viernes, 17 de abril de 2009

Gogik

<cerita sebelumnya>





Di lapangan, kami juga bisa belajar dari anak-anak mengenai sesuatu yang di luar pengetahuan kami. Hal ini terjadi di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta. Saya ke sana mencari contoh kara benguk, sejenis kacang-kacangan yang di Gunung Kidul dijadikan bahan tempe. Di pasar setempat kami bisa membeli kara benguk dengan bermacam-macam warna kulit biji. Lalu saya ajak teman-teman untuk mencari rawe, kerabat liar kara benguk, yang tumbuh di tepi hutan-hutan jati atau pagar-pagar desa. Sementara kami mengumpulkan polong rawe yang gatal itu, beberapa anak laki-laki menghampiri kami. Mereka tercengang melihat ada orang yang tertarik pada polong rawe, yang oleh penduduk desa dihindari karena kegatalannya. Singkat cerita, saya terlibat percakapan dengan anak-anak tersebut. Ketika saya menanyakan kepada mereka apa yang mereka makan dengan tempe benguk yang khas Gunung Kidul itu, jawab mereka serentak adalah gogik.
"Gogik?", tanya saya balik. " Gogik itu apa, sich?", saya melanjutkan pertanyaan saya."Woo, blaen", komentar mereka. " Gogik saja tidak tahu. Padahal di sini gogik itu adalah makanan kami".
Dari mereka saya belajar bahwa gogik itu tidak lain adalah tiwul yang dikeringkan di bawah sinar matahari, seperti halnya karak yang berasal dari nasi. Saya bisa membayangkan alangkah tidak enaknya rasa gogik itu, kalau tiwul saja di lidah saya sangat tidak enaknya. Saya mengalami makan tiwul untuk pengganti nasi di jaman Jepang.
<bersambung>



------------------------

Catatan redaksi :

Tulisan ini merupakan bagian catatan perjalanan Setijati D Sastrapradja dari buku Bintang Beralih, sebagai sumber inspirasi sepanjang masa.

1 comentario:

  1. kara benguk dan polong rawe apakah jenis tanaman yg sama? Salam dari Polanharjo, Klaten.

    ResponderEliminar