viernes, 24 de abril de 2009

Mengamati Orang Utan

<cerita awal> <cerita sebelumnya>



Hutan di Tanjung Puting temasuk hutan tropis basah, yang di antaranya berupa hutan kerangas. Pagi-pagi setelah kami sarapan, kami bergegas menyelusuri jalan setapak memasuki hutan untuk melihat orang utan di kehidupan liarnya. Permukaan tanahnya basah, penuh dedaunan kering. Di beberapa tempat terpaksa dipasang papan-papan untuk menghindarkan kaki tenggelam dalam lumpur bercampur serasah itu. Kami juga harus menghindari batang-batang rotan berduri yang menggelantung di jalanan. Setelah berjalan beberapa lama, kami sampai di tempat agak terbuka. Bohap, penunjuk jalan kami, memberitahu bahwa di sinilah orang-orang utan liar bisa kami lihat. Dengan sabar kami menunggu setiap gerak yang terjadi di atas pepohonan tinggi yang tumbuh di situ.
Mata kami semua tertuju kepada satu titik tempat seekor orang utan besar yang sedang berayun. Tidak lama kemudian kami melihat seekor orang utan yang menggendong anaknya. Menurut Bohap, penunjuk jalan kami, setiap orang utan jantan memiliki wilayah jelajah tertentu. Secara ini tidak ada dua ekor orang utan jantan terlihat di areal yang sama. Di pohon di depan kami tampak seekor orang utan jantan dan seekor betina yang menggendong anaknya. Bagi saya tidak jelas, apalagi dari kejauhan, beda antara yang jantan dan yang betina. Lalu Bohap menunjukkan ranting-ranting dan dedaunan yang teronggok di salah satu dahan. Onggokan batang dan daun itu adalah sarang mereka. Entah benar entah tidak informasi itu, yang jelas kami semua terpesona oleh keterangan Bohap.
Ketika matahari sudah condong ke barat, kami pun bergegas menuju kamp kembali. Segera saja saya ingat akan nasi dan sarden kalengan yang siap menyambut kami. Sangat tidak menarik. Saya ingin segera mencapai kamp. Baju saya basah, karena udara sangat lembab. Saya juga merasakan gatal-gatal di kaki, paha dan betis saya. Sesampai saya di kamp, segera saya buka sepatu dan kaus kaki saya. Hampir saja saya menjerit melihat beberapa lintah jatuh bersama kaus kaki saya. Saya melompat ke kamar. Saya tanggalkan celana panjang saya, karena saya takut ada lintah yang merambat ke atas. Betul juga. Paha dan betis saya mengeluarkan darah cair gara-gara lintah yang lapar. Saya berteriak minta tembakau ke Effendi Sumardja untuk menghentikan aliran darah itu. Effendi tertawa terbahak-bahak seraya berkata bahwa yang menggigit saya pasti lintah jantan. Ada-ada saja.
<bersambung>

No hay comentarios:

Publicar un comentario