martes, 14 de abril de 2009

Perjalanan Panjang dari Hawai dan "Kara-Karaan"

Pengantar Redaksi
Serial ini merupakan rangkaian tulisan dari buku Bintang Beralih yang ditulis oleh panutan kami ibu Setijati D. Sastrapradja, seorang ahli plasma nutfah yang telah diakui kepakarannya di Indonesia & dunia. Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan pribadi beliau, yang menurut kami layak untuk diketahui publik sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.
Terima kasih kepada ibu Setijati atas ijinnya mempublikasikan di matoa.org.



Lebih dari empat puluh tahun sudah saya menjadi pegawai negeri. Penerimaan sebagai pegawai negeri saya tidak melalui ujian, karena saya adalah salah seorang penerima beasiswa pemerintah. Dengan beasiswa itu kepegawaian negeri saya terjamin, hanya saja saya tidak bisa menentukan kantor dan kota yang saya senangi. Sebagai layaknya seorang pegawai negeri, saya memulainya dengan jenjang kepegawaian paling bawah, yang sesuai dengan pendidikan saya. Dengan perjalanan waktu dan peningkatan pendidikan saya, saya dapat mencapai pangkat tertinggi yang dimungkinkan untuk dicapai seorang pegawai negeri di negara ini.

Selama saya menjadi pegawai pemerintah, banyak yang saya lihat, banyak yang saya dengar, dan banyak yang saya alami. Perjalanan panjang yang saya tempuh tidak selamanya licin, tanpa rintangan. Banyak onak dan duri harus saya lalui; banyak ketidaksenangan saya alami, tetapi saya ingin mengenang ruas jalan yang nyaman, dan penggal kegiatan yang menyenangkan saja. Saya menyadari bahwa tanpa ketidaksenangan dan ketidaknyamanan itu, saya pasti tidak bisa merasakan hal yang sebaliknya. Tetapi di sini, saya hanya ingin berbagi rasa mengenai hal yang baik dan menyenangkan saja.

Ketika saya memperoleh kesempatan meningkatkan pendidikan saya di Universitas Hawaii, saya tengadahkan kepala saya kepadaNya di bandara Kemayoran, Jakarta dan mohon berkahNya agar keinginan saya mengabdi kepada negeri yang telah memberi saya kesempatan sekolah ini dikabulkanNya. Dengan langkah pasti saya naiki tangga pesawat Pan America menuju kota pariwisata dunia: Honolulu, Hawaii. Di sinilah saya bermukim beberapa lama sampai saya memperoleh gelar tertinggi dalam pendidikan formal.

Hidup di negara orang memang tidak mudah, apalagi kalau biaya sekolah bukan dari kantung sendiri. Saya memperoleh beasiswa dari East West Center, sebuah badan federal Amerika Serikat, yang memprakarsai pertukaran budaya antar bangsa melalui pendidikan tinggi. Rakyat Amerika memang sangat sadar akan hak dan kewajibannya. Mereka mengetahui bahwa setiap sen yang kami terima dari East West Center adalah berasal dari mereka, pembayar pajak. Seringkali hal ini mereka ucapkan bila kami diundang makan malam atau berpesta kebun dengan mereka. Saya yakin mereka tidak bermaksud apa-apa, kecuali memberi informasi mengenai kontribusi mereka pada pembangunan nasionalnya, tetapi bagi saya pribadi, ucapan itu seakan mengingatkan bahwa saya adalah hidup dari kemurahan hati rakyat Amerika. Apa boleh buat.

Menjadi orang Indonesia di rantau pada tahun-tahun menjelang jatuhnya Presiden Soekarno, amat sangat tidak enak. Hampir setiap hari di koran setempat muncul gambar Presiden Indonesia dengan pemberitaan yang tidak mengenakkan hati. Kami mahasiswa-mahasiswa Indonesia harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya pikir sangat konyol untuk dijawab. Dari banyak orang Indonesia yang sedang belajar di Honolulu, yang berstatus pegawai negeri hanya sedikit. Betapa pun jeleknya pemberitaan mengenai Indonesia, bagi kami pegawai negeri yang sedang menuntut ilmu, merupakan kewajiban untuk mempertahankan nama Indonesia.

Beasiswa saya habis ketika saya meyelesaikan tingkat S2 saya. Untuk meraih S3, saya memperoleh pekerjaan sebagai asisten pengajar di Departemen Botani Universitas Hawaii. Serta-merta saya pun menjadi pembayar pajak betapa pun kecil pajak yang saya bayar ke kas negara Amerika Serikat. Saya sangat bangga dengan status saya sebagai pembayar pajak, karena saya tidak merasa lagi hidup dari kemurahan hati orang lain. Tahun terakhir saya di tingkat S3, terpaksa saya tinggalkan pekerjaan di Departemen Botani, sebab waktu saya hampir tersita untuk mempersiapkan praktikum mahasiswa. Saya bekerja di East West Center Advanced Studies membantu Dr. Shinoda dan Dr. Wittermans sebagai asisten dalam bidang bahasa Indonesia. Status sebagai seorang pembayar pajak ini saya pertahankan sampai saya siap untuk kembali ke Indonesia.

Dengan gelar Ph.D di tangan, saya kembali menjadi pegawai negeri yang aktif. Ternyata ijasah tertinggi belum menjamin saya untuk bisa bekerja mandiri. Saya berhadapan dengan kenyataan hidup yang sebenarnya. Sarana, prasarana dan dana penelitian di lembaga masih saja tetap keadaannya seperti pada waktu sebelum saya pergi. Hanya saja jumlah staf peneliti tambah banyak. Staf memiliki kemerdekaan menentukan macam penelitian yang saya inginkan dengan dana yang sangat minimal. Untuk sementara, saya belum dapat menentukan apa yang harus saya teliti yang ada kaitannya dengan bidang biologi, tetapi yang hasilnya mungkin memiliki aplikasi.

Setelah banyak membaca program UNESCO di bidang biologi, yaitu International Biological Programme (IBP), saya tertarik untuk mengerjakan bidang yang berkenaan dengan penanganan "gene pool", kekayaan yang berupa keanekaragaman sifat biologik. Saya mengetahui bahwa Indonesia memiliki segudang kekayaan hayati, yang negara lain mungkin saja tidak memilikinya. Untuk memulainya, saya perlu menentukan kelompok mana yang belum banyak memperoleh perhatian dunia biologi dan Indonesia merupakan pusat penyebarannya. Pilihan saya jatuh ke jenis "kara-karaan", kelompok kacang-kacangan bukan utama, yang banyak dimanfaatkan oleh penduduk di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sambil meneliti kacang-kacangan itu, saya mencatat buah-buahan dan jenis-jenis tanaman obat yang saya jumpai di pasar. Ternyata Indonesia adalah pusat penyebaran buah-buahan dan tumbuhan obat. Rambutan, durian, mangga, dan pisang misalnya, memiliki kisaran keanekaragaman sifat yang besar di Indonesia ini. Demikian juga tumbuhan obat seperti kunir-kuniran dan sirih-sirihan. Minat saya pada "gene pool" terus berlanjut. Berbekal minat ini dan dana penelitian yang disediakan lembaga, saya memiliki segudang kesempatan untuk mengenal tanah air Indonesia. Bukan hanya pelosok pulau Jawa saja yang sempat saya kunjungi, tetapi juga pulau-pulau besar dan kecil Indonesia, bahkan pulau-pulau kecil di bagian Indonesia sebelah timur pun pernah saya singgahi.

<Bersambung>

1 comentario:

  1. Dear bu TS, via mas BUdi yb.
    Terimakasih banyak sudah mau berbagi. ibu TS adalah salah satu ilmuwan yang saya kagumi sejak kenal-beruntung sebab saya kerja di KLH sejak tahun 1978-2005 (pensiun PNS), sehingga saya lebih sering ketemu bu TS dibanding wkt jadi salah 1 anak didiknya. Langsung maupun tidak saya mendapat ilmu terutama menjadikan saya semakin menghargai alam ciptaan Tuhan, terutama tanaman. Saya hanya sekali lagi berterimakasih punya kesempatan berkenalan dengan beliau dan sampai sekarang pun tetap ingin 'meniru' semangat kerja keras beliau. Semoga keprihatinan saya bisa dikurangi dengan melihat beliau dkk berjuang berdedikasi tanpa syarat demi pertahankan "kekayaan" SDA NKRI tercinta. Contoh nyata Kebun Botani Porpinsi NKRI di kaw. Puspiptek Serpong. Semoga Tuhan mengkaruniakan kesehatan dan kebahagian pada bu TS tercinta & kel. Amin.
    Jakarta 20 April 09

    ResponderEliminar