya yang dapat kami jumpai di desa dekat pinggiran hutan itu untuk hari-hari berikutnya.

<bersambung>

------------------------

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

No hay comentarios:

Publicar un comentario