jueves, 2 de abril de 2009

Entomologi di Indonesia

ditulis oleh
Soenartono Adisoemarto
dalam buku Enam Dasawarsa Ilmu & Ilmuwan di Indonesia
 
Pendahuluan
Tujuan utama mempelajari serangga ialah memahami hubungan yang terjalin antara serangga dan manusia. Pemahaman ini mengandung kepentingan yang besar, karena kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat dilepaskan dari dunia serangga. Tata laksana ini terbina dalam ilmu yang disebut entomologi. Kata “entomologi” berasal dari Bahasa Yunani entomologia yang dapat diuraikan menjadi entomon (= serangga) dan logos (= pembicaraan). Entomologi sebagai ilmu terus-menerus berkembang dari sekadar pengenalan sederhana menjadi ilmu yang sangat kompleks, selaras kebudayaan manusia, yang terus-menerus meluas, karena hubungan manusia dengan serangga yang makin kompleks.
Perhatian manusia terhadap serangga telah diberikan sejak ribuan tahun yang lalu. Bangsa Mesir Kuno menghubungkan serangga dengan aspek kehidupan keseharian mereka, seperti pertanian. Serangan belalang terhadap tanaman pertanian telah dilaporkan selama pemerintahan Ramses II, 1.400 tahun sebelum Masehi. Serangga juga pernah dihubungkan dengan kenegaraan, misalnya digunakannya tawon endas (Vespa orientalis) sebagai lambang negara Mesir Bawah pada tahun 3100 sebelum Masehi, dan bahkan “ketuhanan”, serta aspek sosial lainnya. Penggunaan kumbang “skarab” sebagai lambang Dewa Matahari Khephri atau Khepera yang disembah, merupakan hal yang tak asing dalam kebudayaan Mesir Kuno. Di Yunani, orang Ephesus (sekarang bagian dari Turki) menggunakan gambar tawon untuk menandai uang logam yang beredar pada tahun 400-an sebelum Masehi (Sheedy, 2005). Kitab Injil juga menyebutkan peran berbagai kehidupan serangga dalam kehidupan manusia. Di dalam Injil Matius (Matius 3:4) ditulis bahwa makanan Yohanes Pembaptis berupa belalang dan madu hutan. Kitab Al Quran (Sura 16) memuat uraian tentang lebah madu. Orang Indian Kuno di Amerika Selatan menggunakan serangga, khususnya kupu-kupu, sebagai inspirasi karya seninya, misalnya untuk motif sulaman dan kerajinan keramik, sedangkan Indian modern menggunakan juga serangga sebagai lambang (Diaz, 2005).
Di Indonesia sendiri tidak ada catatan mengenai waktu pertama kali orang memperhatikan benar-benar hubungan manusia dengan serangga. Kekurangan ini bukan berarti bahwa manusia Indonesia pada waktu-waktu yang lalu tidak memperhatikan serangga. Tembang dan sindiran yang berkait dengan perangai atau ciri serangga menandakan telah adanya pengamatan manusia Indonesia terhadap ciri dan peri laku serangga. Sayangnya, pengetahuan ini tidak terdokumentasi dalam tulisan.



Walaupun entomologi telah berumur ribuan tahun, masih tersembunyi timbunan salawadi (mysteries) yang belum terungkap, yang telah memacu manusia untuk meningkatkan usahanya dalam menelusuri liku-liku salawadi dalam dunia serangga. Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, entomologi juga mendapat sentuhan kemajuan untuk mengimbangi kemajuan ilmu pada umumnya. Seiring pula perkembangan di zaman pembaharuan “renaissance” – pada bagian kedua zaman ini (tahun 1000-1500) – terbawa pula penjelajahan manusia ke dalam dunia serangga untuk menumbuhkan entomologi menjadi ilmu yang makin mantap, sehingga kegunaan entomologi dapat ditingkatkan untuk kesejahteraan manusia.
Manfaat entomologi untuk manusia berhubungan dengan hidup sejahtera, yaitu hidup sehat, tercukupi segala kebutuhannya, serta terjamin keamanannya. Sebagian besar komponen kesejahteraan tersebut ditentukan entomologi. Dalam bidang kesehatan, entomologi telah membantu manusia mengatasi masalah penyakit yang ditularkan serangga, seperti malaria, demam berdarah, chikukunguya, kaki gajah, kebutaan dan penyakit tidur. Entomologi terbukti pula dapat didayagunakan dalam penyediaan pangan dan bahan industri, misalnya sutera, lak, malam, madu, dan bahkan tubuh serangga sendiri. Di sektor lain, pengetahuan terhadap kehidupan serangga juga telah menunjukkan bantuannya. Perang terhadap hama dapat dimenangkan oleh manusia berkat telah ditelusurinya liku-liku jalan hidup serangga.
Kini telah lebih banyak pelik-pelik serangga yang mulai diketahui dan dipecahkan. Perangainya, cara memeliharanya, kelemahannya, hasil yang dapat dimanfaatkan manusia, dan hal-hal lainnya makin terungkap. Makin lama makin dapat dibedakan serangga yang “merugikan” dengan serangga yang “menguntungkan”. Makin lama makin tegas pula tindakan yang dilakukan terhadap kedua golongan serangga tersebut. Terhadap yang merugikan diusahakan tindakan untuk mengendalikannya, sedangkan kepada yang menguntungkan disediakan tempat terhormat serta usaha untuk melestarikannya. Ada timbal baliknya, yaitu bahwa semua tindakan tersebut juga mendorong kemajuan di bidang entomologi sendiri. Begitulah seterusnya, sehingga pengenalan terhadap dunia serangga makin meningkat, dan perlakuan terhadap serangga makin tepat.
Entomologi di Indonesia
Di negeri kita, hubungan manusia dengan serangga ini telah lama disadari, sejak dongeng rakyat dan perumpamaan mulai diceritakan turun-temurun dari mulut ke mulut. Cerita yang juga berbentuk tembang telah mengungkapkan ciri atau peri laku serangga tertentu, tetapi pengetahuan tersebut masih dalam bentuk semu dan samar-samar, belum terwujud sebagai ilmu.
Pada awalnya, entomologi datang ke Indonesia hanya sebagai “tamu”. Ilmu ini masuk ke dan keluar dari Indonesia tanpa meninggalkan bekas karena tidak ada sarana atau perangkat yang tersedia untuk menerimanya. Begitu tamu kembali ke tempat asalnya, kembali pulalah ilmu itu dan meninggalkan Indonesia. Keadaan ini terus berlangsung sampai para ilmuwan tamu itu menyadari benar perlunya menumbuhkan entomologi di Indonesia sendiri. Gagasan ini tidak muncul seketika, tetapi memerlukan akumulasi yang akhirnya tercetus menjadi kenyataan, ketika pada akhir abad ke-19, tahun 1894, didirikan laboratorium serangga di Bogor. Waktu inilah titik awal diresmikannya penumbuhan entomologi di Indonesia.
Dari awal tersebut mulailah entomologi merayap di bumi Indonesia menelusuri jalan perkembangan yang tidak luput dari pasang dan surut. Pada tahap permulaan, ruang lingkup entomologi ini masih sangat terbatas, yang tidak lain adalah pengenalan dan pergaulan dengan hama. Terdorong kebutuhan mengenal nama jenis hama, entomologi berkembang menjadi taksonomi alfa1, terbatas pada pengenalan dan pemberian nama serangga.
Tahap awal taksonomi ini di Indonesia tidak pernah berkembang lebih lanjut. Sumber daya pendukungnya, ditambah kebutuhan terhadap entomologi yang terpusatkan pada penanganan hama setempat dan prestise dunia, membatasi entomologi pada lingkup yang sempit. Sedikit perkembangan terjadi bersama kegiatan Alfred Russel Wallace. Pada masa 1837-1879, A.R.Wallace melakukan kegiatan penjelajahan di Sulawesi Utara dan sekitarnya, untuk mengungkapkan peran dan kedudukan takson serta hubungannya dengan daerah sebarannya. Perkembangan ini tidak dapat berlanjut karena pengetahuan biologi secara umum yang menjadi kaitan perkembangan entomologi tersebut belum dimiliki oleh peneliti entomologi di Indonesia pada waktu itu. Corak entomologi di Indonesia tetap merupakan taksonomi klasik terbatas pada identifikasi nama ilmiah.
Keadaan demikian tidak statis, masih ada sentuhan perkembangan. Segi-segi lain juga berkembang, didorong kebutuhan yang harus dipenuhi pada waktu itu. Entomologi yang berkaitan dengan penyakit daerah tropika, seperti malaria dan filariasis, timbul dari kebutuhan untuk mengatasi masalah penyakit yang dihadapi ilmuwan tamu dan pelaksana pemerintahan dari luar pada waktu itu. Di sektor pertanian, entomologi dikembangkan untuk mengatasi masalah gangguan terhadap produksi pertanian, termasuk peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Perkembangan entomologi yang berkaitan dengan pertanian ini mengikuti jalur yang sempit, terbatas pada kebutuhan menangani masalah-masalah pada komoditi pertanian yang terbatas.
Telusuri Perkembangannya
Perkembangan kegiatan entomologi di Indonesia telah berlangsung tanpa kepastian periode. Tidak ada indikator yang secara jelas menunjukkan akhir suatu masa atau indikator lain yang mengawali masa baru. Oleh karena itu, pengelompokan kegiatan entomologi di Indonesia akan didasarkan pergantian abad. Karena catatan yang dapat digunakan untuk menarik balik kegiatan entomologi tersedia hanya mulai abad ke-19, kegiatan entomologi di Indonesia dibagi menjadi era sebelum dan sesudah abad ke-20. Dalam abad ke-20, kegiatan dapat dikelompokkan menjadi sebelum dan sesudah Perang Dunia II.
Sebelum Abad ke-20
Penelusuran perkembangan pada periode ini ditarik ke belakang sampai sejauh waktu yang tak dapat ditentukan. Walaupun demikian, perkembangan yang terjadi mempunyai titik-titik pusat tertentu. Adanya kegiatan oleh tokoh tertentu atau peristiwa tertentu dapat menandai pusat kegiatan entomologi pada masa yang bersangkutan. Kegiatan ilmiah yang mulai mengungkapkan keadaan fauna pada umumnya – menyangkut pula artropoda – terjadi ketika George Everhard Rumph atau yang lebih dikenal dengan nama Georgii Everhardi Rumphius mengirimkan sepucuk surat tertanggal 20 Agustus 1662 kepada Direktur Utama “East Indies Company” (Vereeniging Oost Indi‘ Companie – VOC). Dalam surat tersebut dikemukakan permohonannya untuk bekerja mempertelakan berbagai kelompok makhluk dengan mencakup binatang. Pekerjaan ini terlaksana untuk kawasan Ambon dan sekitarnya. Kematian Rumphius pada awal abad ke-18 (1702) mematikan pula pelita penelusuran perkembangan ilmu mengenai binatang pada awal abad ke-18 ini.
Dari tahun 1700-an tidak banyak hal mengenai kegiatan entomologi di Indonesia yang dapat dikemukakan. Tidak ada tokoh atau peristiwa yang layak dicatat atau memberikan pertanda kegiatan entomologi. Dalam hal ini hanya dapat diambil deduksi terhadap dampak yang mungkin terjadi dengan terbitnya Systema Naturae edisi ke-10 oleh Carol von Linne (Carolus Linnaeus) pada tahun 1758. Buku ini telah merangsang para muridnya untuk melakukan kegiatan penjelajahan ke segala pelosok dunia. Rangsangan ini telah mendorong pula Francis Walker dari Inggris dan J. van der Wulp dari negeri Belanda untuk menjamahkan tangannya di kawasan Indonesia pada awal tahun 1800-an. Kegiatan entomologiwan Eropa di Indonesia ini dan di berbagai kawasan yang masih belum banyak terjamah, seperti Mesir, India, Birma, Indocina, dan Filipina, merupakan akibat perkembangan semangat penjelajahan ilmuwan – lebih tepatnya penggemar alam – yang dipelopori Carolus Linnaeus sejak beberapa dasawarsa sebelum pertengahan abad ke-18. Berpuluh tahun kegiatan entomologi hanya berkisar pada penemuan takson baru serangga.
Kegiatan penjelajahan sebagai dampak karya Linnaeus ini masih terus berlangsung. Pada masa itu, penjelajahan dan penemuan takson merupakan inti kegiatan biologi. Hasil penjelajahan yang berupa penemuan dan pertelaan spesies baru akan mengangkat derajat penemunya. Konsentrasi penjelajahan ditentukan terutama untuk tujuan pengungkapan unit-unit baru fauna, khususnya serangga. Dalam perkembangan selanjutnya, pengungkapan unit baru ini mempunyai corak yang sudah berbeda. Dengan penjelajahan seorang naturalis Alfred Russel Wallace pada tahun-tahun mendekati pertengahan abad ke-19, kegiatan entomologi di Indonesia bukan saja mengungkapkan adanya takson, tetapi juga peran dan kedudukan takson dalam habitatnya serta makna adanya takson terhadap susunan kehidupan di suatu kawasan. Penjelajahan dengan proyeksi sasaran seperti ini merupakan revolusi ilmu yang berkaitan dengan makhluk. Perkembangan semacam ini dimungkinkan karena kegiatan A.R. Wallace kebetulan meliputi dua region utama fauna dengan daerah peralihannya – yang kini dikenal sebagai Wallacea.
Kesimpulan dari pengamatan terhadap serangga dan komponen fauna lainnya di kawasan yang terbatas ini menyamai deduksi yang disusun oleh Charles Robert Darwin. Dari perjalanannya mengelilingi dunia bersama kapal “The Beagle”, Charles Darwin menyimpulkan data dan informasi alami yang diperolehnya ke arah pengembangan teori evolusi hayatinya. Dari deduksi A.R. Wallace terbukti bahwa pengamatan entomologi yang dikembangkan di Indonesia telah menjadi salah satu titik tumpuan perkembangan biologi modern (Wallace, 1890). Sayangnya, pengetahuan biologi umum pada waktu itu belum memadai untuk memanfaatkan penemuan Wallace dan Darwin. Kembalilah corak kegiatan entomologi di Indonesia kepada yang klasik, yaitu penjelajahan untuk menemukan takson baru. Walaupun demikian, kegiatan penjelajahan telah pula menimbulkan dampak sampingan di sisi lain. Timbullah beberapa sisi terapan, baik yang langsung maupun yang tak langsung, yang menyangkut sektor pertanian (dalam arti luas) dan kesehatan.
Mengikuti kegiatan penjelajahan di belantara Nusantara, timbullah pula keluaran tambahan selain penemuan takson baru. Ada pengaruh kebuasan belantara tropik yang terasa oleh para penjelajah. Yang sangat terasa ialah gangguan kesehatan yang dialami oleh para penjelajah dan pejabat pemerintahan yang bukan berasal dari Indonesia (Snapper, 1945). Gangguan utama ialah penyakit tropik. Tekanan penyakit tropik mendorong terbentuknya pelayanan kesehatan yang dilembagakan pada tahun 1826. Beberapa fokus diberi perhatian utama, di antaranya ialah malaria dan filariasis. Kedua segi kesehatan ini melibatkan serangga dan tentunya memerlukan pula penelitian dan pengembangan entomologi pada jalur ini. Mulai dari kejadian inilah secara resmi entomologi kesehatan tumbuh di Indonesia.
Di sektor pertanian perhatian utama pada waktu itu diberikan kepada pengembangan komoditi ekspor dan pertanian pangan. Komoditi ini merupakan andalan pemerintah kolonial pada waktu itu. Justru terbentuknya pemerintahan kolonial ialah karena komoditi ini. Pada pertengahan abad ke-19, mengikuti perkembangan kultuur-stelsel pada awal abad tersebut, penelitian mulai diarahkan kepada penggarapan perkebunan. Untuk keperluan ekspor dari sektor ini pengembangannya berlangsung sejak 20 tahun sebelum berakhirnya abad ini. Entomologi perkebunan berkembang secara khusus di samping entomologi pertanian lainnya.
Dalam Abad ke-20
Sebenarnyalah abad ke-20 ini merupakan awal perkembangan dan pemekaran kegiatan entomologi di Indonesia. Penjelajahan yang mengungkap-kan penemuan baru serta usaha meningkatkan komoditi ekspor dari perkebunan dan produksi tanaman pangan menimbulkan kebutuhan membangun laboratorium sendiri di Indonesia. Permasalahan utama ialah penanganan terhadap binatang. Inilah alasan utama diresmikannya laboratorium zoologi di Bogor pada tahun 1901. Sebelum secara resmi berdiri, laboratorium ini telah menggelar kegiatannya sejak tahun 1894. Inilah pula titik tolak pengembangan entomologi di Indonesia. Laboratorium ini diberi nama “Landbouw-Zoologische Labortorium” (Lieftinck dan van Bemmel 1945) diprakarsai oleh Melchior Treub sebagai Direktur Kebun Raya (‘s Land Plantentuin) dan dipercayakan kepada Koningsberger sebagai pengelolanya. Kemudian sejak pertengahan tahun 1940-an sampai kini terkenal dengan nama Musuem Zoologicum Bogoriense (Kadarsan et al. ,1994).
Sejak pendirian laboratorium ini, kegiatan entomologi di Indonesia – yang penyelesaiannya dilakukan di Indonesia sendiri – memperlihatkan dua jalur utama. Perpecahan dua jalur ini tidak dapat dihindarkan karena adanya dua macam kebutuhan yang berbeda, yaitu tradisi prestise dan kebutuhan ekonomi komersial. Penjelajahan untuk mengungkapkan penemuan takson dan identifikasi memperoleh kedudukan resmi, sedangkan penelitian peri laku dan peran serangga terhadap komoditi pertanian mendapat bantuan penyelesaian dari segi taksonominya. Penjelajahan menjadi tidak terbatas pada lingkup takson, tetapi juga mencakup pengamatan yang berkaitan dengan segi terapan. Kegiatan entomologi di laboratorium zoologi di Bogor ini cenderung untuk berfokus pada taksonomi. Kegiatan entomologi pertanian terakomodasi di lembaga yang berbeda. Peristiwa ini telah mengawali dan mendasari terpisahnya entomolgi dasar (basic) yang tetap bermukim di ‘s Land Plantentuin yang kemudian menjadi lembaga penelitian di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan entomologi terapan (applied) di Departemen Pertanian Indonesia.
Entomologi Terapan
Berbagai kegiatan entomologi yang berkaitan dengan ekonomi negara telah dilakukan sejak awal abad ke-20. Pada waktu itu negara ialah pemegang perdagangan yang telah diserahkan oleh VOC sejak tahun 1798 ketika VOC menyatakan diri pailit2. Kegiatan-kegiatan entomologi yang penting pada waktu itu termasuk penanganan terhadap hama teh pada tahun 1906. Kegiatan semacam ini bertambah meluas setiap tahun. Komoditi yang mendapat perhatian berikutnya ialah karet. Di samping itu, kelompok tanaman yang tidak menjadi komoditi ekspor pun memperoleh perhatian pula, di antaranya anggrek dan Ficus. Mulailah dilaksanakan pengamatan tehadap hama secara umum, termasuk serangga-serangga yang menjadi parasitnya. Sementara kegiatan entomologi pada komoditi tersebut terus berjalan, penambahan cakupan komoditi berlangsung juga. Pada awal dasawarsa kedua abad ini dimulailah penanganan terhadap hama coklat dan tembakau. Kemudian, penelitian dalam aspek entomologi ini berkembang lebih lanjut mencakup kina. Perkembangan ini rupanya terjadi pula pada sektor lain, termasuk kehutanan, di antaranya penanganan terhadap hama kayu jati.
Dimulai pada awal abad ke-20 ini, sebelum ditutupnya dasawarsa pertama, perhatian telah diberikan kepada serangga-serangga pengganggu padi. Perhatian ditujukan kepada hama pertama, Agrotis sp. dan Hesperia philino. Penelitian terhadap hama padi ini mendapat perhatian khusus dan dilakukan secara terus-menerus, sehingga parasitnya pun ikut diperhatikan. Kemudian dapat pula diungkapkan berbagai hama yang lain, penggerek batang padi dan wereng. Telah disadari sejak tahun 1916 bahwa wereng sangat berbahaya dan dapat memusnahkan padi. Kepentingan penelitian hama padi ini tercermin pada curahan perhatian khusus oleh K. W. Dammerman sejak tahun 1915, lima tahun sejak dia diangkat secara resmi menjadi entomologiwan3. Setahun sebelumnya, ia telah mulai penelitiannya dengan percobaan pemberantasan penggerek padi.
Selain memberikan perhatian khusus pada padi, Dammerman menyadari pentingnya belalang Valanga nigricornis sebagai hama. Kesadaran timbul setelah terjadinya keganasan belalang ini di daerah Semarang-Rembang dan Madiun. Sinyelemen Dammerman ternyata benar, yaitu setelah satu tahun kemudian, pada tahun 1916, dengan terjadinya serangan Valanga nigricornis yang menghabiskan perkebunan jati di Jawa Timur dan kelapa di daerah sekitarnya. Serangan belalang terjadi juga pada tahun yang sama di Ternate dan Halmahera, sehingga menurunkan jumlah ekspor.
Perhatian terhadap hama kelapa secara umum sebetulnya telah diberikan pada tahun 1913, ketika terjadi serangan Artona. Serangan ini menghebat pada tahun 1915, ketika perhatian lebih banyak ditujukan kepada padi. Mungkin karena pengalaman ini, selain diperdalamnya pengamatan terhadap hama padi, seperti walang sangit dan wereng, peningkatan pengamatan hama juga dilakukan terhadap kopi dan coklat serta kelapa sawit. Pengungkapan hama kelapa berlangsung terus sampai memunculkan spesies-spesies seperti Hidari irava, Oryctes dan Chalcosoma. Sementara Itu, serangan Artona makin meluas, sehingga pada tahun 1917 dilakukan penelitian khusus terhadap hama kelapa di Padang.
Di samping padi, komoditi pangan yang mendapat perhatian ialah jagung dan ubi jalar. Hama jagung mulai diperhatikan pada tahun 1909, bersamaan dengan perhatian terhadap padi. Dua tahun kemudian barulah pada ubi jalar. Terhadap ubi jalar ini penelitian terus dilakukan sampai penemuan Herse convolvuli dan spesies-spesies hama lainnya pada tahun 1917. Di samping spesies-spesies dari ubi jalar, penemuan hama diperoleh juga dari tumbuhan merambat lainnya, yaitu yang berupa lalat hama kerabat waluh (Cucurbitaceae).
Dengan pengalaman dalam menghadapi serangan hama dan pengetahuan tentang penanggulangannya pada tahun 1917 ini, makin banyak spesies hama yang diungkapkan. Pertambahan jumlah hama dan cara penyerangannya mendorong para entomologiwan dan ahli pertanian untuk mengubah konsep pemberantasan hama. Penjelajahan pengungkapan hama meluas sampai Sumatera. Dari pengalaman tersebut mulai disadari perlunya perhatian terhadap daur hidup serangga. Pada tahun 1913 Dammerman mulai memberikan perhatian dengan ikut meneliti ekologi hama. Dua tahun sebelumnya, aspek ekologi sebetulnya sudah disentuh, dengan dilakukannya penelitian terhadap aspek pestisida.
Selagi orang sibuk menangani berbagai hama, yang makin lama terlihat makin banyak, terjadilah pemasukan lalat buah, Ceratitis capitata, yang terbawa ke Indonesia melalui buah-buahan yang diimpor dari Australia. Pada waktu itu belum ada perhatian khusus untuk menghadapi masuknya spesies asing ke dalam negeri. Dari kejadian pada tahun 1914 ini timbul usaha untuk melakukan pencegahan pemasukan hama dari luar. Penjagaan ini dilakukan pula terhadap buah-buahan yang dimasukkan dari kawasan sekitar Lautan Tengah. Pada waktu itu gagasan mengenai karantina belum ada, tetapi kejadian ini mungkin menjadi dasar pengembangan karantina pertanian di Indonesia.
Penjelajahan, pengamatan dan penemuan untuk mengungkapkan hama pertanian berlangsung terus. Hama kacang-kacangan, pisang, kakao, agave, kentang dan lain-lainnya mulai terungkap. Kemajuan berlangsung terus sampai terjadinya Perang Dunia II. Walaupun demikian, catatan keadaan hama pertanian atau tanaman yang terdapat di Indonesia masih sempat terkumpul. Kumpulan catatan ini tersusun dalam buku-buku yang diterbitkan oleh L.G.E. Kalshoven dan J. Van der Vecht, serta H.J.V. Sody dan A.C.V. van Bemmel untuk mamalia dan burung.
Di Laboratorium Lama
Kegiatan lain entomologi untuk mengungkapkan keanekaragaman takson berlangsung terus. Kira-kira enam tahun setelah disediakannya laboratorium entomologi, mulailah berdatangan tamu peneliti dari luar negeri. Kejadian ini mendorong timbulnya kesadaran terhadap arti koleksi ilmiah yang berupa spesimen. Dengan kesadaran ini Laboratorium Zoologi di Bogor yang telah didirikan itu mulai mengadakan ekspedisi pengumpulan ke daerah-daerah di luar Jawa. Di samping mengirimkan ekspedisi, lembaga ini memperkaya koleksinya dengan menerima kiriman material ilmiah dari penyumbang. Walaupun demikian, kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dari luar negeri, misalnya J.C.T. de Meijere, terus pula berjalan tanpa peninggalan material untuk dikelola di Laboratorium Zoologi di Bogor.
Ekspedisi dan eksplorasi terus berlangsung. Ilmuwan maupun amatir yang tinggal di Indonesia atau yang datang dari luar negeri, menjelajah negeri dan mengumpulkan material. Determinasi jenis serangga menunjukkan kepentingannya yang makin terasakan manfaatnya. Pengenalan ini telah meletakkan jembatan yang menghubungkan penjelajahan dengan penelitian peri laku serangga. Pada tahun 1880 dimulai usaha swasta yang bergerak dalam perkebunan tebu. Kegiatan inventarisasi dan identifikasi serangga Indonesia berlangsung untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan perkebunan ini. Kegiatan ini kemudian berkembang sampai akhirnya bersambung dengan kegiatan yang dikembangkan di Laboratorium Zoologi di Bogor pada tahun 1894.
Penelitian yang berkaitan dengan penjelajahan ini sering dikenal dengan sebutan entomologi murni atau entomologi dasar. Dalam jalur ini kegiatan terbatas pada pengenalan serta pertelaan spesies yang ditemukan. Keterbatasan ini sering menimbulkan anggapan bahwa entomologi dasar kurang bermanfaat. Di sela-sela kerutinan ini muncul penggarapan terhadap segi lain, misalnya ekologi dan geografi, seperti yang dilakukan oleh Dammerman (1948) di Kepulauan Krakatau dan terhadap serangga tanah. Seperti pada jalur lain, kegiatan ini memudar pada masa Perang Dunia II. Pudarnya entomologi ekologi dan geografi melaju karena berbagai faktor penyebab. Manfaat yang langsung dirasakan belum jelas. Hasil penelitian entomologi ekologi dan geografi belum diperlukan pada waktu itu. Oleh kerena itu, penelitian pada bidang ini menjadi hambar.
Dalam periode sebelum Perang Dunia II ini terlihat makin banyak ahli yang menekuni entomologi. Kebanyakan atau hampir semuanya adalah orang Eropa, terutama Belanda. Pada tahun 1929 didirikan cabang perhimpunan yang berinduk pada yang ada di negeri Belanda, yaitu Afdeeling Nederlandsche Oost Indi‘ van der Nederlandsche Entomologische Vereeniging. Dengan pertimbangan (1) lebih banyak anggota yang berada di Indonesia daripada yang berada di Negeri Belanda, dan kesulitan dalam komunikasi antara anggota dan Pengurus Pusat, serta (2) kekhasan fauna serangga daerah tropika, cabang ini menjadi perhimpunan terpisah. Pada tahun 1934, perhimpunan ini mandiri dengan nama Nederlandsche-Indische Entomologische Vereeniging (NIEV) yang berkedudukan di Bogor. Kegiatan NIEV terpaksa terhenti karena adanya Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 1941.
Setelah Perang Dunia Kedua
Sesudah Perang Dunia II kegiatan entomologi di Indonesia tidak segera bangkit kembali. Perang dan pendudukan Jepang benar-benar menghentikan laju kegiatan entomologi. Walaupun demikian, pada akhir tahun 1949, dirintis suatu pendirian “klub” yang akhirnya menjelma menjadi suatu perhimpunan yang dinamai Entomologische Vereeniging in Indonesi‘ (EVI – Perhimpunan Entomologi Indonesia). Perhimpunan yang sudah mulai berdiri ini segera membentuk anggaran dasar yang pada asasnya mirip anggaran dasar NIEV, yaitu mendorong dan merangsang perkembangan ilmu serangga di Indonesia. Perhimpunan ini menerbitkan majalah Idea, yang bertahan terbit sampai tahun 1960. Karena anggaran dasar EVI dinyatakan berlaku sampai tahun 1964, diedarkan surat dari Pengurus Perhimpunan ini untuk mendirikan kembali perhimpunan entomologi di Indonesia. Baru pada tahun 1970, upaya pendirian ini berhasil dengan dibentuknya Perhimpunan Entomologi Indonesia di Salatiga pada tanggal 1 Oktober.
Dalam periode 1950-an sampai akhir tahun 1960-an kemacetan bertambah menonjol dengan situasi negara yang tidak memungkinkan pemulihan kegiatan penelitian. Dampak Perang Kemerdekaan, pemberontakan di beberapa daerah, dan situasi keuangan negara serta tiadanya tenaga pelaksana, praktis menghentikan perputaran roda kegiatan entomologi di Indonesia. Keadaan ini berlarut sampai mendekati akhir tahun 1960-an. Dalam periode kemacetan ini masih sempat dilakukan beberapa kali ekspedisi pengumpulan oleh Museum Zoologicum Bogoriense serta penelitian terbatas oleh lembaga-lembaga di lingkungan Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan. Selain jumlahnya yang amat terbatas, mutunya pun tidak terlalu dapat diharapkan, apalagi dampaknya.
Dalam suasana memprihatinkan ini para peneliti dan ilmuwan Belanda yang hampir mendominasi kegiatan ilmiah di Kebun Raya Bogor, yang menjadi pusat kegiatan biologi dengan “cabang-cabangnya” dalam botani, zoologi dan mikrobiologi, melakukan perpindahan massal ke negeri leluhurnya (Adisoemarto, 1999). Eksodus ini mendorong didirikannya Akademi Biologi pada tahun 1955. Selain Akademi Biologi, usaha untuk mengisi kekosongan di bidang pertanian juga pendirian Kursus Akademi Penyelidikan Pertanian pada tahun 1952. Kursus Akademi ini berakhir pada tahun 1957, tetapi kebutuhan akan tenaga memerlukan dilanjutkannya Akademi ini. Adanya Akademi Biologi yang juga diperlukan untuk menghasilkan para biologiwan muda harus dilanjutkan. Dengan strategi yang sangat indah, kedua akademi ini digabung, dan pada tahun 1957 dilanjutkanlah kedua akademi ini dengan Akademi Pertanian. Akademi terakhir ini berlangsung sampai tahun 1968. Dari sinilah dilahirkan entomologiwan dan ahli-ahli pertanian muda awal, yang sanggup mengisi kekosongan posisi ilmuwan dan ahli Belanda yang meninggalkan Indonesia.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) Pemerintah Republik Indonesia dimulai pada tahun 1969. REPELITA ini membangkitkan berbagai kegiatan di Indonesia, termasuk di dalamnya juga kegiatan entomologi. Sedikit demi sedikit kegiatan mengenai serangga mulai digerakkan. Arahnya ditentukan oleh kelompok yang ada dan memungkinkan terjadinya perkembangan. Pada waktu itu, yang menonjol ialah kelompok penelitian terhadap komoditi pertanian, terutama padi, dari gangguan hama. Perkembangan ini dapat terjadi karena terhimpunnya kekuatan kelompok yang telah ditumbuhkan di perguruan tinggi atau tempat pendidikan lainnya. Selain itu, kebutuhan negara dalam mencukupi pangan bagi rakyatnya mendorong penelitian terhadap serangga ke arah penanggulangan hama pertanian, khususnya padi. Mulailah perkembangan entomologi pertanian, yang terpusatkan pada pemberantasan hama padi. Kelompok lainnya praktis tidak mempunyai kekuatan, karena dalam pengem-bangannya tidak pernah dipersiapkan. Pada tahun 1960-an sampai tahun 1970-an keadaan entomologi di Indonesia mirip keadaannya pada awal abad ke-20. Suatu keadaan yang tidak dapat dibanggakan.
Pembobotan Kemajuannya
Publikasi hasil kegiatan entomologi di Indonesia yang terbit segera sesudah Perang Dunia II mencerminkan situasi kegiatan entomologi yang masih sangat terbatas. Keterbatasan ini terasa sekali dalam cakupan sektor maupun kedalaman penelaahannya. Sebelum Perang Dunia II, publikasi didominasi oleh ilmuwan Belanda. Namun dalam perkembangan kemudian ada seorang entomologiwan Indonesia yang pada tahun 1950-an mempertelakan serangga kakao (1950) dan penggerek polong Crotalaria (1958). Penelitian Sutardi ini masih terbatas pada segi terapan di bidang pertanian. Penelitian dasar dilakukan secara sporadis, tetapi pada umumnya oleh peneliti asing yang tinggal sementara di Indonesia. Tidak ada pola baik geografinya maupun kelompok serangga yang ditelitinya. Beberapa yang dilakukan adalah mengenai sistematika lebah madu, lalat dari Nusa Tenggara Timur, nyamuk dari berbagai pulau, dan sekelompok kumbang akuatik dari Flores. Dalam dasawarsa berikutnya, penelitian ditekankan pada segi taksonomi beberapa kelompok pilihan yang menjadi minat pribadi peneliti. Dalam kecamuk serangan hama wereng, dilaksanakan seminar khusus mengenai cara menanggulangi hama yang sangat ditakuti oleh petani dan pemerintah (Sadjad et al., 1977). Di sela-sela perhatian khusus pada wereng dilakukan pula penelitian terhadap pengorok daun palawija, penggerek batang padi, penggerek polong kakao, dan pemeliharaan beberapa parasit (van der Laan, 1981).
Di luar bidang pertanian, peningkatan kegiatan pun terjadi juga karena peningkatan jumlah tenaga pelaksana. Perhatian diberikan kepada bidang kehutanan, kesehatan, dan permukiman manusia. Entomologi dasar mulai bangkit. Makin bertambahnya jumlah entomologiwan dibuktikan oleh timbulnya kebutuhan untuk membuat wadah yang mempersatukan para entomologiwan, yaitu dengan didirikannya Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI), setelah melalui berbagai tahap perkembangan.
Adanya kegiatan yang meningkat terbukti pula dengan makin meningkatnya publikasi mengenai serangga. Pada Kongres Perhimpunan Entomologi I dan Simposium Entomologi pada tahun 1974, tercatat 83 makalah yang disajikan dalam simposium. Sudah menjadi kebiasaan bahwa simposium nasional entomologi menyertai kongres entomologi. Pada simposum berikutnya pada tahun 1983, jumlah ini menjadi lebih dari 200 makalah. Ruang lingkupnya pun menunjukkan perluasan. Lebih banyak kelompok serangga yang dibahas dengan mencakup lebih banyak aspek. Pada simposium ketiga pada tahun 1987, kualita menjadi dasar pertimbangan untuk disertakan dalam penyajian, sehingga jumlah makalah tidak menjadi sasaran dalam simposium, hanya sebanyak 65 artikel. Akan tetapi, untuk membuka peluang bagi entomologiwan muda, kongres keempat dengan simposiumnya pada tahun 1992 di Yogyakarta menerima sebanyak mungkin makalah. Mutu kurang diperhatikan, sehingga untuk dapat diterbitkan sebagai hasil penelitian banyak yang tidak memenuhi syarat. Dari lebih dari 300 makalah yang disajikan dalam Simposium, hanya dua yang layak terbit. Keadaan ini menjadi wigati para entomologiwan senior untuk pengembangan di masa mendatang.
Kemerosotan mutu entomologi di Indonesia tidak dapat dibendung, sehingga pada simposium entomologi yang mendampingi Kongres Entomologi V di Bandung pada tahun 1997, taraf mutu entomologi Indonesia mencapai lapisan yang paling bawah. Hanya segelintir makalah yang mempunyai nilai. Sisanya layak diisikan ke dalam keranjang sampah. Kecenderungan kemerosotan mutu entomologi ini menjadi keprihatinan para entomologiwan senior, sehingga tercetus gagasan untuk mengembalikan entomologi Indonesia ke taraf yang seharusnya, dengan fungsi dan peran, baik dalam menyediakan bahan (informasi dan pengetahuan) maupun dalam bentuk pelayanan. Upaya ini ditempuh dengan beberapa cara, di antaranya ialah diskusi, loka karya, seminar, dan pertemuan ilmiah lain.
Dari pertemuan ilmiah yang dilakukan di sela-sela simposium nasional, ternyata dirasakan adanya perhatian yang diberikan bukan saja kepada sektor pertanian (dalam arti sempit, pemberantasan hama padi), tetapi juga pada kehutanan, baik yang khusus maupun yang umum, kesehatan dan permukiman, serta sektor lain kehidupan, termasuk juga di dalamnya entomologi dasar. Dari pertemuan-pertemuan ilmiah entomologi ini, terasakan pula mulainya tumbuh entomologi selain pertanian (dalam skala sempit). Pada tahun 1977 mulailah tumbuh pula entomologi kehutanan dan entomologi yang berkaitan dengan pengaruh pestisida, serangga serta entomologi di luar pertanian. Aspek-aspek ini tumbuh terus dan lebih berkembang bersama perhatian terhadap segi-segi pengelolaan hama, yang pendekatannya tidak saja dari segi pemberantasannya secara langsung, tetapi juga dari disiplin lainnya. Perkembangan entomologi ini terus berlangsung hingga kini, melalui berbagai dorongan maupun rintangan.
Deperlukan Mekanisme Dukungan
Dilihat dari segi kuantitas pelaksananya, perkembangan entomologi di Indonesia menunjukkan titik-titik cerah. Peran serangga dalam ekosistem makin dirasakan, khususnya dalam penanganan hama pertanian, terutama padi, sehingga kebutuhan akan pelaksana dalam menangani serangga semakin terasa. Walaupun demikian, perhatian lebih besar masih harus diberikan kepada peningkatan kualitasnya. Keterbatasan pada cakupan yang ditangani dan pengembangan sumber daya manusianya masih belum mampu memperluas wawasan entomologi di Indonesia. Dorongan utama dalam perluasan wawasan ini dan untuk meningkatkan mutu pelaksana entomologi datang dari kesadaran makin dirasakan perlunya entomologi untuk berfungsi dan berperan dalam pembangunan berkelanjutan.
Pada era pembangunan pertanian di Indonesia berlangsung upaya pengembangan pengendalian hama terpadu (PHT). Konsep pengendalian ini mengharuskan dikenalnya berbagai kelompok serangga dan artropoda lain yang terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dalam proses pengendalian. Pengenalan ini meliputi juga pengenalan terhadap peri laku, ciri, dan sifat-sifat lain yang dimiliki serangga dan artropoda, baik pengendalinya maupun yang dikendalikan. Kebutuhan ini memerlukan wawasan entomologi yang lebih luas daripada sekadar mengenal hama dan cara mematikannya. Akan tetapi, pengembangan wawasan ini pun masih belum menyentuh kebutuhan akan dikembangkannya entomologi secara mendasar.
Dalam awal tahun 1990 Perhimpunan Entomologi Indonesia mencoba mengangkat entomologi dasar ke permukaan. Tekad ini dicetuskan karena terasa makin terbenamnya entomologi dasar di Indonesia. Para entomologiwan senior menyadari makin memudarnya disiplin cabang-cabang entomologi dasar yang disebabkan oleh adanya desakan permintaan untuk menyelesaikan masalah entomologi yang sangat urgen. Maka berkembanglah suatu kecenderungan untuk mencari teknologi dan teknik yang tepat dan murah dalam waktu dekat. Kenyataan ini tercermin dari kebijakan penanggulangan hama, dengan jalan pintas menuju pemberantasan hama. Keadaan yang tidak menguntungkan bagi entomologi dasar ini diperberat dengan banyaknya masalah hama yang perlu segera diselesaikan. Dengan kondisi seperti ini tidak ada kesempatan untuk memperlajari secara mendasar sebab-sebab yang menimbulkan masalah. Akibat yang timbul dari pendekatan seperti ini ialah tidak pernah tercapainya taraf kemampuan untuk mengantisipasi masalah yang akan timbul dan mempersiapkan ilmu-ilmu dasar yang harus diramu untuk menghadapi datangnya masalah baru. Akibat lebih lanjut yang terjadi ialah penanganan masalah – hama dan lain-lain yang berkenaan dengan serangga – secara sekadar pelaksanaan tugas, yang tak berbeda dengan tugas pemadam kebakaran.
Keadaan memaksa untuk tidak menerapkan ilmu-ilmu dasar entomologi mengakibatkan tidak adanya kesadaran akan proses berkelanjutan dan jalinan aspek ilmu dasar :
1.     Kisaran ilmu dasar dan kisaran ilmu terapan entomologi akan membentuk kesinambungan. Dalam bidang entomologi pun, produk yang dihasilkan ilmu dasar akan menjadi dasar bagi ilmu yang menerapkannya. Produk yang dihasilkan oleh ilmu yang menerapkan ini akan menjadi dasar bagi ilmu lainnya yang akan menerapkannya lebih lanjut. Rangkaian ini berlangsung terus sebagai proses yang bersinambung;
2.     Ilmu dasar entomologi ialah sumber keberhasilan dan berfungsinya ilmu terapan;
3.     Sebaliknya, ilmu dasar entomologi dapat dikembangkan dari ilmu terapan.
Tiadanya kesadaran ini melepaskan kebutuhan terhadap ilmu dasar entomologi dalam pelaksanaan pembangunan. Antara ilmu dasar dan pembangunan tidak terlihat jalinan yang eksplisit. Renggangnya jalinan ini diperbesar dengan kenyataan bahwa terhadap kerugian yang ditimbulkan dari tidak dikuasainya ilmu-ilmu dasar entomologi belum dilakukan perhitungan ekonomi, khususnya dalam bentuk rupiah.
Ramifikasi jalinan ilmu dasar dan ilmu terapan entomologi dan jalur panjang yang harus ditempuh sehingga ilmu dasar entomologi dapat menunjukkan kepentingannya membat ilmu dasar entomologi terasa kering dan tidak bermanfaat. Hasil yang segera dapat dirasakan tidak dapat segera dilihat. Akibat keadaan ini ialah dihindarinya pendalaman terhadap ilmu-ilmu dasar dalam entomologi – misalnya morfologi dan anatomi, histologi, fisiologi, genetika, dan taksonomi – di arena pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. Ilmu dasar entomologi dianggap sebagai beban yang tidak menghasilkan buah. Merupakan kenyataan bahwa sampai kini, awal abad ke-21, sistem pendidikan di perguruan tinggi di Indonesia belum mendukung penempatan ilmu dasar, khususnya entomologi, pada perspektif yang sebenarnya.
Dicetuskannya Convention on Biological Diversity (CBD) dan beberapa keputusannya, mencanangkan perlunya dimanfaatkannya entomologi secara tepat guna. Dalam pertemuan para Pihak (peratifikasi CBD) – COP 3 di Buenos Aires, Argentina, dikeluarkan Decision III CBD yang mencakup pemanfaatan entomologi. Dengan tegas dinyatakan perlunya pelibatan penanganan terhadap keanekaragaman serangga, dalam aspek-aspeknya, untuk memanfaatkan keberadaannya. Beberapa aspek yang secara eksplisit disebutkan dalam isu untuk pengkajian khusus ialah serangga penyerbuk. Aspek-aspek yang disarankan untuk dikaji ialah (1) pemantauan terhadap hilangnya serangga penyerbuk pada skala dunia, (2) identifikasi penyebab khusus menurunnya serangga penyerbuk, (3) estimasi biaya ekonomi yang berkenaan dengan berkurangnya penyerbukan pada tanaman, dan (4) identifikasi dan dorongan terhadap penerapan praktek-praktek pelestarian untuk mempertahankan penyerbuk utama atau untuk mengembalikan keberadaannya.
Penerapan kajian tersebut telah pernah dicoba dengan perluasan cakupan, yang bertujuan untuk merintis kembali dan membina pengembangan ilmu-ilmu entomologi dasar di Indonesia. Telah ditempuh pendekatan terhadap isu-isu tematik, yang mencakup pemantauan status pengetahuan terhadap penanganan serangga hama dilihat dari segi-segi ilmu dasar yang telah diterapkan dalam upaya penanganan tersebut. Penelaahan yang sama juga dilakukan terhadap artropoda tanah (Suhardjono et al., 2001), ekosistem perairan, dan serangga penyerbuk sendiri. Telah terpolanya pemikiran dalam penanganan serangga hama sebagai inti dalam pengkajian terhadap entomologi, pengungkapan status pengetahuan mengenai serangga yang terlibat dalam segi pendekatan tersebut masih kurang dapat membawa kebanyakan entomologiwan Indonesia untuk memahami pentingnya ilmu dasar entomologi dalam memecahkan permasalahan entomologi.
Tingkat pemahaman seperti yang diuraikan di atas telah memperbesar rintangan dalam menghidupkan ilmu-ilmu dasar entomologi. Rintangan ini terwujud dalam bentuk penyederhanaan bahkan peniadaan pengajaran entomologi di perguruan tinggi, menjadi hanya sekadar pengenalan jenis, dan klasifikasi dalam invertebrata, bukan entomologi yang sebenarnya. Penyebabnya ialah tidak dipahaminya kaidah entomologi oleh pengajar/dosen entomologi. Para dosen ini pun mendapat pemahamannya dari pengajaran sebelumnya. Kurikulum mengenai entomologi di perguruan tinggi dan sekolah menengah menjadi tidak jelas, bukan mengajarkan entomologi tetapi lebih pada penghafalan spesies yang berkaitan dengan perannya sebagai hama dan musuh alami. Status entomologi seperti ini tidak dapat dibiarkan. Pengajaran entomologi harus dikembalikan pada pengajaran mengenai materi entomologi dalam pengertian yang benar.
Dari uraian di atas, tampak jelas corak entomologi secara menyeluruh dalam dimensi waktu. Walaupun demikian, dalam sektor-sektor lain perkembangan entomologi belum diungkapkan. Pada sektor-sektor kehutanan, peternakan, kesehatan, dan permukiman ada kemungkinan besar bahwa keadaannya tidak jauh berbeda, kalaupun ada perbedaannya. Pada kenyataannya, bahkan mungkin agak terabaikan. Kepincangan seperti ini dapat dimengerti karena jika dibandingkan dengan keadaan tanaman pangan, khususnya padi, komoditi di luar tanaman relatif tidak terlalu banyak dikerumuni serangga hama atau pengganggu. Bobot terberat masih pada penanganan hama padi. Entomologi sebagai ilmu masih memerlukan uluran tangan untuk dikembangkan menjadi ilmu yang benar-benar entomologi.
Lebih penting daripada penanganan terhadap kekurangan dalam sektor-sektor yang terabaikan itu ialah penanganan sektor pendidikan entomologi. Tidak jelas pula bagaimana pendidikan entomologi berkembang di Indonesia sesudah Perang Dunia II. Dalam kenyataannya kini pendidikan entomologi di kebanyakan perguruan tinggi terlalu bersifat pragmatis dan praktis. Pengetahuan dasar entomologi tidak pernah menjadi menu dalam mata kuliah entomologi. Segi-segi mendasar yang diperlukan untuk memahami kehidupan serangga kurang mendapat perhatian. Tidaklah mungkin dengan pendidikan entomologi seperti ini akan dapat dikembangkan entomologi Indonesia yang dapat secara kokoh menjadi tiang utama dengan landasan yang kokoh pula dalam menangani permasalahan yang ditimbulkan oleh serangga.
Perkembangan entomologi dan segi pendidikannya yang terjadi di Indonesia seperti yang diuraikan di atas tidak terlalu menyimpang dari jalur perkembangannya. Dari semula kaitan penelitian entomologi di Indonesia dengan pendidikan entomologi di Indonesia tidak terjalin secara tegas dan jelas. Sampai kini belum pernah dirumuskan entomologiwan yang bagaimana diperlukan untuk menangani masalah entomologi yang akan berkembang atau terproyeksikan di masa mendatang. Kebutuhan terhadap entomologiwan ini belum pernah dihitung, karena entomologi yang bagaimana yang dapat berfungsi dan berperan untuk menyongsong perkembangan permasalahan yang akan timbul pada masa mendatang pun belum juga diperhitungkan. Oleh karena itu, pemaduan program penelitian dengan program pendidikan entomologi di Indonesia masih mempunyai peluang besar untuk dikembangkan.
Menuju Entomologi yang Mengantisipasi
Entomologi yang telah berkembang di Indonesia sampai saat ini belum mempunyai bentuk yang mantap. Perkembangannya masih terbatasi penggunaan secara pragmatis, yaitu pada penanggulangan hama pertanian, terutama komoditi industri dan ekspor. Walaupun di sektor ini entomologi telah lebih berkembang daripada di sektor lain, perkembangan ini masih belum terlepas dari hambatan, karena justru aspek entomologi yang menjadi landasan perkembangan dalam penanggulangan hama itu sendiri belum dikembangkan dengan semestinya.
Secara konseptual belum ada kemantapan arah perkembangan entomologi di Indonesia, bahkan pemikiran pengembangannya pun belum tumbuh. Dalam keadaan seperti ini sukarlah menempatkan entomologi di Indonesia menjadi ilmu yang memimpin, apalagi sebagai entomologi yang dapat mengantisipasi. Pedoman utama yang akan dapat mengarahkan pengembangannya ialah sektor dalam kehidupan manusia Indonesia. Dengan meramalkan perkembangan ini, program entomologi di masing-masing sektor dapat direncanakan, dan pengembangannya dapat dipastikan.
Aspek entomologi secara umum telah menduduki tempat utama dalam permasalahan pada lingkungan manusia. Peran ini ditunjukkan secara langsung dalam sektor-sektor pertanian, kehutanan, kesehatan, dan lingkungan permukiman. Alasan kepentingannya ditimbulkan oleh adanya hubungan langsung antara serangga dan manusia. Hubungan ini akan selalu ada dan berkembang, selama manusia masih mengembangkan kebudayaannya melalui empat sektor tersebut. Perkembangan hubungan ini menuntut dikembangkan-nya entomologi yang tepat guna, yang di masing-masing sektor harus diperhitungkan. Perkembangan pada keempat sektor tersebut harus dipantau secara terus-menerus, sehingga program yang diperlukan dalam setiap sektor dapat diketahui, dan entomologi yang mendasarinya dapat diantisipasi.
Berdasarkan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia, keempat sektor tersebut akan berkembang secara pesat pula. Produksi pertanian harus ditingkatkan, baik dalam volume maupun dalam mutu, sumber daya hutan harus dimanfaatkan secara berkelanjutan, pelayanan kesehatan harus diper-baiki, permukiman harus diperluas, dan lingkungan harus ditata sedemikian rupa sehingga serasi dan layak untuk kehidupan manusia. Peningkatan kegiatan dalam keempat sektor tersebut akan menuntut pendayagunaan entomologi untuk mengatasi masalah yang timbul.
Sektor Pertanian
Kegiatan entomologi mempunyai dua segi, pertama sebagai penunjang (promotor) meningkatnya produksi, dan kedua sebagai pelaku produksi itu sendiri. Aspek penunjang meningkatnya produksi memerlukan berperannya entomologi dalam komponen-komponen yang berupa kemampuan tanah untuk pertanian, proteksi terhadap penghasil dan produk pertanian serta peri laku penyerbukan. Dalam aspek peri laku produksi, entomologi terkait dengan komponen berupa penghasil pangan (Adisoemarto, 1993a), pakan dan bahan untuk keperluan lain.
Komponen kemampuan tanah memerlukan keikutsertaan entomologi dalam dua peran, yaitu untuk menggarap serangga sebagai indikator dan serangga sebagai promotor. Dalam perkembangan penggunaan tanah pertanian, perhatian harus mulai diberikan pula kepada tanah atau lahan pertanian kering dan lahan pekarangan. Pada masa mendatang, kedua tipe lahan ini akan memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan manusia. Sebagai indikator kemampuan tanah, entomologi diperlukan untuk menentukan interelasi dan interdependensi antara tanah dan fauna serangga penghuni tanah yang bersangkutan (Suhardjono et al., 2001). Hubungan taraf kegunaan masing-masing tipe tanah berdasarkan tipe fauna serangga yang menghuninya dapat diketahui.
Peran sebagai indikator ini sangat penting dalam menentukan vegetasi yang paling cocok untuk bentuk atau tipe tanah yang tersedia. Ketentuan ini sangat diperlukan pada masa-masa mendatang, mengingat kecenderungan perkembangan sistem pertanian pada masa mendatang, yang teknologinya dikembangkan menuju peningkatan efisiensi penggunaan pupuk buatan. Sebagai promotor, peran serangga perombak yang mempercepat perputaran hara serta menentukan kesuburan tanah akan sangat diharapkan. Untuk pelaksanaannya diperlukan pengetahuan mengenai entomologi perombakan yang dapat memaksimalkan efisiensi kehadiran serangga dalam komponen ini.
Peran entomologi dalam komponen proteksi penghasil dan hasil pertanian sudah berjalan sejak timbulnya kebudayaan manusia. Dengan kebudayaannya, manusia membudidayakan tanaman, yang selanjutnya berasosiasi dengan serangga hama dan penyebar penyakit. Dua pihak yang sebetulnya terlibat dalam komponen ini, yaitu negasi atau anihilasi (pengurangan atau peng-hapusan) dan maksimasi atau optimasi, seharusnya mendapat keikutsertaan entomologi secara seimbang. Peran entomologi di Indonesia kini masih banyak dilakukan terhadap kegiatan negasi atau anihilasi. Hampir seluruh kekuatan diarahkan untuk menghapuskan serangga hama secara nir-alami, yaitu dengan penggunaan bahan kimia buatan.
Melihat gejala perkembangan sistem pertanian serta teknologi pertanian secara menyeluruh, yang akan mempromosikan ekosistem seimbang, pilihan perhatian entomologi harus diarahkan kepada kegiatan optimasi. Kecen-derungan perubahan peran insektisida dalam proteksi tanaman dari pemeran utama menjadi hanya salah satu komponen integrasi merupakan salah satu gejala ke arah optimasi ini. Kecenderungan ini sudah beberapa kali diungkapkan. Kegiatan optimasi ini akan memerlukan keikutsertaan entomologi yang menyangkut berbagai aspek dan disiplin ilmu-ilmu pertanian dan ilmu lainnya yang menunjang. Entomologi akan sangat diperlukan dalam menentukan keseimbangan atau optimasi masing-masing unsur dalam sistem pertanian yang dianut sehingga proteksi terhadap penghasil produk tercapai secara maksimal.
Entomologi lingkungan sangat pelik, karena di sini bukan saja serangga yang diperhatikan, tetapi juga lingkungan dan faktor-faktor yang menentukan kehidupan serangga (Adisoemarto et al., 1997). Walaupun demikian, entomologi lingkungan ini memegang peran terpenting dalam proteksi penghasil produk. Lagipula, entomologi lingkungan akan selalu diperlukan untuk jangka waktu yang sangat panjang, mengingat kecenderungan penyediaan dan penggunaan bahan kimia untuk penanganan hama di masa mendatang. Walaupun seandainya bahan kimia masih terpaksa menduduki peran teratas dalam penanganan hama, entomologi akan tetap memegang kedudukan penting pula, karena hampir semua hama berupa serangga dan toksikologi memerlukan entomologi. Oleh karena itu, entomologi lingkungan akan sangat diperlukan dalam konstelasi pertanian dipandang dari segi proteksi penghasil produk. Dalam masa mendatang, dekat maupun jauh, penganekaragaman hasil pertanian di Indonesia akan merupakan keharusan. Pertanian tidak hanya akan dipusatkan pada padi, tetapi juga tanaman pertanian yang lain, hewan, dan bahkan serangga sendiri. Untuk perlindungan komponen-komponen ini, entomologi tidak dapat ditinggalkan begitu saja.
Dalam kebanyakan kejadian, tanaman dan tumbuhan lain memerlukan serangga untuk dapat memenuhi fungsinya, yaitu menghasilkan buah dan biji untuk dapat berkembang biak. Selain untuk perkembangbiakan tanaman, pembentukan buah dan biji juga diperlukan manusia untuk menunjang kehidupannya. Berkaitan dengan serangga dalam penyerbukan, entomologi juga tidak dapat ditinggalkan (Adisoemarto, 1993b; Sastrodihardjo, 2001). Pendayagunaan serangga penyerbuk secara maksimum untuk meningkatkan produk pertanian belum secara bersungguh-sungguh dipikirkan di Indonesia. Mekanisme pendayagunaannya belum pernah dirumuskan secara pasti dan tepat, sehingga bidang ini masih merupakan terra incognita. Potensi serangga penyerbuk ini belum diperhitungkan di dalam usaha peningkatan hasil pertanian. Perkembangan keperluan terhadap serangga penyerbuk untuk masa mendatang dan selanjutnya akan menuntut entomologi yang dapat menangani pendayagunaan serangga sebagai jasad penyerbukan serta memaksimasi daya gunanya. Dari mulai sekarang harus sudah dipersiapkan rencana dan pelaksanaan penanganannya.
Karena serangga mempunyai peran dalam menyediakan dirinya untuk dijadikan sumber penghasil bahan, baik pangan dan pakan maupun bahan lainnya, pengetahuan tentang kehidupan serangga harus dipahami betul, yang akan memerlukan entomologi. Pengetahuan mengenai peri kehidupan yang mengarah kepada usaha pemeliharaan dan pembudidayaan akan sangat diperlukan. Dalam masa mendatang, jalur entomologi yang sifatnya setaraf peternakan akan diharapkan sekali keikutsertaannya. Entomologi dalam komponen ini harus dikembangkan secara mendalam dan meluas, termasuk terhadap kelompok yang kini masih pada taraf non-konvensional. Entomologi dasar akan amat sangat diperlukan. Ribuan, ratusan ribu jenis serangga menanti untuk dijamah.
Sektor Kesehatan
Entomologi dalam sektor ini akan banyak berkaitan dengan penularan penyakit dan penyebab penyakit secara langsung. Bila inang atau obyek yang terkena penyakit adalah hewan atau ternak, entomologi yang akan terlibat berkaitan dengan entomologi sektor pertanian. Nyatalah bahwa entomologi di sektor kesehatan tidak dapat dipisahlan dari sekor pertanian. Hubungan ini akan terlihat lebih nyata apabila terjadi kaitan inang antara manusia dan hewan ternak untuk serangga tertentu penular penyakit. Hubungan terjalin juga apabila lingkungan pertanian merupakan mata rantai yang melengkapi siklus serangga vektor. Pada masa mendatang, dengan kepadatan penduduk Indonesia, khususnya di Jawa, Bali, dan Madura, dan pendudukan lebih banyak ragam lingkungan untuk pemukiman, kemungkinan penambahan sumber penyakit akan meningkatkan keanekaragaman serangga yang dapat menjadi jembatan antara sumber penyakit dan manusia. Kemungkinan ini harus diperhitungkan dan pengembangan entomologi kesehatan sudah diantisipasi ke arah ini.
Pola hubungan langsung antara serangga dan manusia sudah lama dikenal. Hubungan ini terjalin tidak saja di daerah permukiman manusia, tetapi juga di kawasan lain. Mekanisme hubungan ini perlu dianalisis sehingga kemungkinan terlibatnya kelompok serangga dapat diperhitungkan, sehingga dapat diramal-kan kejadian yang diperkirakan timbul dalam pengembangan permukiman baru, dalam kegiatan kehutanan, dan dalam pembukaan lahan baru untuk pertanian atau permukiman. Analisis ini perlu dilakukan terhadap intensitas dan lingkup hubungan yang disebabkan oleh serangga yang harus diidentifikasi dengan entomologi. Berapa banyak spesies serangga yang terlibat dan pola keterlibatannya, serta intensitas hubungan masing-masing serangga perlu penggarapan yang tepat. Program entomolgi yang terarah akan memainkan peran yang sangat menentukan.
Entomologi Permukiman
Dari mulai adanya manusia, serangga telah menunjukkan perannya di permukiman manusia. Serangga di rumah kita dan di keliling kita sangat beraneka ragam. Perannya bermacam-macam, ada yang merugikan dan menimbulkan banyak masalah, serta yang menimbulkan penyakit dan penderitaan, tetapi tidak sedikit pula yang menguntungkan, misalnya layanan yang dirasakan dalam bidang pertanian, penyembuhan, penyediaan pangan, serta keuntungan lain.
Permukiman berkembang seiring perkembangan jumlah manusia serta kebudayaan dan teknologinya. Di daerah perkotaan serangga menunjukkan pola-pola ekologi yang sesuai kaidah yang dianut masyarakat perkotaan, sedangkan di daerah pedesaan, habitat dengan segala perangkatnya merupakan aspek yang harus diperhitungkan dan dipertimbangkan. Oleh karena itu, pengembangan entomologi di sektor ini harus diarahkan untuk dapat mengantisipasi pola di setiap daerah permukiman manusia.
Peran Entomolog yang Diharapkan
Masing-masing sektor kehidupan tersebut di depan terdiri atas berbagai komponen, yang masing-masing memerlukan program untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Program ini harus disusun secara terpadu dan berurutan dengan ujung yang menghasilkan keluaran dengan nilai ekonomi. Penyusunan program ini harus didasarkan masalah, ruang lingkup masalah, serta saran dan tindak lanjutnya untuk membuat program dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Komponen kesuburan tanah mengandung masalah mendasar dan elementer yang berkaitan dengan entomologi, yang berupa pengenalan terhadap serangga di lingkungan tanah. Inventarisasi kualitatif serangga tanah termasuk daur hidupnya merupakan tahap pertama dalam mengumpulkan informasi dasar (Suhardjono et al,. 2001). Program ini harus dilanjutkan dengan program analisis kuantitatif untuk menentukan peran utama serangga tanah dan program yang mendasari pengembangan serangga tanah untuk menjadi indikator yang berperan dalam mekanisme penentuan potensi tanah, serta penunjang (promotor) dalam peningkatan potensi tanah.
Perlindungan terhadap hasil pertanian juga memerlukan serangkaian program bersinambung. Di Indonesia, pengungkapan aspek perlindungan ini belum seluas ruang lingkup permasalahannya. Lagipula, dalam pengelolaan serangga hama belum ada pengembangan program sistematis dan konseptual. Dalam komponen perlindungan, sasaran yang akan dicapai perlu diarahkan kepada tiga jurusan utama :
1.     Penekanan populasi penyerang dengan pengimbangan faktor-faktor ekosistem;
2.     Penggunaan faktor-faktor pembantu (parasit, parasitoid, dan pemangsa) dalam mengurangi populasi serangga penyerang;
3.     Penyediaan faktor-faktor pembantu pada taraf budi daya.
Dalam pengembangan fungsi serangga sebagai penyerbuk, langkah program entomologi masih harus dimulai dengan pengenalan secara kualitatif terhadap jasad yang bersangkutan. Dalam program lanjutannya, entomologi harus difungsikan untuk menganalisis secara kuantitatif hubungan antara penyerbuk dan unsur flora yang bekepentingan, efisiensi hubungan, serta kemungkinan peningkatan penggarapannya menjadi komoditi budidaya. Tidak berbeda penanganannya adalah pengembangan program entomologi untuk kelompok penghasil pangan, pakan, obat-obatan, dan bahan industri. Ketiadaan modal pengetahuan terhadap kelompok penghasil ini akan menghambat sekali kemajuan dan perkembangan program lebih lanjut. Untuk aspek-aspek tersebut, pengembangnnya akan sangat tergantung pada entomologi dasar.
Rangkaian program entomologi seperti yang diungkapkan di atas memerlukan peran serta secara penuh entomologiwan. Peran serta ini harus diawali dengan pengenalan terhadap serangga. Disiplin mendasar yang harus dilibatkan secara aktif adalah taksonomi, dalam pengetian yang sebenarnya, yang mencakup bukan saja mengetahui nama serangga, tetapi juga ciri dan sifat serangga yang bersangkutan, dan kekerabatannya. Penelitian yang dilakukan dalam bidang ini harus mampu menghasilkan informasi mengenai saling hubungan dan saling ketergantungan di antara spesies atau unit. Upaya berikutnya memerlukan cakupan terhadap ekologi kuantitatif serta ekofisiologi serangga. Pada waktu ini, perkembangan ke arah aspek-aspek tersebut masih jauh dari kenyataan, selama entomologi masih dipandang sebagai tidak lebih daripada upaya mengatasi serangga hama dari perusakan hasil pertanian. Entomologi yang mengantisipasi di Indonesia masih merupakan harapan yang samar-samar, karena entomolog di Indonesia belum dibangun pada landasan yang terdiri atas cabang-cabang penting, seperti morfologi, anatomi, fisiologi, ekologi, genetika, dan cabang-cabang dasar lain, dan yang dikaitkan dengan disiplin lain yang terkait.
 -----------------
Footnote :
1 Taksonomi alfa ialah taksonomi deskriptif, yaitu yang hanya menitikpusatkan perhatiannya pada pertelaan dan penentuan spesies, secara khas dan khusus berdasarkan ciri morfologi. Bandingkan dengan taksonomi beta dan taksonomi gamma;
Taksonomi beta ialah penataan spesies ke dalam sistem hierarki dalam kategori atau taksa yang lebih tinggi; disebut juga makrotaksonomi, yaitu cabang taksonomi yang berkaitan dengan klasifikasi takson di atas spesies; mikrotaksonomi ialah cabang taksonomi yang berkaitan dengan klasifikasi spesies, varietas dan populasi – lihat juga taksonomi gamma;
Taksonomi gamma ialah taksonomi yang berkaitan dengan populasi intraspesies dan dengan kecenderungan filogenetik.
 
2 Karena blokade Inggris pada tahun 1780, kapal dagang VOC tidak dapat mencapai Belanda. Kerugian perusahaan makin menumpuk. Pada tahun 1798, hutang perusahaan menjadi 140 juta gulden, yang kemudian ditutup oleh negara. Mulai waktu itulah VOC gulung tikar, dan perusahaan menjadi kerajaan kolonial. 
3 Setaraf ahli peneliti di bidang entomologi





DAFTAR PUSTAKA
Adisoemarto, S. 1993a. Upaya peningkatan pemanfaatan lebah madu di Indonesia: telaah terhadap status dan masalahnya. Berita Entomologi 3 (1): 53-64.
Adisoemarto, S. 1993b. Serangga penyerbuk. Seminar Sehari mengenai Serangga Penyerbuk. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Purwokerto, September 1993.
Adisoemarto, S. 1999. Di tangan Kusnoto lilin itu menyala. In S. Sastrapradja (Ed. 1999): Bunga-bunga pun bermekaran: 3-10
Adisoemarto, S., S. Sosromarsono & M. Suhardjan. 1997. Asas pengelolaan serangga secara berkerlanjutan. Antisipasi pengembangan entomologi sampai 2010. Makalah Utama disampaikan dalam Simposium Entomologi. Bandung, Juni 1997.
Dammerman, K.W. 1948. The fauna of Krakatau. 1883-1933. Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen. Afd. Natuurkunde. Tweede Sectie, Deel XLIV. NV. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij.
Diaz, R.M. 2005. American Indians signs and symbols.
collectorsguide.com/fa/ fa095.shtml.
Lieftinck, M.A. & A.C.V. van Bemmel. 1945. The development of the Zoological Museum at Bogor. In P. Honig & F. Verdoorn. Science and scientists in the Netherlands Indies . Board for the Netherlands Indies, Surinam and Curacao, New York/Natuurweten-schappelijkTijdschrift voor Nederlandsch Indie  t r r t r , Vol. 102, Special Supplement: 226-231.
Sadjad, S., S. Adisoemarto & M.A. Rifai (Eds.). 1978. The brown planthopper (Nilaparvata lugens StŒl). Proc. Symp. Brown Planthopper. Third Inter-Congress of Pacific Science Associaion. Special Publication. LIPI. Jakarta, August 1978.
Sastrodihardjo, S., R.C.H. Soesilohadi, Purwaningsih & R.E. Putra. 2001. Ruang lingkup dan perkembangan biologi penyerbukan, ulasan tentang serangga penyerbuk. Simposium keanekaragman hayati artopoda pada sistem produksi pertanian. Cipayung, 16-18 Oktober 2000: 25-32.
Scott, D.C. 2004. Khephri. Return to the God. Website by David C. Scott of Intercity Oz., Inc.
Sheedy, K. 2005. The Coinage of Ephesus. Australian Centre for Ancient Numismatic Studies. MacQuarie University. 2005.
Snapper, I. 1945. Medical contributions from the Netherlands Indies. Science and Scientists in the Netherlands Indies. NatuurwetenschappelijkTijdschrift voor Nederlandsch Indi‘. Vol. 102-Special Supplement: 309-320.
Soetardi, R.G. 1950. De betekenis van insecten bij de bestuiving van Theobroma cacao L. Arch. Koffiecult. 17: 1-31.
Soetardi, R.G. 1958. Penjelidikan mengenai penggerek polong Crotalaria juncea di Djakarta. Contr. Gen. Agric. Res. Sta. Bogor 152, 101 pp.
Suhardjono, Y.R., Adianto & S. Adisoemarto. 2001. Simposium keanekaragman hayati artopoda pada sisem poduksi pertanian. Cipayung, 16-18 Oktober 2000: 9-24.
Wallace, A.R. 1890. The Malay Archipellago. Periplus (HK) Ltd

4 comentarios:

  1. sok atuh bikin seminar "Reposisi entomologi dalam pembangunan Indonesia: menuju peran yang berkelanjutan"..beurat judulna mah..

    ResponderEliminar
  2. Kapan nih diadakan seminarnya.....?? Perhimpunan Entomologi Indonesia masih eksis ga????

    ResponderEliminar
  3. Numpang tanya bu. apakah ada Sarjana Entomologi atau S - 1 Entomologi? Atau itu hanya cabang ilmu. Trimakasih.

    ResponderEliminar