miércoles, 22 de abril de 2009

Pertama di Kalimantan

<cerita awal> <cerita sebelumnya>








Kalimantan memberikan kenangan tersendiri. Bagi kami yang bekerja di bidang biologi, Kalimantan Timur merupakan salah satu tempat tujuan untuk mengumpulkan contoh-contoh. Itulah sebabnya ketika Kuswata mengajak saya berkunjung ke Universitas Mulawarman, tanpa berpikir dua kali saya mengiyakannya. Balikpapan adalah kota pertama tempat saya menginjakkan kaki di Kalimantan Timur. Untuk ke Samarinda, tempat kampus Universitas Mulawarman, Kuswata mengatakan bahwa kita hanya dapat mencapainya dari Balikpapan dengan perahu ketinting, menyusuri sungai Mahakam. Saya tidak bisa membayangkan apa ketinting itu dan berapa lama kami harus berperahu. Sementara kami mengambil barang-barang bawaan kami, ada seseorang yang mendekati Kuswata dan menawarinya terbang ke Samarinda dengan pesawat empat penumpang.





Tawar-menawar harga pun berlangsung dan berakhir dengan kami berdua bersama pilot dan co-pilotnya terbang ke Samarinda. Masalah timbul ketika waktu mendarat datang. Rupa-rupanya baik pilot mau pun co-pilot belum mengenal medan di Samarinda. Rasanya lama menunggu pembicaraan antara pilot dengan entah siapa yang memandu pilot untuk mendarat. Begitu pilot melihat menara mesjid, kapal terbang menyusuri celah di antara rumah-rumah penduduk dan berakhir dengan pendaratan di lapangan terbuka.


Masalah lain segera saja menyusul. Kuswata mengeluarkan barang-barang kami dari badan kapal terbang. Tidak tampak kendaraan umum yang bisa kami tumpangi ke kota, kecuali sebuah mobil pemadam kebakaran. Tidak mungkinlah bagi kami menggotong barang-barang kami keluar lapangan, karena selain berat, juga kami tidak bisa memperkirakan berapa jarak yang harus kami tempuh sebelum kami sampai ke jalan umum. Kuswata tidak kekurangan akal. Dia mencoba mencari supir pemadam kebakaran dengan harapan bahwa pak Supir mau memberikan kita tumpangan ke jalan besar. Supir itu tidak pernah diketemukannya. Kuswata tetap optimis dan yakin kami akan sampai ke kampus tanpa harus berjalan kaki. Benar juga dugaannya. Kami melihat sebuah jip berplat merah datang, entah mengantar atau menjemput seseorang. Secepat kilat Kuswata mendekati jip tersebut. Hasilnya dia tertawa lebar sambil mengangkat barang-barang kami ke jip. Singkat kata kami diantar sampai ke rumah pak Rektor, pak Sambas. Jip itu adalah jip Universitas Mulawarman.

<bersambung>

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

No hay comentarios:

Publicar un comentario